Rabu, 03 September 2008

KELOMPOKTANI SEBAGAI WADAH PARTISIPASI PETANI

ABSTRAK

Sektor pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan daerah Provinsi Jambi sehingga keberadaan petani sebagai bagian dari pelaku pembangunan menjadi sangat strategis. Upaya peningkatan kesejahteraan petani hanya dapat dilakukan apabila petani memiliki posisi tawar yang kuat dalam proses penetapan kebijakan pembangunan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila petani mempunyai wadah kekuatan bersama yang mapan. Salah satu wadah yang dapat digunakan adalah kelompoktani. Kelompoktani hendaknya tidak saja difungsikan sebagai wadah kerjasama kegiatan usahatani tetapi sekaligus menjadi ajang latihan berorganisasi bagi petani agar dapat berperan lebih baik pada organisasi yang lebih besar. Dengan cara ini diharapkan kelompoktani menjadi salah satu kekuatan sosial dalam pembangunan pertanian. Keberadaan sebagian besar kelompoktani yang ada saat ini belum memperlihatkan wajah yang menggembirakan. Sejumlah kendala sosial budaya masyaraka serta kesalahan dalam pembinaan menjadi faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara sehat. Oleh karena itu untuk lebih memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu wadah partisipasi petani dalam proses pembangunan perlu diterapkan strategi penumbuhan dan pembinaan kelompoktani yang lebih mengandalkan prinsip-prinsip pemberdayaan dengan memperhatikan berbagai aspek budaya masyarakat.


Pendahuluan

Pertanian masih menjadi tulang punggung pembangunan daerah Provinsi Jambi. Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa 64,4% dari seluruh tenaga kerja di wilayah ini menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hanya saja masih terlihat adanya kepincangan dalam kesejahteraan karena jumlah tenaga kerja tersebut hanya menghasilkan 28,29% dari total PDRB (Anonim, 2005). Ini menunjukkan bahwa petani, terutama petani kecil, belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan, yang merupakan salah satu dari tiga kriteria partisipasi dalam pembangunan yaitu: menetapkan sasaran; pelaksanaan kegiatan; dan menikmati hasil pembangunan. Dari ketiga aspek ini, aspek pertama merupakan yang paling penting karena pada tahap ini beneficiary (kelompok sasaran) mendapat kesempatan untuk membuat pilihan terhadap program-program yang lebih berpihak kepada kepentingan mereka. Untuk memungkinkan partisipasi petani kecil dalam proses penetapan sasaran pembangunan perlu adanya wadah yang dapat meningkatkan posisi tawar (bargaining power) mereka. Hal ini tidak mungkin dilakukan secara individu tetapi harus melalui kekuatan bersama yang terorganisir secara baik.

Kelompoktani merupakan salah wadah ideal untuk menyatukan kekuatan bersama petani yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Penggunaan istilah kelompoktani sesungguhnya hanya sekedar untuk menggambarkan bahwa organisasi tersebut adalah milik petani. Dalam prakteknya organisasi ini dapat dengan nama apa saja tetapi prinsip penumbuhan dan pengembangannya mengikuti proses apa yang dilakukan pada kelompoktani. Hal itu yang akan diuraikan secara singkat pada bahasan berikut ini. Disamping itu pada bagian awal akan dijelaskan secara teoritis mengenai peran strategis kelompoktani dalam pembangunan.

Partisipasi dalam Pembangunan

Korten (1980) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu proses dengan mana suatu kelompok masyarakat meningkatkan kemampuan diri dan kelembagaan mereka untuk menggerakan dan mengelola sumberdaya untuk menciptakan kemajuan yang merata dan berkelanjutan terhadap kualitas hidup sesuai aspirasi mereka sendiri. Menggerakkan kemajuan secara swadaya merupakan tujuan utama dari suatu kegiatan pembangunan (Gow dan Morss, 1988). Efektifitas suatu program pembangunan terlihat dari sejauhmana program tersebut dapat berkelanjutan. Tacconi dan Tisdell (1992) melihat keberlanjutan proyek sebagai kemampuan proyek dalam memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada kelompok sasaran, baik selama pelaksanaan maupun purna proyek. Hal ini memerlukan perhatian menyeluruh yang mencakup faktor ekologi, budaya dan kelembagaan. Oleh karenanya untuk mendapatkan proyek yang berkelanjutan, bersamaan dengan pembangunan fisik dalam pelaksanaan proyek, maka diperlukan peningkatan kapasitas sosial masyarakat pada setiap tahapan pembangunan.

Belajar dari proyek pembangunan pedesaan di beberapa negara berkembang, Tacconi dan Tisdell (1992) mencatat bahwa pendekatan cetak biru, dimana proyek diarahkan hanya untuk mendorong peningkatan produksi melalui peningkatan bantuan dan pelayanan, cenderung menciptakan proyek yang diintroduksi oleh orang luar daripada mengakomodasi keiinginan masyarakat setempat. Dengan pendekatan ini keberlanjutan proyek akan sulit dicapai. Oleh karena itu para ahli sepakat bahwa partisipasi peserta proyek merupakan suatu kebutuhan dalam mencapai keberlanjutan suatu program pembangunan (AIDAB, 1991; Chamala, 1995; Gow dan Morss, 1988; Korten, 1980; Paul, 1989; Petch dan Pleasant, 1994).

PBB mengajukan suatu pendekatan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan dikenal dengan istilah popular participation, yang mengacu pada tiga aspek saling terkait: (i) persamaan kesempatan dalam menikmati hasil pembangunan; (ii) pemerataan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan pembanguan; dan (iii) pemerataan keterlibatan dalam proses pengabilan kebijakan pembangunan. Yang perlu digarisbawahi bahwa partisipasi dalam perencanaan merupakan tahap yang paling penting karena hal ini memberi arti pada kegiatan yang lebih luas daripada hanya sekedar membuat pilihan dari program yang telah dipersiapkan oleh pemerintah. Proses perencanaan ini meliputi tiga tahap: (i) memilih alternatif yang disiapkan; (ii) menentukan cara yang terbaik untuk menerapkan keputusan yang telah ditetapkan; serta (iii) mengevaluasi tindak lanjut dari kegiatan yang telah dilaksanakan (the United Nations, 1981). Untuk itu jangan berharap petani dapat berpartisipasi dalam pembangunan apabila mereka tidak didorong untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan pembangunan yang menyangkut hajat hidup mereka.

Menumbuhkan keberanian masyarakat mengutarakan pendapat mereka merupakan kunci keberhasilan partisipasi dalam perencanaan. Oleh karena itu Rahman (1990) menyimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat untuk mampu menjelaskan dan mengutarakan arti pembangunan sosial bagi mereka sesungguhnya merupakan inti dari pembangunan sosial itu sendiri. Untuk melihat sejauh mana pemberdayaan itu dapat ditumbuhkan dapat dilihat dari tiga faktor: (1) Organisasi bagi anggota masyarakat, meliputi kemampuan mereka dalam mengelola organisasi dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain; (2) Kewaspadaan sosial (social awardeness), yaitu pengertian masyarakat terhadap fungsi mereka dalam lingkungan sosialnya. Pengertian ini diperlukan untuk meningkatkan rasa kesetaraan antara kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya; (3) Rasa percaya diri (self reliance), yaitu kombinasi dari kekuatan sosial dan mental yang muncul dari solidaritas, kebersamaan dan kerjasama untuk maju serta melawan dominasi pihak lain.

Banyak pakar yang berpendapat bahwa organisasi sosial yang dikontrol oleh masyarakat merupakan suatu dasar yang dibutuhkan dalam partisipasi yang efektif. Organisasi semacam ini sangat penting untuk memungkinkan masyarakat desa yang rentan dalam menyampaikan pendapat, memobilisasi sumberdaya dalam kegiatan swadaya serta menyalurkan aspirasi mereka dalam pengambil kebijakan politik dan ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi (Korten, 1980). Untuk mengharapkan petani kecil berpartisipasi aktif dalam perencanaan merupakan hal yang tidak realistis. Di negara maju para petani telah mampu mengorganisasi diri sehingga dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) dalam menyalurkan aspirasi mereka, tetapi di negara berkembang para petani tidak terorganisasi secara baik untuk tujuan semacam ini. Untuk itu maka keterlibatan dalam kelompoktani merupakan media belajar yang baik untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan (Adams, 1982).

Pranadji (2003 meyakini bahwa proses marjinalisasi (pemiskinan) petani Indonesia selama ini erat kaitannya dengan lemahnya pembinaan kelembagaan petani. Dikatakannya bahwa kerapuhan kelembagaan memiliki peran besar dalam mengganjal perkembangan perekonomian (pertanian dan) pedesaan. Jika sistem kelembagaan suatu masyarakat dibiarkan rapuh, maka program pengembangan teknologi, inovasi dan investasi apapun tidak akan mampu menjadi “mesin penggerak” kemajuan ekonomi yang tangguh. Kemudian ia juga menegaskan bahwa jika saja aspek kelembagaan ini sejak awal menjadi “penggerak utama” pembangunan pertanian dan pedesaan di negara kita maka tidak tertutup kemungkinan kemajuan bangsa Indonesia tidak akan kalah dengan Malaysia, Taiwan dan bahkan Jepang.

Peran Kelompoktani

Ketentuan mengenai kelompoktani secara garis besar telah diatur oleh Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan nomor: 41/Kpts/ OT.210/1/92 tanggal 29 Januari 1992 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani – Nelayan. Di dalam SK tersebut dicantumkan definisi Kelompoktani – nelayan adalah kumpulan petani nelayan yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya), keakraban dan keserasian, yang dipimpin oleh seorang ketua. Dijelaskan juga di dalam SK tersebut bahwa kelompoktani bersifat non-formal dalam arti tidak berbadan hukum tetapi mempunyai pembagian dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis ataupun tidak.

Kata “kelompok” pada kelompoktani mencermin penegasan bahwa wadah kerjasama ini lebih dekat kepada kelompok sosial daripada organisasi. Artinya kelompoktani lebih mementingkan aspek ikatan sosial antar anggotanya daripada struktur organisasinya. Tetapi pada kenyataannya pembinaan kelompoktani diarahkan untuk mengembangkan suatu organisasi yang mempunyai tujuan, struktur organisasi, pembagian tugas pengurus yang jelas serta kelengkapan administrasi yang baik. Oleh karena itu mengacu kepada Wursanto (2003), maka berdasarkan pembentukannya kelompoktani dikategorikan sebagai organisasi non-formal sedang ditinjuak dari tingkat keresmiannya kelompoktani tidak lagi dapat dikategorikan sebagai organisasi informal tetapi sudah mengarah kepada organisasi formal.
Secara garis besar peran kelompoktani adalah:
(a) Sebagai kelas belajar – mengajar. Kelompoktani merupakan wadah bagi anggotanya untuk berinteraksi guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam berusahatani – nelayan yang lebih baik dan menguntungkan, serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
(b) Sebagai unit produksi usahatani – nelayan. Kelompoktani merupakan satu kesatuan unit usahatani – nelayan untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan.
(c) Sebagai wahana kerjasama. Kelompoktani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama anggota dan antara kelompok dengan pihak lain.

Tidak banyak diketahui mengenai keadaan kelompoktani di Provinsi Jambi saat ini. Suatu penelitian pendahuluan mengenai kelompoktani di Provinsi Jambi dilakukan oleh Jamal (2004) dapat dijadikan salah satu gambaran. Dengan menggunakan tiga indikator kinerja kelompoktani yaitu pertemuan rutin, pengelolaan uang kas dan pergantian pengurus dari 2.326 kelompoktani yang diamati diperoleh 53,02 % kelompok tidak mempunyai kegiatan pertemuan rutin, 58,12% tidak mengelola uang kas, dan 61,99% tidak melakukan pergantian pengurus secara rutin. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh kelompoktani yang diamati sesungguhnya tidak berjalan secara aktif. Melihat kenyataan di lapangan dari kelompoktani yang selama ini sudah ada memang belum banyak dapat diharapkan untuk bisa berkembang dengan baik. Paling tidak ada empat faktor yang menjadi penghambat tumbuh dan berkembangnya kelompoktani secara benar:
(a) Selama pemerintahan Orde Baru organisasi yang berbasis masyarakat kurang diberi kebebasan untuk berkembang oleh pemerintah. Pembentukan organisasi kemasyarakatan terkesan harus dilakukan oleh pemerintah dan hanya diperbolehkan jika memenuhi kepentingan pemerintah. Dengan demikian masyarakat menjadi tidak terbiasa menumbuhkan sendiri organisasi yang mereka butuhkan sehingga sangat sedikit memiliki pengalaman berorganisasi.
(b) Pendidikan formal di negara kita kurang mengajarkan kepada muridnya untuk mampu berkomunikasi dengan baik. Seperti umumnya kita temui di sekolah-sekolah, murid dididik untuk selalu menerima dan tidak diberi cukup kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Proses pendidikan seperti ini telah melahirkan generasi yang kurang mampu berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara baik. Kekurangmampuan dalam berkomunikasi ini menjadi faktor penghambat berkembangkan suatu organisasi karena komunikasi merupakan sarana utama tumbuhnya kebersamaan di dalam organisasi.
(c) Banyaknya ditemui penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah selama ini, dengan membentuk berbagai kelompoktani tanpa memperhatikan hakikat keberadaan organisasi tersebut. Kelompoktani dibentuk hanya untuk kepentingan proyek dalam menyalurkan bantuan pemerintah. Karena pembentukan organisasi ini tidak melalui proses yang benar maka banyak diantaranya kemudian bubar, bahkan disalah gunakan oleh oknum tertentu. Pengalaman buruk seperti ini membuat masyarakat memiliki pemahaman yang salah terhadap keberadaan kelompoktani.
(d) Kuatnya budaya paternalistik (patuh kepada tetua dan tokoh masyarakat) di sebagain besar masyarakat Indonesia. Budaya ini cenderung akan melahirkan sikap ewuh pakewuh yang akan memberi peluang kepada kelompok elit untuk mengendalikan jalannya organisasi.

Dengan kondisi seperti yang dijelaskan diatas maka penumbuhan dan pengembangan kelompoktani memerlukan strategi serta sistem pembinaan yang lebih terencana dan terintegrasi. Pembinaan kelompoktani tidak bisa dilakukan hanya dengan mennggunakan kekuatan eksternal tetapi harus lahir dari kebutuhan bersama dan keswadayaan para anggotanya. Yang lebih penting lagi kegiatan kelompoktani harus betul-betul mencermin aspirasi anggotanya sehingga iklim demokrasi yang disertai ikatan kekeluargaan menjadi sangat penting.

Strategi Penumbuhan dan Pengembangan

Melihat pentingnya kelompoktani dalam pembangunan, khususnya pembangunan pedesaan dan pertanian, maka diperlukan upaya penumbuhan dan pengembangan kelompoktani secara terintegrasi dengan pembangunan pertanian. Dari sisi penumbuhannya, kelemahan paling mendasar dari kelompoktani yang ada saat ini umumnya dikarenakan penumbuhannya yang tidak mengikuti proses yang benar. Instansi pembina biasanya hanya ingin cepat-cepat ada kelompoktani begitu anggaran untuk bantuan kepada petani tersedia. Praktik semacam ini hendaknya diubah dengan cara menumbuhkan kelompoktani betul-betul secara alami yaitu dari kesadaran atas adanya kebutuhan bersama. Chamala dan Keith (1995) memperkirakan perlu waktu sekitar 6 bulan untuk memulai suatu kegiatan kelompoktani, yang diawali dari mencari dukungan dari anggota dan tokoh masyarakat sampai melakukan kegiatan awal yang dirancang secara bersama.

Kelompoktani dapat juga ditumbuhkan dari kelompok kerja yang ada di masyarakat. Di masyarakat pedesaan ditemui berbagai kelompok kerja yang dibentuk atas kebutuhan kerja bersama seperti untuk mengolah lahan, memanen padi dan penyediaan sarana produksi. Pada masyarakat pedesaan Jambi dikenal suatu kelompok kerja dengan istilah “pelarian”. Melalui kelompok kerja inilah kemudian dibangun kesepakatan yang selanjutnya dikukuhkan dengan suatu aturan yang lebih formal dalam kelompoktani.

Dari sisi pengembangannya, yang sangat perlu diperhatikan adalah pembinaan yang terus menerus terhadap manajemen kelompok. Belajar dari pengalaman mengevaluasi kegiatan kelompoktani di beberapa negara berkembang maka Oxby (1983) mencatat bahwa inisiatif pemerintah untuk membentuk suatu kelompok bukan merupakan masalah yang dapat menghambat keberlanjutan kelompok, asalkan kemudian diikuti dengan upaya pembinaan untuk menjadikan kelompok tersebut sepenuhnya mandiri dan didukung oleh para anggotanya. Selain itu kelompok cenderung lebih efektif dan berkelanjutan apabila memiliki hubungan melembaga dengan organisasi setempat sehingga kelompok diakui keberadaannya di tingkat lokal. Hubungan melembaga dapat antara kelompoktani dengan organisasi di luar kelompoktani seperti PKK, Pemerintahan Desa dan LSM. Sedangkan kerjasama melembaga antar kelompoktani diharapkan dapat melahirkan berbagai kegiatan gabungan kelompoktani seperti koperasi dan asosiasi kelompoktani. Melalui hubungan melembaga inilah kemudian kelompok dapat berkembang untuk berperan pada cakupan yang lebih luas, bahkan dapat menjadi bagian dari kekuatan politik petani.

Masalah komunikasi di dalam kelompok perlu menjadi perhatian utama karena hambatan sosial dalam berkomunikasi dapat menjadi kendala serius terhadap keberlangsungan kelompok. Hal ini tentunya tidak terlepas dari budaya paternalistis yang umum ditemui di sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk itu pembinaan yang mendorong anggota kelompok agar mampu berkomunikasi dengan baik menjadi kunci keberhasilan pembinaan manajemen kelompoktani. Pembinaan dapat dilakukan melalui pelatihan ataupun dengan membentuk kelompok yang lebih homogen. Kelompok yang homogen, dengan anggota yang merasa lebih setara, dapat mengurangi rasa ewuh pakewuh yang berpotensi menjadi penghalang jalannya komunikasi secara efektif.

Penutup

Demikianlah uraian singkat mengenai pentingnya kelompoktani serta upaya untuk memfungsikan kelompoktani sebagai salah satu instrumen kelembagaan petani dalam mendukung pembangunan daerah khususnya, serta pembangunan nasional umumnya. Uraian ini tentunya memerlukan tambahan masukan dari berbagai pihak agar dapat diimplementasikan menjadi suatu acuan kebijakan yang lebih operasional.

Daftar Pusataka

Adams, M.E. 1982. Agricultural Extension in Developing Countries. Intermediate Tropical Agricultural Series. Longman.

AIDAB. 1991. Social Analysis and Community Participation: Guideline and Activity Cycle Checklist. AIDAB.

Anonim, 2005. Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2006 – 2010. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.

Chamala, S. 1995. Overview of participative action approaches in Australian land and water management. In: Chamal, S dan K. Keith (eds) Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.

Chamala, s dan Keith, K. 1995. Participative Approaches for Landcare. Australian Academic Press. Brisbane.

Gow, D.D. dan E.R. Morss. 1988. The notoriuos nine: Critical problems in project implementation. World Development. Vol. 16(12): pp. 1399-1418.

Korten, D.C. 1980. Community organisation and rural development: a leraning process approach. Public Administration Review. Vol. 40(5): pp. 480-511.

Jamal, H. 2004. Studi Pendahuluan Kinerja Kelompotani di Provinsi Jambi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu (PLTT) dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi tanggal 13-14 Desember 2004 di Jambi: pp. 314-318. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

Oxby, C. 1983. “Farmer groups” in Rural Areas of Third World. Community Development Journal. 18(1): 50-59.

Paul, S. 1989. Poverty alleviation and participation: the case for government-grassroots agency collaboration. Economic and Political Weekly. January 14: pp. 100-106.

Petch,B. Dan J. Mt. Pleasant. 1994. Farmer-controled diagnosis and experimentation for small rural development organisations. Journal for farming Systems Research-Extention. Vol. 4(2): pp. 71-81.

Pranadji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Deptan. Bogor.

Rahman, M.A. 1990. Qualitative dimensions of social development evaluation: tehmatic papaer in: Marsden, D. And P. Oaxley (eds.). Evaluating Social Development Projects. Oxfam. Oxford. Pp. 40-50.
Tacconi, L. Dan C. Tisdell. 1992. Rural Development Project in LDCs: appraisal, participation and sustainability. Public Administration and Development. Vol. 12: pp.267-178.

The United Nations. 1981. Popular Participation as A Strategy for Promoting Community-level Action and National Development . The United Nations. New York.

Wursanto, Ig, 2003. Dasar-dasar Ilmu Organisasi. Penerbit Andi. Yogyakarta


(Diterbitkan pada majalah “Jambi Prospektif” Edisi I nomor 9 tahun 2007)

Analisis Faktor Penentu Kemampuan Pemeliharaan Ternak (KPT) Sapi Potong pada Peternak Kecil

Intisari

 

Suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis sejumlah variabel untuk dijadikan sebagai faktor penentu Kemampuan Pemeliharaan Ternak (KPT) sapi potong suatu rumah tangga petani kecil telah dilaksanakan pada pertengahan tahun 2006. Variabel yang digunakan adalah Jumlah Tenaga Kerja Keluarga, Jenis Usahatani Pokok, Penanaman HMT, dan Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dengan jumlah responden sebanyak 183 kepala keluarga petani peternak pada tiga kawasan pengembangan sapi potong di Provinsi Jambi yaitu kawasan Singkut, Kabupaten Sarolangun; Pamenang, Kabupaten Merangin; dan Kuamang Kuning, Kabupaten Bungo. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat nyata (p<0,01) antara Jumlah Tenaga Kerja Keluarga, dan nyata (p<0,05) antara Penanaman HMT dengan KPT Sapi Potong.  Persamaan regresi terbaik sebagai penduga KPT Sapi Potong adalah model exponensial dengan persamaan lnY = o,42+0,17X (r2=0,093).  Disimpulkan bahwa hanya Jumlah Tenaga Kerja Keluarga (X) yang dapat digunakan sebagai faktor penentu KPT Sapi Potong (Y), dengan daya penentu yang sangat lemah.

 Kata Kunci: Kemampuan Pemeliharaan Ternak, Sapi Potong

Abstract

A research with the aim to analyze some variables as determining factors of beef cattle Livestock Keeping Capacity (LKC) for a smallholder farmer family was conducted on the mid 2006. The determining factors used were the Number of Family Labors, the Main Farming Activity, the Availability of Forage Plantation, and the Attitude toward Beef Cattle Development. The method used in the research was survey with respondents of 183 heads of farmer family who were keeping beef cattle in the three beef cattle development areas of Jambi Province: the development area of Singkut, Sarolangun Regency; Pamenang, Merangin Regency; and Kuamang Kuning, Bungo Regency. The result of the research showed that there was a very significant relationship (p<0,01) between the Number of Family Labors, and a significant relationship (p<0,05) between the Abvailability of Forage Plantation to the LKC. The best equation for determining the LKC of Beef Cattle was exponential model with the equation Y = 0,42 + 0,17X (r2=0,093). It was concluded that only the Number of Family Labors (X) could be used as a determining factor for the LKC of Beef Cattle (Y), although with a very weak determining power.

Key Words: Livestock Keeping Capability, Beef Cattle


Latar Belakang
 

Metode yang paling umum digunakan saat ini untuk mengetahui kapasitas pengembangan sapi potong di suatu wilayah adalah dengan pendekatan ketersediaan pakan, sebagaimana yang digunakan oleh Setyono (1995) dan Haeruddin (2004). Penerapan metode ini dilakukan dengan menghitung jumlah cadangan pakan potensial yang tersedia di suatu wilayah, kemudian dari jumlah tersebut dihitung daya tampung ternak yang dapat dipelihara. Sesungguhnya hasil perhitungan dengan metode seperti ini kurang memiliki kegunaan praktis karena tidak mempertimbangkan kemampuan sumberdaya manusia yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan pakan tidak akan mempunyai arti apa-apa jika di suatu wilayah tidak tersedia sumberdaya manusia yang mampu untuk memelihara ternak. Sebaliknya dengan ketersediaan pakan aktual yang terbatas, dapat dipelihara ternak dengan jumlah yang lebih besar apabila sumberdaya manusia di wilayah tersebut dapat mengembangkan sendiri sumber pakan seperti melalui penanaman HMT (Hijauan Makanan Ternak). Oleh karena itu untuk tujuan perencanaan diperlukan suatu metode perhitungan kapasitas tampung pengembangan peternakan sapi potong yang lebih memiliki kegunaan praktis dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya manusia.

Daya tampung ternak suatu wilayah pada hakikatnya adalah jumlah ternak yang mampu dipelihara oleh rumah tangga petani yang ada di wilayah tersebut. Jumlah ternak yang mampu dipelihara oleh suatu rumah tangga, yang selanjutnya disebut dengan KPT (Kemampuan Pemeliharaan Ternak), ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu: (a) ketersediaan tenaga kerja untuk pengelolaan ternak; (b) tingkat kesulitan dalam pengelolaan ternak; serta (c) kemauan petani itu sendiri untuk memelihara ternak. Hanya saja untuk menghitung secara kuantitatif besaran ketiga faktor diatas sangat rumit sehingga perlu dicarikan suatu pendekatan indikatif dengan menganalisis beberapa variabel yang memiliki hubungan erat dengan ketiga faktor penentu diatas, sebagaimana yang digunakan pada penelitian ini. Untuk melihat ketersediaan tenaga kerja digunakan variabel Jumlah Tenaga Kerja Keluarga tersedia dan Jenis Usahatani Pokok. Kemudahan dalam pemeliharaan ternak dilihat dari Penanaman HMT karena teknologi ini yang paling membutuhkan curahan tenaga kerja dalam jumlah yang besar pada pengelolaan sapi potong. Sedangkan kemauan untuk memelihara ternak dinilai dengan Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara KPT sapi potong dengan empat variabel indikatif yang diamati, yang kemudian digunakan untuk menentukan persamaan regresi terbaik dalam menghitung KPT sapi potong di suatu wilayah.


Materi dan Metode

Penelitian dilakukan melalui suatu survey terhadap peternak di tiga kawasan pengembangan sapi potong Provinsi Jambi yaitu Kawasan Singkut di Kabupaten Sarolangun, Kawasan Pamenang di Kabupaten Merangin dan Kawasan Kuamang Kuning di Kabupaten Bungo. Responden penelitian adalah petani peternak sapi potong yang ditentukan dengan cara snowball (Nasution, 2004) pada sejumlah desa pengembangan prioritas di masing-masing kawasan. Jumlah responden adalah 183 KK (Kepala Keluarga) dengan mempertimbangkan keterwakilan karakterisktik tertentu dari responden yaitu jumlah ternak yang dipelihara.

Data primer dikumpulkan pada akhir Mei 2006 melalui wawancara dengan responden dan pengamatan lapangan. Data primer yang dikumpulkan mencakup dua aspek utama yaitu: (1) identitas serta berbagai informasi yang berkaitan dengan aktivitas pengembangan sapi potong responden; dan (2) sikap responden terhadap pengembangan sapi potong yang ia lakukan. Data pada aspek pertama dikumpulkan melalui sejumlah pertanyaan yang disusun dalam format pertanyaan terbuka maupun pilihan. Sedangkan untuk data aspek kedua dibuat dalam format summated rating atau skala Likert sebagaimana yang disarankan oleh Suryabrata (1998); Azwar (1995); dan Ancok (1997).

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12.0 for Windows. Analisis data yang dilakukan terdiri dari: (1) Uji korelasi yang dilakukan untuk melihat kecenderungan hubungan antara KPT dengan keempat variabel indikatif yang diamati. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Spearman sebagaimana yang disarankan oleh Foody (1988), yang juga digunakan oleh Ihsan dan Nasich (2003). (2) Penentuan persamaan regresi antara KPT dengan variabel yang diamati. Metode penentuan yang digunakan mengacu pada saran Basuki dan Hadjam (1986) dan Triola (1997), dengan mencoba berbagai model regresi yang menggunakan korelasi Pearson kemudian memilih bentuk persamaan terbaik. Pengambilan kesimpulan atas hasil uji mengacu pada petunjuk penggunaan program SPSS yang disusun oleh Nugroho (2005).


Hasil dan Pembahasan


Kemampuan Pemiliharaan Ternak (KPT) 

KPT adalah jumlah sapi potong maksimum yang mampu dipelihara oleh suatu rumah tangga petani atas dasar jawaban responden pada saat survey, dengan mengacu pada pengalaman pemeliharaan ternak yang telah mereka lakukan. Satuan yang digunakan untuk KPT adalah ST (Satuan Ternak)/ RT (Rumah Tangga). Besaran ST mengacu pada Matondang et al. (1998) yaitu sapi dewasa = 1 ST; sapi dara / bujang = 0,6 ST; dan anak = 0,25 ST. Dari data yang diperoleh ditemui rentang KPT responden antara 0,60 sampai dengan 8,50 ST/RT. Jika rentang KPT tersebut dibagi dalam lima kategori yaitu Sangat Rendah, Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat Tinggi maka didapat mayoritas responden (46%) berada pada kategori Rendah (2,19 – 3,76 ST/RT); 43% pada kategori Sangat Rendah (0,60 – 2,18 ST/RT) dan sisa berada pada tiga kategori yang lain. Hasil analisis korelasi Spearman antara nilai KPT dengan keempat variabel yang diamati terangkum pada tabel 1 dan dijelaskan berikut ini.

 

Tabel 1   Analisis Korelasi Spearman Antara KPT Sapi Potong dengan Sejumlah Variabel

 

Variabel

Nilai r

Nilai p

Kesimpulan

Jumlah Tenaga Kerja Keluarga

0,288

0,000

Hubungan positif sangat nyata

Jenis Usahatani Pokok

0,126

0,090

Hubungan positif tidak nyata

Penanaman HMT

0,147

0,047

Hubungan positif nyata

Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong

0,123

0,096

Hubungan positif tidak nyata


a. Jumlah Tenaga Kerja Keluarga 

Ketersediaan tenaga kerja keluarga pada petani kecil erat kaitannya dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pemeliharaan ternak seperti untuk mengambil pakan dan pengelolaan kandang. Mulyana (2004) menemukan kebutuhan tenaga kerja untuk pemeliharaan per-ST sapi potong sebanyak 619,43 Jam Kerja Pria per-tahun. Pada penelitian ini satuan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga yang digunakan adalah OK (Orang Kerja) yang mengacu pada Kasup (1998), dimana untuk pria dewasa = 1 OK; wanita dewasa = 0,8 OK dan anak-anak = 0,5 OK. Jika Jumlah Tenaga Kerja Keluarga responden dikelompokkan ke dalam lima ketegori yaitu Sangat Rendah, Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat Tinggi maka diperoleh mayoritas responden (46%) memiliki Jumlah Tenaga Kerja Keluarga pada kategori Rendah (1,77 – 2,52 OK); 32% pada kategori Sedang (2,53 – 3,28 OK) dan sisanya berada pada tiga kategori lainnya.

Hasil analisis korelasi Jumlah Tenaga Kerja Keluarga terhadap KPT diperoleh hubungan positif yang sangat nyata (p<0,01).  Hanya saja dilihat dari nilai r (koefisien korelasi) kedua variabel ini maka keeratan hubungannya termasuk kategori rendah.  Hal ini menunjukkan bahwa Jumlah Tenaga Kerja Keluarga bukannya faktor yang dominan dalam menentukan jumlah ternak sapi potong yang mampu dipelihara oleh suatu rumah tangga petani.  Rendahnya korelasi kedua variabel ini dapat karena jumlah Jumlah Tenaga Kerja Keluarga hanya dihitung berdasarkan jumlah anggota keluarga yang ada di dalam rumah tangga responden, bukan tenaga kerja potensial yang betul-betul dapat dimanfaatkan untuk membantu pengelolaaan ternak.

b. Jenis Usahatani Pokok 

Jenis Usahatani Pokok erat kaitannya dengan ketersediaan tenaga kerja tersisa yang dapat digunakan untuk pengelolaan ternak. Penggunaan variabel ini dilakukan karena pemeliharaan ternak sapi potong pada petani kecil umumnya merupakan pekerjaan sambilan. Novra dan Fitriani (2000) menemukan hubungan yang nyata antara peningkatan skala usaha pemeliharaan sapi potong dengan jumlah waktu luang yang dimiliki petani. Di lokasi penelitian ditemukan dua usahatani pokok yaitu perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet. Secara umum petani kelapa sawit memiliki tenaga kerja sisa yang lebih besar dibandingkan dengan petani karet. Hal ini dikarenakan pada usahatani kelapa sawit pemanenan dilakukan rata-rata dua minggu sekali, sementara itu pada karet dilakukan setiap hari.

 Dalam analisis data yang dilakukan pada penelitian ini Jenis Usahatani Pokok diperlakukan sebagai variabel dummy (Carlson dan Thorne, 1997), dimana responden dengan Jenis Usahatani Pokok karet diberi nilai 0 dan kelapa sawit diberi nilai 1. Dari data yang dikumpulkan ditemui 122 KK responden memiliki usatani pokok kelapa sawit dan 61 KK karet. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata (p>0,05) antara Jenis Usahatani Pokok dengan KPT. Hal ini dapat disebabkan karena dalam penelitian ini tidak memperhitungkan luasan areal dan pola pengelolaan usahatani pokok masing-masing responden sehingga data yang diperoleh tidak mencerminkan tenaga kerja yang secara riil tersisa sebagai tenaga kerja yang dapat digunakan untuk pengelolaan ternak.

 c. Penanaman HMT

Penanaman HMT oleh responden erat kaitannya dengan kemudahan petani dalam penyediaan pakan hijauan. Variabel ini digunakan mengingat pola penyediaan pakan yang diterapkan di lokasi penelitian adalah sistem cut and carry. Dengan penerapan pola ini maka pemenuhan kebutuhan pakan ternak sangat ditentukan oleh kemampuan petani menyediakan pakan. Dengan semakin mudahnya petani menyediakan pakan hijauan diharapkan akan semakin meningkat kemampuan mereka dalam memelihara ternak. Pada penelitian ini, Penanaman HMT merupakan variabel dummy, dimana responden yang tidak menanam HMT diberi nilai 0 dan yang menanam diberi nilai 1. Ditemui 89 KK responden yang tidak menanam HMT dan 94 KK yang menanam. Dari hasil analisis diperoleh korelasi positif yang nyata (p<0,05) antara Penanaman HMT dengan KPT Sapi Potong, walaupun dengan tingkat korelasi yang sangat rendah.  Hasil analisis ini kelihatannya berlawanan dengan fakta lapangan dimana ditemukan bahwa penyediaan pakan merupakan faktor pembatas utama yang dirasakan responden dalam pemeliharaan sapi potong mereka. Hal ini salah satunya disebabkan karena data yang dikumpulkan tidak mencakup luas HMT yang ditanam oleh responden.  HMT yang ditanam oleh responden tidak saja di sekitar rumah tetapi juga di ladang yang jaraknya jauh dari rumah.  Selain itu umumnya responden menggunakan HMT alam sebagai sumber pakan utama, sedangkan HMT yang ditanam hanya sebagai pakan tambahan atau cadangan.


d. Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong 

Sikap (attitude) merupakan suatu konsep psikologi sosial yang sering digunakan para ahli untuk melihat kecenderung seseorang untuk perilaku tertentu. Oleh Triandis (1971) ditegaskan bahwa konsepsi sikap merupakan perwujudan adanya konsistensi antara pemikiran (thinking), perasaan (feeling) dan perbuatan (acting). Hal ini dipertegas oleh Ancok (1997) tentang adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Metode ini telah digunakan untuk melihat perilaku petani dalam penerapan suatu inovasi oleh Wijayanto (2005) dan Zahid (1997). Dalam konteks penelitian ini digunakan asumsi bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap pengembangan sapi potong maka akan semakin meningkat kemauannya untuk memelihara ternak tersebut.

Jika Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong responden dikelompokkan dalam lima kategori yaitu Sangat Negatif, Negatif, Netral, Positif dan Sangat Positif maka diperoleh mayoritas responden (39%) memiliki sikap pada kategori Sangat Positif; 25% pada kategori Positif dan sisanya pada kategori Netral, Negatif dan Sangat Negatif. Hasil analisis data responden tentang Sikap terhadap pengembangan Sapi Potong responden tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata (p>0,05) dengan KPT. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagian besar responden memang sudah memiliki sikap yang baik terhadap pengembangan sapi potong. Sikap seperti ini tentunya terbangun dari manfaat yang telah banyak mereka peroleh dari hasil pemeliharaan ternak selama ini. Untuk diketahui bahwa lokasi survey adalah kawasan pengembangan ternak, yang sebagian besar anggota masyarakatnya secara sosial sudah sangat terbiasa dengan pemeliharaan sapi potong.


Persamaan Regresi

Dari hasil uji berbagai model regresi berganda diperoleh bahwa hanya variabel Jumlah Tenaga Kerja Keluarga yang memiliki nilai intersep dengan tingkat kepercayaan yang ditentukan (p<0,05).  Dengan demikian tiga variabel lainnya tidak layak digunakan sebagai faktor penentu KPT.  Model regresi terbaik yang diperoleh adalah model Exponensial dengan persamaan lnY = 0,42 + 0,17X (r2=0,093).  Penentuan model terbaik ini didasarkan pada pertimbangan nilai r2 tertinggi, keragaman terendah dan tingkat kepercayaan tertinggi.  Nilai r2 sebesar 0,093 memberikan makna bahwa Jumlah Tenaga Kerja Keluarga (X) hanya menentukan 9,3% dari KPT (Y), sisanya ditentukan oleh faktor lain.   Hasil analisis ini menunjukkan bahwa variabel yang digunakan dalam persamaan yang diperoleh hanya memberikan manfaat yang sangat kecil dalam pendugaan KPT sapi potong.

Kesimpulan

Terdapat korelasi sangat nyata (p<0,01) antara Jumlah Tenaga Kerja Keluarga, dan nyata (p<0,05) antara Penanaman HMT dengan KPT sapi potong pada peternak kecil.  Hasil analisis lanjutan untuk mencari persamaan regresi terbaik untuk menentukan KPT sapi potong, diperoleh persamaan dengan daya penentu yang sangat lemah, yang dicerminkan dari nilai r2 yang sangat rendah.  Salah satu penyebab tidak diperolehnya hubungan yang kuat antara variabel yang dikumpulkan bersifat sangat global.  Oleh karena itu diperlukan kajian yang lebih rinci terutama berkaitan dengan Ketersediaan Tenaga Kerja Keluarga sebagai faktor penentu KPT.

 

Daftar Pustaka

Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Azwar, S. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Basuki, T.E.H dan M.A. Hadjam. 1986. Pengantar Ekonometrika. Edisi I. BPFE. Yogyakarta.

Carlson, W.L. dan B. Thorne. 1997. Applied Statistical Methods. Prentice Hall. USA.

Foody, W.H. 1988. Elementary Applied Statistics for the Social Sciences. Harper and Row Publishers. Sydney.

Haeruddin. 2004. Potensi dan Daya Dukung Limbah Pertanian sebagai Pakan Sapi Potong di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis (tidak dipublikasi).

Ihsan, M.N. dan M. Nasich. 2003. Minat peternak terhadap Pelaksanaan Inseminasi Buatan pad kambing di Kabupaten Malang. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan vol. VI no.3.

Kasup, I. 1998. Kesiapan Peternak dalam Pengembangan Usaha Peternakan Sapi. Institut Pertanian Bogor. Tesis (tidak dipublikasi).

Matondang et al. 1998. Analisa Faktor-faktor Produksi Sapi Potong di Lampung. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1- 2 Desember 1998. Hal. 611 – 617. Pusat Penelitian Peternakan Bogor.

Mulyana, S. 2004. Perbandingan Tingkat Pendapatan, Pencurahan Tenaga Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja antara Tiga Pola Usahatani Campuran Ternak Sapi dengan Tanaman Pangan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. Vol. VII no. 2.

Nasution, S. 2004. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Cetakan Ketujuh. Bumi Aksara. Jakarta.

Novra, A. dan A. Fitriani. 2000. Pengembangan Usaha Ternak Sapi dalam Rangka Pemerataan Pendapatan Usahatani dan Penggunaan Tenaga Kerja Keluarga Transmigran. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan. Vol. III no. 3.

Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Setyono, D.J. 1995. Analisis Struktur dan Perencanaan Tata Ruang Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tesis (tidak dipublikasi).

Suryabrata, S. 1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Triandis, H.C. 1971. Attitude and Attitude Change. John Wiley & Sons. New York

Triola, M.F. 1997. Elementary Statistics. 7th Edition. Addison – Wesley. Massachussetts.

Wijayanto, B. 2005. Tingkat Adopsi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi di Kabupaten Lampung Tengah. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Tesis (Tidak Dipublikasi).

Zahid, A. 1997. Hubungan Karakteristik Peternak Sapi Perah dengan Sikap dan Perilaku Aktual dalam Pengelolaan Limbah Peternakan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis (Tidak Dipublikasi).

(Diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan Volume X nomor 1 Edisi Februari 2007)





STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU

Abstrak

Populasi ternak kerbau di Provinsi Jambi meningkat rata-rata 1% per-tahun selama lima tahun terakhir, sementara itu pemotongan meningkat 13% pada periode yang sama. Oleh karena itu permasalahan utama pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi adalah pengurasan populasi. Faktor penentu utama yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan adalah: (1) Kekuatan: kerbau telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Jambi serta memiliki kemampuan adaptasi dan daya guna yang tinggi; (2) Kelemahan: pemeliharan ekstensif (di lepas sepanjang hari); (3) Peluang: ketersediaan pakan yang tinggi melalui integrasi dengan perkebunan; (4) Ancaman: munculnya berbagai masalah sosial seperti konflik dengan pemilik kebun dan pencurian, rendahnya ketersediaan pejantan serta tingginya pemotongan ternak betina produktif. Strategi pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi dititik beratkan pada rekayasa sosial untuk merubah pola pemeliharaan ekstensif ke semi intensif. Disamping itu perlu ditingkatkan ketersediaan pejantan bermutu serta penanggulangan pemotongan ternak betina produktif.

Abstract

The population of buffalloes in Jambi Province increased on average 1% per-year in the last five years, while the number of animals slaughtered increased 13% in the same period. Therefore, the main problem of buffalloes development in Jambi Province is population depletion. The main determining factors in dealing with the development are: (1) Strength: buffaloes have been an integrated part of the life of Jambi people with a high adatability and utility; (2) Weakness: extensive (uncontrolled grazing) husbandry; (3) Opportunity: abundant of forage for feed throught integration with estate plantation; (4) Threat: emerging of various social conflict such as conflict with land owners and animal stealing, low availability of high quality males and high number of productive female slaughter. The strategy to develop buffaloes in Jambi Province should be stressed in social engineering to shift extensive to semi intensive husbandry. Besides, there is a need to increase the number of high quality males and to control slaughtering of productive females.

Latar Belakang
 
Pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi memerlukan perhatian khusus mengingat keadaan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini cenderung melahirkan ketidakharmonisan interaksi antara kerbau dengan lingkungannya. Ketidakharmonisan ini erat kaitannya dengan pola pemeliharaan kerbau yang sebagian besar masih dilakukan secara ekstensif (dilepas sepanjang hari), sementara pemanfaatan lahan semakin intensif sehingga ketersediaan areal untuk penggembalaan ternak semakin terbatas. Selain itu sarana transportasi yang semakin lancar juga memberikan kemudahan bagi para pencuri ternak kerbau. Hal ini telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang mendorong semakin tidak kondusifnya pengembangan ternak kerbau serta secara nyata berpengaruh negatif terhadap populasi ternak ini. Data yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan Provinsi Jambi memperlihatkan pertumbuhan populasi kerbau selama lima tahun terakhir hanya 1% per-tahun, sementara itu pertumbuhan pemotongan sebesar 13% per-tahun.

Terlepas dari sejauhmana akurasi data yang disajikan diatas, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pedagang semakin merasakan kesulitan untuk mendapat ternak kerbau guna memenuhi kebutuhan harian mereka, apalagi pada hari raya idul fitri, sehingga sebagian kebutuhan ini harus dimasukkan dari luar provinsi. Dari 870 ekor kerbau yang dipotong pada bulan April dan Mei 2007 di RPH Kota Jambi, tercatat 303 ekor (35%) berasal dari luar provinsi. Sementara itu Dinas Peternakan Provinsi Jambi mencatat pemasukan kerbau dari luar provinsi pada tahun 2005 sebanyak 5.596 ekor, dengan jumlah pemotongan sebesar 11.782 ekor. Dengan kenyataan ini maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi saat ini adalah ancaman pengurasan populasi. Untuk mengurangi dampak negatif dari ancaman ini maka diperlukan strategi pengembangan yang lebih terencana dan sistematis. Pada kesempatan ini disampaikan sumbang saran kepada pihak terkait mengenai strategi yang diharapkan dapat menyelamatkan keberadaan kerbau di Provinsi Jambi kedepan sebagaimana diuraikan berikut ini.

Analisis Faktor Penentu

Kekuatan (Strength):

1. Ternak kerbau sudah menjadi bagian penting dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakat Jambi, tidak saja sebagai komoditas ekonomi tetapi juga berfungsi sebagai komoditas sosial budaya. Daging kerbau lebih disukai untuk berbagai jenis masakan tradisional Jambi. Dari 1.205 ternak besar yang dipotong di RPH Kota Jambi pada bulan April dan Mei 2007 sebanyak 870 ekor (72%) adalah kerbau. Di beberapa daerah tertentu kerbau menjadi bagian dari prosesi adat, seperti perkawinan atau denda adat, yang tidak boleh digantikan dengan ternak lainnya. Dengan demikian kerbau memiliki nilai ekonomis yang tinggi di tengah masyarakat Jambi.

2. Kerbau memiliki kemampuan mencerna pakan bermutu rendah yang lebih efisien daripada sapi. Hal ini diduga erat kaitannya dengan lambannya gerakan makanan didalam saluran pencernaan kerbau sehingga makanan tersebut dapat diolah lebih lama dan penyerapan zat gizinya akan lebih banyak (Devendra, 1987). Oleh karena itu jarang sekali ditemukan kerbau yang kurus walaupun dengan ketersediaan pakan yang seadanya. Yurleni (2000) hanya menemukan 2,5 – 12,5% kerbau yang diamatinya dalam kondisi kurus. Perdagingan yang penuh dan padat menjadikan kerbau memiliki persentase daging yang lebih tinggi ketimbang sapi. Tidak heran kalau para pedagang ternak lebih menyukai kerbau untuk dipotong daripada sapi;

3. Dari sisi kemampuan fisik kerbau memiliki kaki yang kokoh disertai teracak yang lebar. Sungguhpun jalannya lambat tetapi mampu menarik beban yang berat serta menempuh medan yang becek bahkan berlumpur. Oleh karena itu kerbau sangat cocok digunakan sebagai ternak penarik hasil produksi pertanian dan kehutanan di lokasi-lokasi yang hampir mustahil dilalui oleh kendaraan lainnya.

Kelemahan (Weakness):

1. Pola pemeliharaan ternak kerbau sebagian besar masih ekstensif sehingga menimbulkan berbagai ekses negatif seperti konflik dengan usaha pertanian lain, meningkatnya pencurian dan sulitnya pengendalian kesehatan ternak. Penerapan pola pemeliharaan ini terkesan didukung oleh ketentuan adat humo bepagar siang, ternak bekandang malam, yang diartikan bahwa ternak boleh saja berkeliaran dan masuk ke lahan pertanian pada siang hari. Tetapi praktiknya saat ini pada malam haripun ternak tetap saja berkeliaran;

2. Dari sisi fisiologis kerbau memiliki perilaku reproduksi yang relatif berbeda dibandingkan dengan sapi. Salah satunya adalah kecenderungan induk kerbau memperlihatkan ciri birahi tenang (silence heat) serta datangnya birahi pada subuh dan malam hari (Williamson dan Payne, 1974; Ilyas dan Leksmono, 1995 ). Hal ini menyebabkan pengaturan perkawinan pada pola pemeliharaan intensif menjadi relatif lebih sulit;

3. Masih kurangnya perhatian pihak terkait terhadap pengembangan ternak kerbau. Prioritas pengembangan ternak besar yang selama ini ditangani oleh pemerintah lebih tertuju pada sapi. Sementara itu penelitian yang berkaitan dengan pengembangan ternak kerbau relatif sangat jarang.

Peluang (Opportunity):

1. Pembangunan ekonomi di Provinsi Jambi tertumpu pada sub sektor perkebunan. Jika dikelola dengan baik maka sub sektor ini merupakan mitra yang serasi dengan pengembangan ternak kerbau. Usahatani perkebunan dapat meningkatkan ketersediaan pakan untuk ternak, sebaliknya tenaga kerja dan pupuk kandang dari ternak dapat dimanfaatkan pada usahatani perkebunan;

2. Adanya kecenderungan masyarakat moderen untuk back to nature sehingga pangan eksotik seperti halnya daging kerbau, yang juga memiliki kandungan lemak rendah, mempunyai potensi yang sangat besar sebagai komoditas ekspor ke negara maju;

3. Provinsi Jambi terletak pada perlintasan wilayah berkembang sehingga memiliki akses yang lebih mudah untuk pengiriman komoditas perdagangannya ke pasar-pasar potensial;

Ancaman (Threat):

1. Petani merasa semakin tidak nyaman untuk mengembangkan ternak kerbau karena berbagai konflik sosial, pencurian dan tingginya angka kematian. Jika petani merasa tidak nyaman memelihara ternak maka ternak yang lebih dahulu dijual adalah pejantan. Oleh karenanya dampak yang paling cepat terlihat adalah penurunan angka kelahiran karena kesulitan pejantan. Hasil pengamatan pada 19 padang penggembalaan kerbau di Kabupaten Batanghari, ditemukan 5 padang penggembalaan yang tidak memiliki pejantan (Anonim, 1999). Sementara itu Yurleni (2000) menemukan perbandingan pejantan : induk sebesar 1 : 6,76;

2. Masih tingginya pemotongan ternak betina produktif. Dari pemotongan ternak kerbau bulan April dan Mei 2007 di RPH Kota Jambi ditemukan 40% adalah betina, yang besar kemungkinan masih produktif;

3. Hilangnya plasma nutfah kerbau asli Jambi yang saat ini belum banyak diteliti keberadaannya.

Strategi Pengembangan

Dari analisis yang telah diuraikan diatas maka pemeliharaan ternak kerbau dengan pola ekstensif merupakan faktor penentu yang paling penting sebagai penyebab timbulnya permasalahan dalam pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi. Dengan semakin sempitnya ketersediaan lahan penggembalaan serta tingginya tingkat pencurian ternak maka pola pemeliharaan ternak seperti ini tentunya tidak bisa dipertahankan lagi. Mengubah pemeliharaan kerbau secara langsung ke pola intensif (sepenuhnya dikandang), sepertihalnya pada ternak sapi, rasanya belum memenuhi kelayakan budaya. Selain itu juga akan mempersulit dalam proses perkawinan ternak karena sifat reproduksi kerbau yang khas itu. Sedangkan untuk penyediaan padang penggembalaan khusus dengan luasan yang mampu menyediakan hijauan dalam jumlah cukup tentu masih memerlukan perhitungan kelayakan ekonomisnya. Oleh karena itu yang paling layak diterapkan adalah pola semi intensif, dimana ternak digembalakan dan dikandangkan pada waktu-waktu tertentu.

Pola pemeliharaan semi intensif yang paling layak diterapkan adalah dengan menyediakan padang penggembalaan terbatas, dengan memanfaatkan lahan tidak produktif seperti rawa. Ternak dilepas pada siang hari di padang penggembalaan yang telah diberi pembatas dan dimasukkan ke kandang pada malam hari. Kandang tersebut dibangun berderet dipinggir padang penggembalaan. Fungsi padang penggembalaan disini lebih banyak untuk memudahkan perkawinan, disamping dapat menyediakan sebagian dari kebutuhan pakan ternak. Guna mencukupi ketersediaan pakan yang terbatas di padang penggembalaan maka peternak harus memberikan tambahan hijauan untuk ternak mereka di kandang masing-masing.

Merubah perilaku peternak dari yang semula hanya melepaskan ternak mereka menjadi mau untuk menyediakan pakan dan mengawasi ternaknya setiap hari tentunya membutuhkan proses rekayasa sosial (social engineering) yang harus dilakukan secara seksama. Dalam pelaksanaannya tidak saja membutuhkan upaya penyuluhan yang intensif tetapi juga disertai dengan pembinaan kelompok peternak dan dorongan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu perlu adanya pelurusan kembali ketentuan adat humo bepagar siang, ternak bekandang malam, yang selama ini menjadi pembenaran kepada peternak untuk melepaskan ternaknya begitu saja. Pepatah tersebut harus dipahami secara utuh yaitu ternak bakandang bareban malam, beketuk bekalo-kalo, bekeloan betali kundang, siang betali mato, dekat diturut dengan ae garam kok jauh dijelang (Anonim, 1999). Artinya para peternak tidak boleh semena-mena melepaskan ternaknya sungguhpun pada siang hari tetapi harus disertai dengan pengawasan.

Ketersediaan pejantan yang bermutu dalam jumlah cukup di masing-masing padang penggembalaan menjadi faktor penentu dalam peningkatan angka kelahiran dan mutu genetik keturunan ternak. Pada sistem pemeliharaan ternak berkelompok sangat sulit diharapkan adanya petani yang mau menyediakan pejantan yang bermutu untuk kebutuhan induk para anggota lainnya. Oleh karena itu akan lebih baik jika pemerintah dapat membantu dalam penyediaan pejantan ini dengan menggaduhkan sejumlah pejantan yang terseleksi kepada peternak. Pejantan gaduhan ini tidak harus didatangkan dari tempat lain tetapi dapat saja ternak milik anggota kelompok itu sendiri yang dibeli oleh pemerintah. Setelah digunakan 4 – 5 tahun maka pejantan tersebut dapat dijual dan dibagi hasil dengan peternak yang menggaduhnya. Penggaduhan pejantan ini hendaknya disertai dengan program peningkatan mutu genetis melalui seleksi, penerapan IB (kawin suntik) dan menghindari kasus kawin sedarah (inbreeding).

Upaya menekan aktivitas pemotongan ternak betina produktif tentunya perlu mendapat perhatian, mengingat aktivitas ini akan mempercepat proses pengurasan populasi kerbau. Implementasinya tidak saja membutuhkan pendekatan yuridis tetapi harus juga digabung dengan pendekatan sosial ekonomi. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut agar pendekatan yang diterapkan untuk mengatasi masalah klasik ini dapat dirancang secara tepat guna.

Penutup

Salah satu kelemahan yang paling terasa dari uraian ini adalah minimnya informasi ilmiah mengenai pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi. Kiranya hal ini dapat dimaklumi mengingat penelitian yang berkaitan dengan topik ini sangat terbatas. Dengan segala keterbatasannya mudah-mudahan uraian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi semua pihak terkait dalam menyusun program pengembangan ternak kerbau di Provinsi Jambi selanjutnya.

Pustaka Acuan

Anonim. 1999. Laporan Studi Pendahuluan Pengembangan Potensi Kerbau di Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi. Dinas Peternakan Propinsi Jambi.

Anonim. 2006. Statistik Peternakan Provinsi Jambi 2005. Dinas Peternakan Provinsi Jambi.

Devendra, C. 1987 di dalam Hacker, J.B. dan J.H. Ternouth. (ed). The Nutrition of Herbivore. pp 2 – 46. Academic Press. Sidney.

Ilyas, A.Z. dan C.S. Leksmono (ed). 1995. Pedoman Pengembangan dan Perbaikan Ternak Kerbau di Indonesia. Departemen Pertanian – Food and Agriculture Organization.

Yurleni. 2000. Produkstivitas dan Peluang Pengembangan Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Thesis. Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasi).

Williamson, G. Dan W.J.A. Payne. 1974. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. Longman.

Wiryosuhanto, S. et al. 1980. Profil Peternakan Kerbau di Indonesia. Inspektorat Dinas Peternakan Propinsi Jambi.

(Makalah yang disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Ternak Kerbau di Provinsi Jambi tanggal 23 Juni 2007 )

STUDI PENDAHULUAN KINERJA KELOMPOKTANI

ABSTRAK

Studi pendahuluan ini merupakan suatu penelitian deskriptif yang bertujuan untuk melihat  kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi dengan menggunakan metode yang sederhana.   Pengumpulan data dilakukan dengan metode tidak langsung melalui menyebarkan angket kepada 291 responden yaitu PPL yang membina kelompoktani di sepuluh kabupaten / kota yang ada di Provinsi Jambi.  Untuk mengetahui kinerja kelompoktani digunakan tiga indikator utama  yaitu  pertemuan rutin, pemupukan modal dan pergantian kepengurusan kelompok.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kelompoktani yang dibina oleh seluruh responden adalah sebanyak 2.326 kelompok, yang terdiri 17 kelompok kelas utama, 188 madya, 806 lanjut, 928 pemula, 368 belum dikukuhkan dan 19 kelompok tidak diketahui kelasnya.  Dari jumlah tersebut 53,02% kelompoktani tidak melakukan pertemuan rutin sedangkan sisanya mempunyai kegiatan pertemuan rutin.  Kelompoktani yang tidak mengelola uang kas kelompok sebanyak 58,12% sedangkan sisanya mengelola uang kas sampai dengan.  Sementara itu kelompoktani yang melakukan pergantian kepengurusan secara rutin sebanyak 39,01%, sedangkan sisanya melakukan pergantian pengurus dalam selang waktu yang  tidak tentu.  Didapat 33 responden yang tidak mengetahui tentang kegiatan pertemuan rutin 200 kelompoktani binaannya; 57 responden yang tidak mengetahui tentang pemupukan modal 417 kelompoktani binaanya.; dan 60 responden yang tidak mengetahui tentang pergantian pengurus 450 kelompoktani binaannya..    

 

1.      Pendahuluan 

Perubahan paradigma pembangunan pertanian Indonesia, dari peningkatan produksi menjadi pendekatan agribisnis, membutuhkan petani dengan posisi tawar yang kuat.  Hal ini hanya dapat dicapai jika petani mampu berhimpun dalam suatu kekuatan bersama, seperti halnya kelompoktani.  Kelompoktani yang berfungsi sebagai kelas belajar, unit produksi usahatani nelayan dan wahana kerjasama antar anggota kelompok atau antara anggota kelompok dengan pihak lain (Deptan, 1989) merupakan salah satu kebutuhan dalam proses industrialisasi pertanian.  Kelompoktani merupakan sarana  untuk menggali potensi sumberdaya manusia, baik potensi mental psikologisnya maupun potensi fisik teknis yang dimiliki petani (Adjid, 1981).   

Sedikitnya ada tiga alasan mengapa diperlukan kelompoktani dalam pembangunan pertanian di pedesaan Indonesia.  Pertama, rendahnya rasio jumlah PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) dibandingkan dengan jumlah petani sehingga diperlukan wadah yang dapat mempermudah kerja PPL dalam melaksanakan tugas penyuluhan mereka.  Kedua, terbatasnya sumberdaya yang dimiliki petani secara individual sehingga dengan bekerjasama dalam kelompok akan mendorong petani untuk menggabung sumberdaya mereka menjadi lebih ekonomis.  Ketiga, perilaku berkelompok sudah merupakan budaya Indonesia, terutama di pedesaan.  Sebagian besar aktivitas masyarakat pedesaan sangat dipengaruhi oleh keputusan kelompok (Martaamidjaja, 1993).   Oleh karena itu kinerja kelompoktani merupakan salah satu aspek penunjang yang penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan agribisnis, terutama di pedesaan.      

 Saat ini di Provinsi Jambi terdapat 6.287 kelompoktani (BBKP, 2003). Hanya saja tidak ditemui adanya informasi yang layak mengenai kinerja kelompotani yang ada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.   Salah satu kesulitan dalam menyediakan informasi mengenai kinerja kelompoktani adalah dikarenakan  indikator yang digunakan selama ini yaitu Lima Jurus Kelompok bersifat sangat kualitatif sehingga relatif sulit diukur.  Guna mendapatkan gambaran umum mengenai kinerja kelompoktani yang ada di Provinsi Jambi maka dilakukan penelitian ini.  Penelitian ini disebut sebagai studi pendahuluan karena aspek yang dikaji hanya berupa kinerja manajemen internal kelompok yang mudah diamati secara kuantitatif saja.  Selain itu metode pengumpulan data dilakukan secara tidak langsung melalui PPL selaku petugas pembina kelompoktani.   

2.      Metode Penelitian 

Format penelitian ini sebagaimana yang digariskan oleh Faisal (2003) merupakan penelitian deskriptif, untuk mengetahui kondisi dan kinerja kelompoktani yang ada di Provinsi Jambi.  Pendekatan yang digunakan adalah survey dengan unit studi adalah kelompoktani.  Metode pengumpulan data melalui pengiriman angket kepada PPL yang membina kelompoktani.  Angket ini berisi enam pertanyaan yang menyangkut kelompok binaan responden yaitu jumlah kelompok dan desa binaan, kelas kelompok, jumlah anggota kelompok, pertemuan rutin, modal kelompok; dan pergantian kepengurusan kelompok (contoh angket terlampir).  Pengiriman angket kepada responden dilakukan melalui instansi pembina PPL di tingkat kabupaten / kota pada bulan Mei s/d Agustus 2004.   Jumlah angket yang dikirim masing-masing sebanyak 50 angket untuk setiap kabupaten / kota se- Provinsi Jambi.

Responden ditentukan secara tidak sengaja atau incidental sampling (Faisal, 2003; Shahab, 2003) pada saat PPL hadir di kantor pembina kabupaten / kota atau pada saat pertemuan rutin.   Angket yang diserahkan kepada rsponden terdiri dari (1) Surat pengantar singkat yang menjelaskan maksud penelitian dan tata cara pengisian angket; (2) lembaran angket; dan (3) amplop kosong yang distempel dengan tulisan “Survey Aktivitas Kelompoktani”.  Angket yang sudah diisi oleh responden dikembalikan lagi kepada instansi pembina secara tertutup dan tanpa identitas untuk selanjutnya dikirimkan kembali kepada peneliti.  Data yang masuk diolah secara sederhana dengan menggunakan program Excel.

Salah satu keterbatasan metodologis penelitian ini adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara tidak langsung pada objek penelitian.   Dengan metode ini akurasi data yang dikumpulkan sangat tergantung pada kejujuran, daya ingat dan independensi PPL selaku responden. Guna mengurangi bias akibat ketidak tahuan responden maka pada angket diberikan juga alternatif jawaban “tidak tahu”, untuk menunjukkan bahwa responden tidak tahu atau tidak ingat dengan informasi yang ditanyakan. 

2.      Hasil  dan Pembahasan 

a.      Responden 

      Dari 500 angket yang dikirimkan ke sepuluh kabupaten / kota yang ada di Provinsi Jambi sampai dengan pertengahan Desember 2004 telah kembali sebanyak 291 angket yang layak untuk diolah.  Jumlah kelompoktani, PPL pembina kelompoktani dan responden masing-masing kabupaten / kota disajikan pada tabel 1. 

Tabel 1. Jumlah PPL Pembina Kelompoktani, Kelompoktani dan Jumlah Sampel Studi Pendahuluan Kinerja Kelompoktani di Provinsi Jambi 

 

Kabupaten / Kota

Jumlah

PPL Pembina *

Jumlah

Kelompoktani **

 Jumlah Sampel

PPL

Kelompoktani

Kota Jambi

Batang Hari

Muaro Jambi

Bungo

Tebo

Merangin

Sarolangun

Tanjab Barat

Tanjab Timur

Kerinci

25

84

86

115

85

142

82

82

77

145

145

737

483

653

657

875

708

360

769

900

12

26

23

34

45

24

49

35

22

21

53

167

139

221

275

152

434

337

295

253

Jumlah

923

6.287

291

2.326

Keterangan:

* Data diolah dari berbagai sumber yang menunjukkan hanya jumlah PPL yang secara langsung membina kelompoktani di lapangan pada saat penelitian 

** Sumber data BBKP, 2003

b.      Kelas dan Keanggotaan Kelompok 

      Dari 2.326 kelompoktani yang dibina oleh responden ditemui 17 kelompok (0,74%) yang merupakan kelompoktani kelas utama; 188 kelas madya (8,15%); 806 kelas lanjut (34,94%);  928 kelas pemula (40,23%);  dan 368 belum dikukuhkan (15,95%).  Sedangkan jumlah anggota setiap kelompok sebagian besar (57,08%) sebanyak 20 – 30 orang.  Sisanya  dengan jumlah anggota <10 orang sebanyak 1,08%; 10 – 20 orang sebanyak 20,36%;  30 – 40 orang sebanyak 16,68%;  40 -50 orang sebanyak 2,64%;  dan >50 orang sebanyak 2,16%.  Jumlah anggota per-kelompok yang ditemui pada penelitian ini cukup baik, sebagaimana direkomendasikan oleh Heim (1990) yaitu antara 20 – 40 orang, dan tidak melebihi 60 orang.  Walaupun hasil pengkajian Oxby (1983) bahwa jumlah anggota kelompok bukan merupakan faktor yang penting terhadap aktivitas dan keberlangsungan kelompoktani. 

c.       Pertemuan Rutin  

      Sebagian besar (53,02%) kelompoktani tidak mempunyai kegiatan pertemuan rutin.  Sedangkan sisanya mempunyai kegiatan pertemuan rutin dengan rincian: 5,90% kelompok melakukan pertemuan rutin setiap minggu;  30,50% setiap bulan; dan 10,58% setiap dua bulan.  Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar  kelompoktani belum berfungsi secara baik sebagai wadah interaksi petani.  Interaksi kelompok ini hanya dapat berjalan baik jika kelompok memiliki pertemuan rutin.  Pertemuan rutin lebih memberikan nuansa demokratis bagi anggota kelompok, daripada yang bersifat insidentil dimana inisiatif pertemuan cenderung dibuat oleh pengurus saja.   Menurut Sukaryo (1983) efektivitas kelompoktani sangat dipengaruhi oleh tingkat interaksi antar anggota kelompok.  Melalui interaksi internal inilah tercipta diskusi, kesimpulan dan keputusan untuk menerapkan teknologi anjuran, menjaga loyalitas, dan memantau dan mengevaluasi program kerja kelompok tersebut secara berkala.  

d.      Pemupukan Modal 

      Pemupukan modal kelompok dicerminkan dari besarnya modal yang dikelola oleh kelompoktani.  Aspek ini merupakan salah satu faktor penentu dari Lima Jurus Kemampuan Kelompoktani.  Didapat sebagian besar kelompok (58,12%) kelompok tidak mengelola uang kas. Sedangkan kelompok yang mengelola uang kas < Rp 1 juta sebanyak 22,94%;  Rp 1 – 10 juta sebanyak 16,30%;  Rp 10 – 50 juta sebanyak 2,37%;  Rp 50 -100 juta sebanyak 0,21%; dan > Rp 100 juta sebanyak 0,05%.   Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas kelompoktani belum berperan secara baik sebagai wadah kerjasama ekonomi petani, terutama untuk menjadi lembaga ekonomi mikro.  Llanto dan Balkenhol (1996) menyimpulkan bahwa  penyaluran kredit secara berkelompok dan jaminan kelompok merupakan cara yang efektif dalam mengatasi kendala agunan dalam penyediaan kredit untuk kreditor mikro.       

e.       Pergantian Pengurus 

      Peran pengurus dalam pengambilan keputusan kelompoktani sangat dominan yaitu lebih dari 70% dibandingkan dengan partisipasi anggota (Sukaryo, 1983).  Oleh karena itu pergantian kepengurusan secara rutin akan menjamin lahirnya keputusan kelompoktani yang lebih demokratis. Pada penelitian ini didapat sebanyak 66,70% kelompoktani melakukan pergantian kepengurusan dalam periode waktu yang tidak menentu.  Sementara itu 4,57% kelompok melakukan pergantian setiap tahun; 4,82% setiap dua tahun; 7,72% setiap tiga tahun; 3,60% setiap empat tahun; dan 7,77% setiap lima tahun.  Dengan demikian sebagian besar kelompoktani menunjukkan indikasi kurang berperan sebagai wadah pengambil keputusan secara demokratis.

 f.        Jawaban “tidak tahu” 

Dari hasil penelitian ini didapat jawaban “tidak tahu” dari sejumlah responden.  Jawaban ini menunjukkan bahwa responden tidak ingat atau tidak mengetahui mengenai informasi yang berkaitan dengan sebagian atau seluruh kelompoktani binaan mereka.  Informasi yang di jawab “tidak tahu” oleh responden meliputi: (a) tentang kelas kelompok dijawab oleh 5 responden (1,72%) terhadap 19 kelompoktani; (b) tentang pertemuan rutin kelompok dijawab oleh 33 responden (11,34%) terhadap 200 kelompoktani; (c) tentang pemupukan modal kelompok dijawab oleh 57 responden (19,59%) terhadap 417 kelompoktani; dan (d) tentang pergantian pengurus kelompok dijawab oleh 60 responden (20,62%) terhadap 450 kelompoktani.   

Sungguhpun jumlah jawaban “tidak tahu” ini tidak terlalu besar tetapi angka ini menunjukan indikasi cukup menonjolnya kasus kekurang pedulian responden selaku PPL terhadap kelompoktani binaanya. Hal ini dapat dimaklumi karena kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan kelompoktani memang kurang dihargai sebagai indikator kinerja PPL.  Sebagai contoh dapat dilihat dari nilai angka kredit untuk kegiatan menumbuhkan kelompoktani diberi nilai 0,625; sedangkan kegiatan meningkatkan kemampuan kelompoktani diberi nilai 0,144 – 0,720.  Angka ini tentunya relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai yang diberikan terhadap kegiatan mengikuti Diklat selama 2 minggu yaitu dengan nilai 2. 

3.      Kesimpulan dan Saran 

a.       Dengan menggunakan tiga indikator sederhana yaitu pertemuan rutin, pemupukan modal dan pergantian rutin pengurus kelompok,  secara umum disimpulkan bahwa kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi masih relatif rendah;

b.      Terdapat indikasi menonjolnya jumlah PPL yang melaksanakan kegiatannya dengan tidak berorientasi pada pembinaan kelompoktani sebagai basis pembinaan pertanian.  Hal ini dibuktikan masih ditemui sejumlah PPL yang tidak mengetahui kondisi kelompoktani binaanya, sekalipun mengenai hal-hal yang sederhana;

c.       Perlu dilakukan inventarisasi ulang terhadap kinerja kelompoktani di Provinsi Jambi dengan cara yang lebih komprehensif untuk mendapat data yang lebih akurat mengenai kondisi kelompoktani yang ada;

d.      Perlu dilakukan reorientasi kebijakan instansi pembina pembangunan pertanian untuk lebih memposisikan peran kelompoktani dalam menunjang kegiatan pembangunan pertanian, terutama di pedesaan;

e.       Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap indikator kinerja PPL, terutama yang berkaitan dengan pembinaan kelompoktani agar dapat memberikan insentif yang lebih rasional atas kinerja PPL dalam pembinaan kelompoktani. 

 

Daftar Pustaka 

Adjid, D. A. 1981.  Kelompoktani: Pembuka Cakrawala dan Sekaligus Penggerak bagi  Terwujudnya Pertanian Rakyat yang Selalu Maju. dalam  Dasar-dasar  Pembinaan Kelompoktani dalam Intensifikasi Tanaman Pangan.  159-170.  Satuan Pengendali Bimas.  Jakarta 

BBKP. 2003. Programa Penyuluhan Pertanian Provinsi Jambi Tahun 2003.  Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi Jambi. 

Deptan. 1989.  Pedoman Pembinaan Kelompoktani.  Departemen Pertanian. 

Deptan. 1993.  Buku Pintar Penyuluhan Peternakan.  Direktorat Jenderal Peternakan,   Departemen Pertanian. 

Faisal, S. 2003.  Format-format Penelitian Sosial. Rajawali Pers.  Jakarta. 

Heim, F. G. 1990. How to Work with Farmers: A Manual for Field Workers, Based onthe Case of Thailand.  Verlag Josef Margraf.  Jerman. 

Llanto, G.M. dan Balkenhol, B. 1996. Asian Experience on Collateral Substitutes: Breaking Barriers to Formal Credit.  1 – 33.  Apraca – ILO. Manila – Philippine. 

Martaamidjaja, A.S. 1993. Agricultural Extension System in Indonesia. Ministry of Agriculture. Jakarta. 

Oxby, C. 1983. “Farmer Groups” in Rural Areas of the Third WorldCommunity Development Journal. 18(1):50-59. 

Shahab, Y.  2003.  Metode Kuantitatif: Materi Pelatihan Penelitian Sosial. CEIA Center for East Indonesian Affairs), Jakarta. 

Sukaryo, D.G. 1983.   Farmer Participation in the Training and Visit System and the Role Of the Village Extension Workers: Experience in Indonesia. dalam Cernea, M.M. et. al. (Ed). Agricultural Extension by Training and Visist: the Asian Experience. 18 – 25.  The World Bank. Washington, D.C. U.S.A.  

(Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Lahan dan Tanaman Terpadu dan Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi tanggal 13 – 14 Desember 2004 diselenggarakan Oleh  Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi)

 




Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah