Rabu, 03 September 2008

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU

Abstrak

Populasi ternak kerbau di Provinsi Jambi meningkat rata-rata 1% per-tahun selama lima tahun terakhir, sementara itu pemotongan meningkat 13% pada periode yang sama. Oleh karena itu permasalahan utama pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi adalah pengurasan populasi. Faktor penentu utama yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan adalah: (1) Kekuatan: kerbau telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Jambi serta memiliki kemampuan adaptasi dan daya guna yang tinggi; (2) Kelemahan: pemeliharan ekstensif (di lepas sepanjang hari); (3) Peluang: ketersediaan pakan yang tinggi melalui integrasi dengan perkebunan; (4) Ancaman: munculnya berbagai masalah sosial seperti konflik dengan pemilik kebun dan pencurian, rendahnya ketersediaan pejantan serta tingginya pemotongan ternak betina produktif. Strategi pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi dititik beratkan pada rekayasa sosial untuk merubah pola pemeliharaan ekstensif ke semi intensif. Disamping itu perlu ditingkatkan ketersediaan pejantan bermutu serta penanggulangan pemotongan ternak betina produktif.

Abstract

The population of buffalloes in Jambi Province increased on average 1% per-year in the last five years, while the number of animals slaughtered increased 13% in the same period. Therefore, the main problem of buffalloes development in Jambi Province is population depletion. The main determining factors in dealing with the development are: (1) Strength: buffaloes have been an integrated part of the life of Jambi people with a high adatability and utility; (2) Weakness: extensive (uncontrolled grazing) husbandry; (3) Opportunity: abundant of forage for feed throught integration with estate plantation; (4) Threat: emerging of various social conflict such as conflict with land owners and animal stealing, low availability of high quality males and high number of productive female slaughter. The strategy to develop buffaloes in Jambi Province should be stressed in social engineering to shift extensive to semi intensive husbandry. Besides, there is a need to increase the number of high quality males and to control slaughtering of productive females.

Latar Belakang
 
Pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi memerlukan perhatian khusus mengingat keadaan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini cenderung melahirkan ketidakharmonisan interaksi antara kerbau dengan lingkungannya. Ketidakharmonisan ini erat kaitannya dengan pola pemeliharaan kerbau yang sebagian besar masih dilakukan secara ekstensif (dilepas sepanjang hari), sementara pemanfaatan lahan semakin intensif sehingga ketersediaan areal untuk penggembalaan ternak semakin terbatas. Selain itu sarana transportasi yang semakin lancar juga memberikan kemudahan bagi para pencuri ternak kerbau. Hal ini telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang mendorong semakin tidak kondusifnya pengembangan ternak kerbau serta secara nyata berpengaruh negatif terhadap populasi ternak ini. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan Provinsi Jambi memperlihatkan pertumbuhan populasi kerbau selama lima tahun terakhir hanya 1% per-tahun, sementara itu pertumbuhan pemotongan sebesar 13% per-tahun.

Terlepas dari sejauhmana akurasi data yang disajikan diatas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pedagang semakin merasakan kesulitan untuk mendapat ternak kerbau guna memenuhi kebutuhan harian mereka, apalagi pada hari raya idul fitri, sehingga sebagian kebutuhan ini harus dimasukkan dari luar provinsi. Dari 870 ekor kerbau yang dipotong pada bulan April dan Mei 2007 di RPH Kota Jambi, tercatat 303 ekor (35%) berasal dari luar provinsi. Sementara itu Dinas Peternakan Provinsi Jambi mencatat pemasukan kerbau dari luar provinsi pada tahun 2005 sebanyak 5.596 ekor, dengan jumlah pemotongan sebesar 11.782 ekor. Dengan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi saat ini adalah ancaman pengurasan populasi. Untuk mengurangi dampak negatif dari ancaman ini maka diperlukan strategi pengembangan yang lebih terencana dan sistematis. Pada kesempatan ini disampaikan sumbang saran kepada pihak terkait mengenai strategi yang diharapkan dapat menyelamatkan keberadaan kerbau di Provinsi Jambi kedepan sebagaimana diuraikan berikut ini.

Analisis Faktor Penentu

Kekuatan (Strength):

1. Ternak kerbau sudah menjadi bagian penting dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakat Jambi, tidak saja sebagai komoditas ekonomi tetapi juga berfungsi sebagai komoditas sosial budaya. Daging kerbau lebih disukai untuk berbagai jenis masakan tradisional Jambi. Dari 1.205 ternak besar yang dipotong di RPH Kota Jambi pada bulan April dan Mei 2007 sebanyak 870 ekor (72%) adalah kerbau. Di beberapa daerah tertentu kerbau menjadi bagian dari prosesi adat, seperti perkawinan atau denda adat, yang tidak boleh digantikan dengan ternak lainnya. Dengan demikian kerbau memiliki nilai ekonomis yang tinggi di tengah masyarakat Jambi.

2. Kerbau memiliki kemampuan mencerna pakan bermutu rendah yang lebih efisien daripada sapi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan lambannya gerakan makanan didalam saluran pencernaan kerbau sehingga makanan tersebut dapat diolah lebih lama dan penyerapan zat gizinya akan lebih banyak (Devendra, 1987). Oleh karena itu jarang sekali ditemukan kerbau yang kurus walaupun dengan ketersediaan pakan yang seadanya. Yurleni (2000) hanya menemukan 2,5 – 12,5% kerbau yang diamatinya dalam kondisi kurus. Perdagingan yang penuh dan padat menjadikan kerbau memiliki persentase daging yang lebih tinggi ketimbang sapi. Tidak heran kalau para pedagang ternak lebih menyukai kerbau untuk dipotong daripada sapi;

3. Dari sisi kemampuan fisik kerbau memiliki kaki yang kokoh disertai teracak yang lebar. Sungguhpun jalannya lambat tetapi mampu menarik beban yang berat serta menempuh medan yang becek bahkan berlumpur. Oleh karena itu kerbau sangat cocok digunakan sebagai ternak penarik hasil produksi pertanian dan kehutanan di lokasi-lokasi yang hampir mustahil dilalui oleh kendaraan lainnya.

Kelemahan (Weakness):

1. Pola pemeliharaan ternak kerbau sebagian besar masih ekstensif sehingga menimbulkan berbagai ekses negatif seperti konflik dengan usaha pertanian lain, meningkatnya pencurian dan sulitnya pengendalian kesehatan ternak. Penerapan pola pemeliharaan ini terkesan didukung oleh ketentuan adat humo bepagar siang, ternak bekandang malam, yang diartikan bahwa ternak boleh saja berkeliaran dan masuk ke lahan pertanian pada siang hari. Tetapi praktiknya saat ini pada malam haripun ternak tetap saja berkeliaran;

2. Dari sisi fisiologis kerbau memiliki perilaku reproduksi yang relatif berbeda dibandingkan dengan sapi. Salah satunya adalah kecenderungan induk kerbau memperlihatkan ciri birahi tenang (silence heat) serta datangnya birahi pada subuh dan malam hari (Williamson dan Payne, 1974; Ilyas dan Leksmono, 1995 ). Hal ini menyebabkan pengaturan perkawinan pada pola pemeliharaan intensif menjadi relatif lebih sulit;

3. Masih kurangnya perhatian pihak terkait terhadap pengembangan ternak kerbau. Prioritas pengembangan ternak besar yang selama ini ditangani oleh pemerintah lebih tertuju pada sapi. Sementara itu penelitian yang berkaitan dengan pengembangan ternak kerbau relatif sangat jarang.

Peluang (Opportunity):

1. Pembangunan ekonomi di Provinsi Jambi tertumpu pada sub sektor perkebunan. Jika dikelola dengan baik maka sub sektor ini merupakan mitra yang serasi dengan pengembangan ternak kerbau. Usahatani perkebunan dapat meningkatkan ketersediaan pakan untuk ternak, sebaliknya tenaga kerja dan pupuk kandang dari ternak dapat dimanfaatkan pada usahatani perkebunan;

2. Adanya kecenderungan masyarakat moderen untuk back to nature sehingga pangan eksotik seperti halnya daging kerbau, yang juga memiliki kandungan lemak rendah, mempunyai potensi yang sangat besar sebagai komoditas ekspor ke negara maju;

3. Provinsi Jambi terletak pada perlintasan wilayah berkembang sehingga memiliki akses yang lebih mudah untuk pengiriman komoditas perdagangannya ke pasar-pasar potensial;

Ancaman (Threat):

1. Petani merasa semakin tidak nyaman untuk mengembangkan ternak kerbau karena berbagai konflik sosial, pencurian dan tingginya angka kematian. Jika petani merasa tidak nyaman memelihara ternak maka ternak yang lebih dahulu dijual adalah pejantan. Oleh karenanya dampak yang paling cepat terlihat adalah penurunan angka kelahiran karena kesulitan pejantan. Hasil pengamatan pada 19 padang penggembalaan kerbau di Kabupaten Batanghari, ditemukan 5 padang penggembalaan yang tidak memiliki pejantan (Anonim, 1999). Sementara itu Yurleni (2000) menemukan perbandingan pejantan : induk sebesar 1 : 6,76;

2. Masih tingginya pemotongan ternak betina produktif. Dari pemotongan ternak kerbau bulan April dan Mei 2007 di RPH Kota Jambi ditemukan 40% adalah betina, yang besar kemungkinan masih produktif;

3. Hilangnya plasma nutfah kerbau asli Jambi yang saat ini belum banyak diteliti keberadaannya.

Strategi Pengembangan

Dari analisis yang telah diuraikan diatas maka pemeliharaan ternak kerbau dengan pola ekstensif merupakan faktor penentu yang paling penting sebagai penyebab timbulnya permasalahan dalam pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lahan penggembalaan serta tingginya tingkat pencurian ternak maka pola pemeliharaan ternak seperti ini tentunya tidak bisa dipertahankan lagi. Mengubah pemeliharaan kerbau secara langsung ke pola intensif (sepenuhnya dikandang), sepertihalnya pada ternak sapi, rasanya belum memenuhi kelayakan budaya. Selain itu juga akan mempersulit dalam proses perkawinan ternak karena sifat reproduksi kerbau yang khas itu. Sedangkan untuk penyediaan padang penggembalaan khusus dengan luasan yang mampu menyediakan hijauan dalam jumlah cukup tentu masih memerlukan perhitungan kelayakan ekonomisnya. Oleh karena itu yang paling layak diterapkan adalah pola semi intensif, dimana ternak digembalakan dan dikandangkan pada waktu-waktu tertentu.

Pola pemeliharaan semi intensif yang paling layak diterapkan adalah dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas, dengan memanfaatkan lahan tidak produktif seperti rawa. Ternak dilepas pada siang hari di padang penggembalaan yang telah diberi pembatas dan dimasukkan ke kandang pada malam hari. Kandang tersebut dibangun berderet dipinggir padang penggembalaan. Fungsi padang penggembalaan disini lebih banyak untuk memudahkan perkawinan, disamping dapat menyediakan sebagian dari kebutuhan pakan ternak. Guna mencukupi ketersediaan pakan yang terbatas di padang penggembalaan maka peternak harus memberikan tambahan hijauan untuk ternak mereka di kandang masing-masing.

Merubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternak mereka menjadi mau untuk menyediakan pakan dan mengawasi ternaknya setiap hari tentunya membutuhkan proses rekayasa sosial (social engineering) yang harus dilakukan secara seksama. Dalam pelaksanaannya tidak saja membutuhkan upaya penyuluhan yang intensif tetapi juga disertai dengan pembinaan kelompok peternak dan dorongan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu perlu adanya pelurusan kembali ketentuan adat humo bepagar siang, ternak bekandang malam, yang selama ini menjadi pembenaran kepada peternak untuk melepaskan ternaknya begitu saja. Pepatah tersebut harus dipahami secara utuh yaitu ternak bakandang bareban malam, beketuk bekalo-kalo, bekeloan betali kundang, siang betali mato, dekat diturut dengan ae garam kok jauh dijelang (Anonim, 1999). Artinya para peternak tidak boleh semena-mena melepaskan ternaknya sungguhpun pada siang hari tetapi harus disertai dengan pengawasan.

Ketersediaan pejantan yang bermutu dalam jumlah cukup di masing-masing padang penggembalaan menjadi faktor penentu dalam peningkatan angka kelahiran dan mutu genetik keturunan ternak. Pada sistem pemeliharaan ternak berkelompok sangat sulit diharapkan adanya petani yang mau menyediakan pejantan yang bermutu untuk kebutuhan induk para anggota lainnya. Oleh karena itu akan lebih baik jika pemerintah dapat membantu dalam penyediaan pejantan ini dengan menggaduhkan sejumlah pejantan yang terseleksi kepada peternak. Pejantan gaduhan ini tidak harus didatangkan dari tempat lain tetapi dapat saja ternak milik anggota kelompok itu sendiri yang dibeli oleh pemerintah. Setelah digunakan 4 – 5 tahun maka pejantan tersebut dapat dijual dan dibagi hasil dengan peternak yang menggaduhnya. Penggaduhan pejantan ini hendaknya disertai dengan program peningkatan mutu genetis melalui seleksi, penerapan IB (kawin suntik) dan menghindari kasus kawin sedarah (inbreeding).

Upaya menekan aktivitas pemotongan ternak betina produktif tentunya perlu mendapat perhatian, mengingat aktivitas ini akan mempercepat proses pengurasan populasi kerbau. Implementasinya tidak saja membutuhkan pendekatan yuridis tetapi harus juga digabung dengan pendekatan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut agar pendekatan yang diterapkan untuk mengatasi masalah klasik ini dapat dirancang secara tepat guna.

Penutup

Salah satu kelemahan yang paling terasa dari uraian ini adalah minimnya informasi ilmiah mengenai pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi. Kiranya hal ini dapat dimaklumi mengingat penelitian yang berkaitan dengan topik ini sangat terbatas. Dengan segala keterbatasannya mudah-mudahan uraian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi semua pihak terkait dalam menyusun program pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi selanjutnya.

Pustaka Acuan

Anonim. 1999. Laporan Studi Pendahuluan Pengembangan Potensi Kerbau di Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi. Dinas Peternakan Propinsi Jambi.

Anonim. 2006. Statistik Peternakan Provinsi Jambi 2005. Dinas Peternakan Provinsi Jambi.

Devendra, C. 1987 di dalam Hacker, J.B. dan J.H. Ternouth. (ed). The Nutrition of Herbivore. pp 2 – 46. Academic Press. Sidney.

Ilyas, A.Z. dan C.S. Leksmono (ed). 1995. Pedoman Pengembangan dan Perbaikan Ternak Kerbau di Indonesia. Departemen Pertanian – Food and Agriculture Organization.

Yurleni. 2000. Produkstivitas dan Peluang Pengembangan Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Thesis. Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasi).

Williamson, G. Dan W.J.A. Payne. 1974. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Longman.

Wiryosuhanto, S. et al. 1980. Profil Peternakan Kerbau di Indonesia. Inspektorat Dinas Peternakan Propinsi Jambi.

(Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Kerbau di Provinsi Jambi tanggal 23 Juni 2007 )

Tidak ada komentar:

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah