Sabtu, 02 Oktober 2010

KINERJA PROGRAM AKSI DESA MANDIRI PANGAN DI PROVINSI JAMBI

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Provinsi Jambi. Pengumpulan data dilakukan pada pertengahan tahun 2009 melalui suatu survey terhadap 16 desa sampel di kabupaten yaitu Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Sarolangun dan Kerinci (pada saat penelitian telah dimekarkan menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh). Data dianalisis dengan menggunakan model evaluasi CIPP (context,input, process, product). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari aspek konteks (context) program ini sangat sesuai untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat dalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga rawan pangan di pedesaan. Sedangkan dari aspek masukan (input), proses (process) dan hasil (product) tingkat kinerja yang dicapai oleh program ini masih jauh dari sasaran yang diharapkan. Disimpulkan bahwa kinerja Program Desa Mandiri Pangan di Provinsi Jambi secara keseluruhan bekum memenuhi sasaran yang telah ditetapkan.

Kata kunci: Program Aksi Desa Mandiri Pangan, kinerja.

I. PENDAHULUAN

Berpatokan pada kondisi dimana belum semua rumah tangga di Indonesia mampu memenuhi ketersediaan pangannya maka pada tahun 2006 pemerintah, melalui Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, meluncurkan Program Aksi Desa Mandiri Pangan, yang disingkat Proksi Desa Mapan. Program ini bersifat nasional, yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Proksi Desa Mapan yang dilaksanakan di Provinsi Jambi sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 telah mencakup 52 desa, yang berlokasi di 11 kabupaten / kota. Pelaksanaan program ini didukung oleh berbagai sumber dana yaitu APBN, APBD provinsi dan kabupaten / kota. Secara bertahap program ini akan diperluas sehingga dapat mencakup 120 desa beresiko rawan pangan di Provinsi Jambi. Mengingat cakupan dari program ini cukup luas serta membutuhkan anggaran pembinaan yang tidak sedikit maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui apakah sasaran yang ditetapkan dari program ini dapat dicapai. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah diperolehnya hasil kajian mengenai kinerja pelaksanaan Proksi Desa Mapan dalam memenuhi sasaran yang telah ditetapkan.

II. RANCANGAN PROGRAM

Untuk menggambarkan apa dan bagaimana Proksi Desa Mapan maka berikut ini dijelaskan secara singkat sejumlah informasi penting berkenaan dengan rancangan program ini. Informasi ini dirangkum dari Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Anonim, 2009).

2.1. Prinsip Dasar dan Tujuan

Prinsip dasar pelaksanaan Proksi Desa Mapan adalah upaya mengatasi kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan sehingga tercapai kemandirian pangan. Sasaran utama penerima manfaat program ini adalah rumah tangga miskin di desa rawan pangan. Rumah tangga miskin ini dihimpun dalam suatu wadah, disebut dengan kelompok afinitas, yang diikat dengan rasa kesatuan dan kebersamaan oleh jaringan persahabatan sehingga memungkinkan mereka mampu untuk melaksanakan kegiatan tertentu secara bersama. Guna mendukung kegiatan kelompok afinitas maka disediakan bantuan sosial oleh pemerintah serta pembinaan secara rutin oleh petugas pendamping.

Pemberdayaan masyarakat di lokasi program dilakukan melalui pelatihan, pendampingan dan peningkatan akses untuk meningkatkan partisipasi, demokratisasi, pengembangan kapasitas, pengembangan ekonomi dan pengembangan individu. Sasaran pemberdayaan ditujukan untuk mengembangkan kelembagaan aparat, kelembagaan masyarakat, dan kelembagaan pelayanan di pedesaan. Penumbuhan kelembagaan di pedesaan meliputi kelompok afinitas, TPD (Tim Pangan Desa), LKD (Lembaga Keuangan Desa) yang didukung oleh peningkatan infrastruktur pedesaan sehingga diharapkan mampu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang dapat meningkatkan ketersediaan dan akses pangan rumah tangga, berkembangnya usaha produktif dan berkembangkan pola konsumsi pangan beragam bergizi seimbang dan aman. TPD merupakan salah satu unsur kekuatan masyarakat, yang terdiri tokoh masyarakat dan perwakilan kelompok afinitas, yang diharapkan akan mengabilalih pembinaan kelompok afinitas setelah berakhirnya masa kerja petugas pendamping. Dengan demikian setelah program ini berakhir diharapkan akan tercapai ketahanan pangan dan gizi masyarakat desa secara berkelanjutan.

Secara umum tujuan program ini adalah meningkatnya ketahanan dan gizi masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan. Secara khusus tujuan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Meningkatnya kemandirian masyarakat; (2) Meningkatnya peran dan fungsi kelembagaan masyarakat desa; (3) Berkembangnya sistem ketahanan pangan masyarakat desa; (4) Meningkatnya pendapatan masyarakat; (5) Meningkatnya aksesibilitas pangan masyarakat.

2.2. Tahapan Program

Proksi Desa Mapan dilakukan melalui empat tahap yaitu persiapan, penumbuhan, pengembangan dan kemandirian. Pada tahap persiapan, dilaksanakan berbagai persiapan seperti penetapan petugas pendamping, seleksi desa, terbentuknya kelompok KK miskin sasaran, data dasar karakteristik kemasyarakatan, dan profil desa. Pada tahap penumbuhan, mulai ditumbuhkan usaha-usaha produktif yang dikembangkan oleh kelompok afinitas. Pada tahap ini mulai ditumbuhkan LKD sebagai lembaga layanan modal, berfungsinya posyandu dan kader gizi serta bekerjanya sistem ketahanan pangan dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan serta koordinasi program lintas sektor untuk pembangunan sarana prasarana dalam ketahanan pangan wilayah pedesaan. Pada tahap pengembangan, terdapat peningkatan usaha-usaha ekonomi produktif dan modal sosial kemasyarakatan yang mengarah pada peningkatan skala usaha. Sedangkan pada tahap kemandirian ditunjukkan oleh adanya peningkatan dinamika kelompok dan usaha ekonomi produktif yang mampu meningkatkan daya beli dan meningkatnya jaringan kemitraan yang ditandai munculnya usaha kecil, usaha mikro pedesaan di bidang pangan dan non pangan serta tumbuhnya gapoktan yang mandiri dan berfungsinya LKD sebagai layanan modal, pola pikir masyarakat lebih maju yang ditandai adanya perubahan pola konsumsi pangan beragam; bergizi; berimbang dan aman, serta berfungsinya TPD yang mampu menggerakkan dan mengkoordinasikan program-program pembangunan ketahanan pangan desa.

2.3. Pendekatan

Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan maka Proksi Desa Mapan dilaksanakan melalui pendekatan: (1) Pemberdayaan masyarakat yang diarahkan untuk merubah perilaku masyarakat desa agar dapat mengenali potensi dan sumberdaya yang dimiliki sehingga mampu mengatasi masalahnya dan menolong dirinya sendiri; (2) Penguatan kelembagaan masyarakat untuk menumbuhkan dan mengembangkan kelembagaan masyarakat di pedesaan antara lain: kelompok afinitas yang berperan sebagai pelaku pengembangan usaha produktif; TPD yang berperan sebagai penggerak dan pengendali pembangunan ketahanan pangan tingkat desa; dan LKD sebagai layanan usaha produktif pedesaan; dan (3) Penguatan sistem ketahanan pangan melalui pengembangan sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi untuk meningkatkan akses fisik dan akses ekonomi masyarakat.

2.4. Indikator Keberhasilan

Pada setiap tahapan pelaksanaan Proksi Desa Mapan telah ditetapkan indikator keberhasilannya di dalam Pedoman Umum. Dari indikator tersebut dapat dibuat empat indikator utama keberhasilan program ini yaitu: (1) Berkembangnya usaha produktif sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat miskin peserta program; (2) Meningkatnya ketersediaan pangan; (3) Meningkatnya akses pangan rumah tangga; dan (4) Berkembangnya pola konsumsi pangan bermutu, bergizi, beragam dan aman (B3A).

III. METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan tujuan utamanya maka penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian evaluasi. Yang menjadi pertanyaan pokok dari penelitian ini adalah: sampai sejauhmana tujuan yang digariskan pada awal program telah tercapai atau mempunyai tanda-tanda akan tercapai? Evaluasi yang akan dilaksanakan pada penelitian ini termasuk kategori evaluasi formatif, yaitu meneliti implementasi suatu program dan mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program selanjutnya (Singarimbun, 1989).

Pengelompokan aspek yang dievaluasi di dalam penelitian ini mengacu pada model CIPP (context, input, process, product), yang membagi objek kajian ke dalam empat aspek yaitu: (1) Konteks (context) yang ditujukan untuk menganalisis dasar pemikiran dibuatnya program tersebut sehingga dapat dinilai apakah rumusan tujuan program telah sesuai dengan kebutuhan penerima manfaat utama program ini; (2) Masukan (input) yang ditujukan untuk dapat menilai relevansi rancangan program, strategi yang dipilih, prosedur dan sumberdaya yang digunakan serta sarana prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan program yang telah ditetapkan; (3) Proses (process) yang ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana program diimplementasikan pada semua jenjang dan tahap pelaksanaan; dan (4) Hasil (product) yang ditujukan untuk menilai hasil dan dampak yang diperoleh dari program (Tayibnapis, 2000).

3.2. Pengumpulan Data

Mengingat populasi dari penelitian ini relatif luas maka pengumpulan data dilakukan melalui survey. Data yang dibutuhkan akan diperoleh dari berbagai sumber berupa hasil pengamatan, dokumentasi, laporan dan wawancara. Untuk mendapatkan tingkat keabsahan data yang tinggi maka pengumpulan dan analisis data akan dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi. Teknik ini lebih mengutamakan efektivitas proses dan hasil yang diinginkan. Melalui teknik ini dimungkinkan adanya uji silang terhadap data dari berbagai sumber apabila dirasakan adanya perbedaan. Proses triangulasi dilakukan secara terus menerus pada saat pengumpulan data dan analsis data sampai pada titik dimana dirasakan tidak ada lagi perbedaan. Triangulasi dapat juga dilakukan untuk menguji kesamaan pemahaman peneliti dengan responden tentang suatu aspek yang diamati karena adakalanya kedua belah pihak tidak mempunyai pemahaman yang sama tentang hal dimaksud (Bungin, 2007).

Survey dilaksanakan pada pertengahan tahun 2009 di empat kabupaten yaitu Batanghari, Tanjung Jabung Barat, Sarolangun dan Kerinci (pada saat penelitian telah dimekarkan menjadi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh). Pemilihan lokasi ini didasari atas keterwakilan wilayah agroekosistem utama yang ada di Provinsi Jambi yaitu wilayah dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi. Di masing-masing kabupaten dipilih empat desa sebagai desa sampel yang terdiri dari dua desa yang sudah melaksanakan program sejak tahun 2006, satu desa yang sudah melaksanakan program sejak tahun 2007 dan satu desa yang sudah melaksanakan program sejak tahun 2008.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Konteks (Context)

Mengacu pada pedoman umum Proksi Desa Mapan maka secara kontekstual keberadaan program ini dianggap sesuai untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Sebagai justifikasi terhadap pernyataan diatas paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, dari hasil pengamatan lapangan ternyata program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat kurang mampu (rawan pangan) masih sangat dibutuhkan. Melihat kondisi masyarakat di sejumlah lokasi program, dengan berbagai keterbatasannya (SDA, SDM dan prasarana penunjang), maka peran Proksi Desa Mapan menjadi sangat strategis. Kedua, dijadikannya rumah tangga miskin sebagai kelompok sasaran peserta program. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat hubungan yang erat antara tingkat penghasilan dengan ketahanan pangan tingkat rumah tangga (Latief et al, 2000). Ketiga, menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat agar peserta program dapat mengenali potensi dan sumberdaya yang mereka miliki sehingga mampu mengatasi masalah dan menolong dirinya sendiri, agar dihasilkan program yang berkelanjutan (sustainable). Hal ini diperlukan untuk menghindari terulangnya berbagai kasus program pemerintah yang berkaitan dengan peningkatan ketahanan pangan yang ternyata tidak mampu berjalan secara berkelanjutan karena kurangnya aspek pemberdayaan masyarakat (Irawan dan Romdiati, 2000).

4.2. Masukan (Input)

4.2.1. Acuan Operasional

Sejauh ini acuan resmi yang tersedia sebagai pedoman pelaksanaan program hanya berupa Pedoman Umum yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian selaku penanggung jawab program di tingkat pusat. Penanggung jawab program di tingkat provinsi yaitu Badan Koordinasi Penyuluhan dan Ketahanan Pangan telah membuat Juklak Proksi Desa Mapan tetapi isi dari acuan ini sama dengan Pedum yang disusun oleh pusat. Oleh karena itu maka acuan yang tersedia ini dirasakan sangat tidak mencukupi bagi pihak terkait terutama pelaksana lapangan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugasnya secara baik. Dengan demikian tidak mudah bagi petugas pembina kabupaten, petugas pendamping, aparatur pemerintahan desa dan anggota kelompok afinitas untuk memahami prinsip dan tata cara pelaksanaan program ini secara baik. Hal inilah yang menyebabkan masing-masing pihak tidak memiliki pemahaman yang sama dalam mendukung pelaksanaan program.

4.2.2. Peserta Program

Sebagian besar peserta program ditentukan melalui DDRT (Data Dasar Rumah Tangga) dan SRT (Survey Rumah Tangga) yang dilaksanakan oleh petugas provinsi, kabupaten dan petugas pendamping. Data dasar penduduk miskin yang umumnya digunakan adalah data penerima BLT. Dengan prosedur ini maka peserta program yang menjadi anggota kelompok afinitas adalah warga desa yang masuk ke dalam kategori miskin. Hanya sebagian kecil saja ditemui adanya penyimpangan terhadap ketentuan ini. Permasalahan yang menonjol dalam penentuan peserta program ini adalah jumlah peserta yang terlalu banyak. Ditemui pada 10 desa (63% dari desa sampel) yang memiliki kelompok afinitas dengan jumlah yang relatif besar yaitu lebih dari 30 KK tanpa adanya prioritas kepada peserta yang paling membutuhkan. Dengan demikian maka pembinaan terhadap peserta program, terutama dalam hal pemberdayaan kelompok, menjadi kurang terfokus.

4.2.3. Petugas Pendamping

Petugas pendamping berperan membantu anggota kelompok afinitas untuk meningkatkan kemampuannya serta menjembatani kepentingan kelompok dengan pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan program. Dari 16 desa yang dijadikan sampel ternyata tidak ditemukan satupun petugas pendamping yang secara ideal dapat memenuhi tugas tersebut secara baik. Sejauh ini petugas pendamping hanya terfokus pada kegiatan penyaluran bantuan sosial. Sementara itu penerapan prinsip dasar pengembangan kelompok afinitas berupa pemberdayaan kelompok, kerjasama melembaga kelompok afinitas dengan pihak terkait serta menggali potensi sumberdaya yang ada belum dilaksanakan secara memadai. Dengan demikian dari aspek kinerja, secara umum pendamping yang ada belum memenuhi sasaran yang diharapkan.

4.2.4. Bantuan Sosial

Bantuan sosial untuk kelompok afinitas diberikan dalam beberapa bentuk sesuai dengan sumber dananya. Bantuan sosial yang berasal dari sumber dana APBD provinsi dan kabupaten diberikan dalam bentuk natura seperti ternak dan saprodi. Dengan pola pemberian bantuan seperti ini maka jenis bantuan yang diberikan umumnya seragam untuk semua peserta. Sedangkan bantuan sosial yang bersumber dari APBN diberikan dalam bentuk hibah senilai Rp 60 – 80 juta per-desa, yang akan ditambah lagi sebesar Rp 20 juta pada tahun 2009. Bantuan ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta dengan mengacu pada kesepakatan kelompok. Tetapi dalam prakteknya pemanfaatan dana ini cenderung diseragamkan seperti untuk pembelian ternak. Dari empat desa sampel penerima dana tunai yang menjadi peserta program tahun 2006 – 2007 ternyata tiga desa menggunakan dana tersebut secara seragam untuk pembelian ternak dan saprodi ikan keramba. Sedangkan satu desa menggunakan bantuan sosial untuk modal pinjaman usahatani yang dikelola oleh LKD (Lembaga Keuangan Desa).
Sesuai dengan pedoman umum program, keberadaan bantuan sosial bagi peserta program hanyalah sebagai stimulan dalam pengembangan usaha kelompok, sedangkan penggerak utamanya adalah kemauan dan kemampuan kelompok itu sendiri.

 Fakta di lapangan menunjukkan hal yang sangat berbeda, dimana bantuan sosial merupakan pemicu utama kegiatan kelompok. Ada kesan bahwa keberadaan kelompok afinitas tak lebih dari sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan sosial. Pemahaman serupa juga sangat kuat terlihat pada aparatur pemerintahan desa di sebagian besar lokasi program. Keberadaan program ini diidentikkan dengan bantuan sosial. Oleh karena itu aparatur pemerintahan desa cenderung mengusulkan sebanyak mungkin warganya sebagai peserta program agar bisa mendapatkan bantuan sosial yang lebih besar. Pemahaman terhadap bantuan sosial seperti ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan kelompok afinitas. Sebagian besar kegiatan kelompok afinitas kemudian praktis tidak berjalan tanpa bantuan sosial atau bantuan sosial yang diberikan tidak berhasil dikembangkan.

4.3. Proses (Process)

4.3.1. Pemberdayaan Masyarakat

Sosialisasi tentang Proksi Desa Mapan kepada pihak-pihak yang terkait seperti aparat pemerintahan desa dan kecamatan, tokoh masyarakat, TPD, pendamping serta anggota kelompok afinitas telah dilaksanakan oleh pejabat tingkat kabupaten dan provinsi. Hanya saja kegiatan ini belum cukup memadai untuk memberikan pemahaman mengenai pelaksanaan Proksi Desa Mapan secara baik. Dari temuan di desa sampel terlihat bahwa pemahamam aparatur pemerintahan desa terhadap program ini sangat rendah. Oleh karena itu campur tangan aparatur pemerintahan desa seringkali tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan Proksi Desa Mapan. Begitu juga halnya dengan pemahaman anggota kelompok afinitas terhadap pelaksanaan program ini. Sedikit sekali ditemui anggota kelompok afinitas yang mengerti tentang hak dan kewajibannya dalam mengikuti program ini sehingga sebagian besar hanya pasrah dan menerima saja segala perlakuan yang diterapkan kepada mereka.

Pemberdayaan kelompok afinitas menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan program ini. Untuk itu kelompok afinitas harus diikat dengan rasa kesatuan dan kebersamaan yang memungkinkan mereka mampu melaksanakan kegiatan tertentu secara bersama. Guna menumbuhkan rasa kesatuan dan kebersamaan ini tentunya membutuhkan tahapan tertentu, mengingat peserta program yang terpilih memiliki latar belakang sosial yang beragam. Dari informasi yang diperoleh di desa sampel tidak ditemui adanya kegiatan yang mendukung penumbuhan kelompok afinitas secara bertahap ini. Praktik yang paling umum dilakukan adalah mengumpulkan peserta yang terpilih, lalu dibentuk kelompok afinitas. Kelompok afinitas inilah kemudian dipersiapkan untuk melengkapi berbagai kebutuhan administrasi yang diperlukan untuk menerima bantuan sosial. Oleh karena itu di sebagian besar kelompok afinitas yang ditemui di desa sampel tidak terlihat adanya ikatan sosial yang kuat antar anggotanya dalam melaksanakan kegiatan pendukung program ini.

Penumbuhan kelompok afinitas ini tentu erat hubungannya dengan aktivitas pendampingan yang dilaksanakan oleh petugas pendamping. Sejauh ini pendampingan yang dilakukan hanya berorientasi pada pengelolaan bantuan sosial. Sangat kuat kesan di masyarakat bahwa keberadaan kelompok afinitas hanya ditujukan untuk menerima bantuan sosial. Begitu bantuan sosial tidak berhasil dikembangkan maka kelompok afinitas tidak dibutuhkan lagi. Pada kondisi seperti ini tentu sudah sangat sulit bagi petugas pendamping untuk mengajak kembali anggota kelompok afinitas melakukan kegiatan yang mendukung program.

4.3.2. Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan

Pengembangan sistem ketahanan pangan pangan mencakup tiga sub sistem yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Dari 12 desa peserta program sejak tahun 2006 dan 2007, pengembangan sub sistem ketersediaan pangan berupa peningkatan produksi pangan yang masih berjalan hanya ditemui pada dua desa. Kegiatan inipun belum memberikan kontribusi yang berarti karena dilaksanakan dalam jumlah yang sangat terbatas. Sedangkan di desa lainnya pengembangan ketersediaan pangan dilaksanakan secara temporer pada saat disediakan bantuan dari pemerintah. Sebagaimana ditemui bahwa sebagian besar peserta di desa sampel pernah menerima bantuan pemerintah berupa sarana produksi yang bersifat semusim seperti benih padi, sayur-sayuran dan ikan. Begitu bantuan terhenti maka peserta program tetap kembali melakukan aktivitas usaha mereka seperti biasanya. Dengan demikian bantuan seperti ini tidak mendorong peserta program untuk meningkatkan produksi pangan mereka secara berkelanjutan.

Pengembangan sistem distribusi pangan dilaksanakan di sejumlah desa sampel tidak ada kaitan langsung dengan keberadaan peserta program. Sebagai contoh pembangunan jalan produksi pertanian yang dilaksanakan di suatu desa sampel melalui dana PNMP. Pembangunan jalan ini sangat dibutuhkan oleh para petani di wilayah tersebut tetapi bagi warga miskin kegiatan ini tidak banyak manfaatnya karena sebagian besar dari mereka tidak memiliki lahan. Sementara itu di lokasi lain, pengembangan produksi pangan yang dilaksanakan oleh kelompok afinitas menjadi terhambat karena tidak tersedianya jalan dari lokasi produksi ke pasar terdekat. Terbatasnya pengembangan sistem distribusi ini erat kaitannya dengan lemahnya hubungan kelembagaan antara kelompok afinitas dengan pihak terkait dalam pengambil kebijakan setempat. Dengan demikian proses penetapan prioritas pembangunan infrastruktur penunjang sistem distribusi pangan menjadi terlepas dari kepentingan peserta program.

Pengembangan sub sistem konsumsi berupa peningkatan pemahaman peserta program tentang gizi keluarga dan pengembangan teknologi pengolahan pangan secara umum belum dilaksanakan. Terhambatnya kegiatan ini erat kaitannya dengan tidak berkembangnya usaha kelompok. Begitu usaha kelompok afinitas tidak berkembang maka tidak mudah lagi bagi petugas pendamping untuk tetap melakukan pembinaan kepada anggota kelompok tersebut, termasuk yang berkaitan dengan upaya peningkatan pemahaman anggota kelompok tentang gizi. Di sejumlah desa kegiatan yang mendukung sub sistem konsumsi ini dilaksanakan oleh pihak terkait seperti penyuluhan gizi oleh PKK tetapi sekali lagi kegiatan ini dilaksanakan tanpa ada kaitannya dengan keberadaan kelompok afinitas.

4.3.3. Pengembangan Kelembagaan

Sejauh ini belum terlihat kinerja yang memuaskan terhadap aspek yang terkait dengan pengembangan kelembagaan pendukung Proksi Desa Mapan. Kelembagaan utama berupa kelompok afinitas yang pernah dibentuk, ternyata pada saat pengamatan sebagian besar tidak berfungsi. Kelompok afinitas umumnya hanya aktif pada awal pembinaan, menjelang penyaluran bantuan sosial. Begitu bantuan telah disalurkan maka selanjutnya peserta program bekerja sendiri-sendiri. Begitu juga halnya dengan TPD yang pernah dibentuk di semua desa sampel tetapi kemudian tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap pelaksanaan program. Ditemui sejumlah desa yang memiliki lembaga pendukung seperti pemerintahan desa, PKK dan lembaga keuangan desa yang relatif baik dalam melakukan kegiatan pengembangan ketahanan pangan di desa tersebut tetapi aktivitas lembaga ini tidak mempunyai kerjasama kelembagaan dengan kelompok afinitas. Keadaan seperti ini tentunya kurang baik untuk peningkatan ketahanan pangan kelompok afinitas, sebagai kelompok masyarakat yang secara komparatif memiliki berbagai kendala dalam mengembangkan dirinya.

4.3.4. Pengembangan Sarana dan Prasarana

Ditemui di sejumlah lokasi program adanya pembangunan sarana dan prasarana pedesaan seperti jalan desa, jalan usahatani dan irigasi desa. Hanya saja pembangunan sarana dan prasarana ini tidak ada kaitannya dengan keberadaan kelompok afinitas. Hal ini dikarenakan tidak adanya kerjasama melembaga antara kelompok afinitas dengan lembaga pedesaan lainnya. Apalagi TPD, yang diharapkan berperan sebagai “corong” bagi kelompok afinitas dalam proses pengambilan kebijakan pembangunan di desa tersebut, secara praktis tidak berfungsi. Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan tidak satupun desa sampel yang memiliki Rencana Pembangunan Desa yang mengakomodasi kepentingan kelompok afinitas. Dengan demikian pembangunan sarana prasarana yang ada tidak banyak membantu peserta program dalam meningkatkan ketahanan pangan mereka.

4.3.5. Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan pelaksanaan kegiatan di lapangan telah dilaksanakan baik oleh aparat pembina tingkat kabupaten maupun provinsi. Hanya saja efektivitas pemantauan ini dapat dipastikan masih sangat kurang. Hal ini terbukti dari ditemuinya berbagai permasalahan dalam pelaksanaan program yang tidak mendapatkan tindak lanjut sebagaimana mestinya. Sebagai contoh adanya petugas pendamping di beberapa desa yang tidak aktif melaksanakan tugasnya tanpa adanya tindak lanjut dari instansi penanggung jawab program ini. Salah satu penyebab belum efektifnya kegiatan pemantauan dan evaluasi adalah terbatasnya acuan yang jelas mengenai pelasanaan kedua kegiatan ini, yang meliputi objek, pelaksana, waktu dan tindak lanjut. Dengan demikian maka aparatur pelaksana di setiap tingkat pengambil keputusan belum memiliki pemahaman yang sama tentang pelaksanaan pemantauan dan evaluasi ini.

Fokus kinerja Proksi Desa Mapan sesungguhnya terlihat dari perkembangan aktivitas kelompok afinitas. Untuk itu harus ada evaluasi terhadap perkembangan setiap anggota kelompok afinitas yang dilaksanakan oleh petugas pendamping. Program ini baru dapat dikatakan berhasil apabila anggota kelompok afinitas mampu meningkatkan ketahanan pangan rumah tangganya. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya catatan mengenai perkembangan ketahanan pangan setiap anggota kelompok. Ternyata catatan ini tidak ditemui pada semua petugas pendamping yang ada. Hal ini dapat terjadi karena pada hakikatnya sebagian besar kegiatan yang dilaksanakan terkait dengan Proksi Desa Mapan secara kasat mata memang tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan pendapatan, apalagi ketahanan pangan anggota kelompok afinitas.

4.4. Hasil (Product)

4.4.1. Perkembangan Usaha Produktif

Perkembangan usaha produktif merupakan indikator yang sangat penting dalam pencapaian tujuan Proksi Desa Mapan karena aspek ini sangat terkait dengan peningkatan pendapatan peserta program. Sedangkan peningkatan pendapatan sangat menentukan kemampuan anggota kelompok afinitas dalam memperoleh kebutuhan pangan mereka. Hasil temuan di lokasi sampel ternyata dari 12 desa peserta program sejak tahun 2006 dan 2007 ternyata hanya terdapat dua desa yang masih mengembangkan usaha produktif yang berasal dari bantuan sosial. Dari 10 desa yang bantuan sosialnya tidak berkembang, masih ditemui sejumlah anggota kelompok afinitas yang masih melaksanakan kegiatan usaha produktif dengan memanfaatkan bantuan sosial yang tersisa. Hanya saja jumlahnya sangat tidak signifikan untuk mendorong peningkatan pendapatan keluarga. Dari hasil yang diperoleh ini secara umum dapat disimpulkan bahwa usaha produktif yang mampu dikembangkan oleh anggota kelompok afinitas melalui kegiatan program ini masih sangat minim.

4.4.2. Peningkatan Ketersediaan Pangan

Secara umum peningkatan ketersediaan pangan yang dihasilkan melalui program ini dapat tergambar dari perkembangan bantuan sosial yang dimanfaatkan oleh peserta program untuk budidaya pangan. Selain ditemui di dua desa yang bantuan sosialnya masih dikembangkan untuk usaha produktif sekaligus untuk peningkatan ketersediaan pangan, di sejumlah desa lainnya juga pernah mendapatkan bantuan berupa sarana produksi tanaman pangan seperti padi dan sayur-sayuran. Bantuan ini tentunya memberikan andil terhadap peningkatan ketersediaan pangan peserta program. Hanya saja sifatnya temporer, dimana sarana produksi tersebut digunakan pada musim tanam tertentu saja. Apabila pada musim tanam berikutnya peserta tersebut tidak menerima bantuan sosial lagi maka mereka kembali pada pola usaha sebelumnya atau sama sekali tidak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan ketersediaan pangan dimaksud.

4.4.3. Peningkatan Akses Pangan Rumah Tangga

Akses pangan rumah tangga peserta program di desa sampel sebagian besar dalam keadaan baik. Sejumlah desa berada tidak terlalu jauh dari pusat pemasaran, baik pasar mingguan ataupun harian, sehingga tidak sulit bagi masyarakat setempat untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan. Pada desa – desa seperti ini tentunya akses pangan tidak terlalu menjadi masalah. Akses terhadap pasar yang relatif sulit ditemui di sejumlah lokasi program yang berada di wilayah bagian timur. Lokasi program yang berada di wilayah ini sebagian besar adalah daerah pasang surut yang sarana transportasi utama penduduknya adalah parit (sungai kecil). Parit ini hanya dapat dilalui pada saat air pasang sehingga pada saat surut praktis transportasi menjadi terputus. Oleh karena itu pembangunan jalan desa menjadi kebutuhan yang mendesak. Ternyata kegiatan pembangunan akses jalan di kedua desa ini belum terpenuhi secara memadai sehingga sebagian besar penduduk masih menemui kendala dalam mencapai pasar, terutama untuk memasarkan hasil produksi mereka. Terbatasnya akses ke pusat pemasaran ini sekaligus berpengaruh terhadap minat peserta program untuk mengembangkan usahatani mereka, termasuk usahatani pangan, yang berkaitan dengan penyediaan pangan di desa tersebut.

4.4.4. Perkembangan Pola Konsumsi Pangan

Kinerja peningkatan kesehatan dan status gizi peserta program sangat erat kaitannya keberadaan kelompok afinitas. Dengan terhentinya pengembangan usaha kelompok maka pembinaan kelompok afinitas menjadi terhenti. Hal ini sekaligus menjadikan kegiatan peningkatan kesehatan dan status gizi anggota kelompok seperti melalui penyuluhan gizi juga tidak bisa dilaksanakan. Di sejumlah desa ditemui adanya kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kesehatan dan status gizi ini oleh Tim Penggerak PKK desa bersangkutan, tetapi kegiatan ini terlepas dari aktivitas pembinaan kelompok afinitas.

V. PENUTUP

5.1. Simpulan

a) Dari aspek konteks Proksi Desa Mapan merupakan program yang sangat sesuai untuk menjawab permasalahan yang ada di masyarakat dalam meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga rawan pangan di pedesaan.
b) Acuan operasional yang mendukung pelaksanaan program hanya berupa Pedoman Umum. Acuan ini dirasakan sangat kurang memadai dalam menunjang operasional program di tingkat lebih bawah, baik di tingkat provinsi, kabupaten / kota maupun di lapangan;
c) Sebagian besar pemangku kepentingan yang diharapkan terlibat di dalam program ini seperti TPD (Tim Pangan Desa), Petugas Pendamping dan pejabat pemerintahan desa belum berperan secara baik dalam mendukung pelaksanaan program ini;
d) Sarana dan prasarana untuk mendukung pencapaian sasaran program ini belum tersedia secara memadai. Bantuan sosial yang diberikan dalam bentuk natura umumnya diterima dalam kondisi yang kurang baik. Sedangkan pembangunan prasarana pendukung di lokasi program tidak memiliki kaitan dengan keberadaan peserta program;
e) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Proksi Desa Mapan telah dilaksanakan oleh pihak-pihat terkait. Hanya saja efektivitas dari kegiatan ini masih relatif rendah.
f) Secara umum hasil yang dicapai dari pelaksanaan program belum memenuhi sasaran yang ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar kegiatan usaha produktif tidak berjalan dengan baik;

5.2. Saran

5.2.1. Kepada instansi penanggung jawab tingkat pusat:

a) Agar membuat acuan yang lebih rinci mengenai Juklak dan Juknis yang seharusnya disusun oleh penanggung jawab di tingkat yang lebih rendah. Dengan acuan ini diharapkan penanggung program tingkat provinsi dan kabupaten / kota dapat lebih mudah menyusun Juklak dan Juknis yang dibutuhkan. Untuk Juknis yang dianggap sangat penting seperti Acuan Pemberdayaan Kelompok Afinitas dan Acuan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Petugas Pendamping kiranya dapat langsung disusun oleh pusat;
b) Membuat alat ukur yang dapat digunakan untuk penentuan kinerja suatu desa dalam mencapai suatu tahapan program, tidak hanya didasarkan oleh lama pelaksanaan kegiatan di desa tersebut. Dengan alat ukur ini diharapkan penanggung jawab di daerah dapat lebih mudah melakukan evaluasi terhadap ketercapaian pelaksanaan progran di suatu desa;

5.2.2. Kepada instansi penanggung jawab tingkat provinsi:

a) Melakukan rasionalisasi lokasi Proksi Desa Mapan dengan menggunakan kriteria yang lebih akuntabel, bukan atas dasar pemerataan di masing – masing kabupaten / kota. Dengan demikian desa yang ditetapkan sebagai lokasi program memang betul-betul desa yang berpotensi rawan pangan;
b) Melakukan analisis ulang terhadap desa yang sudah ditetapkan sebagai lokasi Proksi Desa Mapan. Bagi desa yang betul-betul dianggap berpotensi rawan pangan tetapi tidak berkembang sebagai Desa Mapan maka desa tersebut hendaknya dapat dibina lebih lanjut secara lebih intensif sebagai lokasi Proksi Desa Mapan. Untuk desa seperti ini kiranya perlu dicarikan bantuan sosial dari berbagai sumber dana yang memungkinkan sehingga anggota kelompok afinitas memiliki kesempatan dalam memperoleh dana penguatan modal guna pengembangan usaha mereka.
c) Menyusun Juklak dan Juknis yang dibutuhkan guna pelaksanaan Proksi Desa Mapan sesuai dengan kondisi dan kebijakan daerah.

5.2.3. Kepada instansi penanggung jawab tingkat kabupaten / kota:

a) Melakukan pemantauan dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan kegiatan pengembangan Desa Mapan, terutama yang berkaitan dengan kinerja pendamping dalam mengembangkan kelompok afinitas;
b) Melakukan pembinaan lapangan bagi pihak terkait dalam penyusunan Rencana Pembanguan Desa di lokasi program. Rencana ini diharapkan menjadi dokumen yang digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan pembangunan desa, dengan menempatkan kelompok afinitas sebagai titik sentral;
c) Mengintensifkan kordinasi di tingkat kabupaten / kota terutama dalam menindaklanjuti Rencana Pembangunan Desa yang disusun oleh desa peserta Proksi Desa Mapan.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I. R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indoensia. Jakarta.

Anonim. 2009. Pedoman Umum Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Desa Mapan). Badan Ketahananan Pangan. Departemen Pertanian

Bungin, B. 2007. Metode Triangulasi. Di dalam B. Bungin. Analisis Data Penelitian Kualitatif. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Irawan, P. dan H. Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Startegi Pembangunan. Di dalam Anonim. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI. Jakarta.

Jamasy, O. 2001. Pembangunan Pertanian melalui Pemberdayaan Masyarakat Desa. Bina Swadaya – Dfid. Jakarta.

Latief, D., Atmarita, Minarto, A. Basuni dan R. Tilden. 2000. Konsumsi Pangan Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi. Di dalam Anonim. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI. Jakarta.

Singarimbun, M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Di dalam M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds.). Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.

Stufflebeam. D.L. 2003. The CIPP Model for Evaluation. Paper presented at the 2003 Annual Conference of the Oregon Program Evaluation Network (OPEN).

Tayibnapis, F. Y. 2000. Evaluasi Program. Rineka Cipta. Jakarta.

(Diterbitkan pada Jurnal Binapraja Vol. II nomor 2, Juni 2010

Jumat, 02 Juli 2010

KINERJA PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI PROVINSI JAMBI


ABSTRACT

A research aiming to asses the performance of agricultural field extension workers in Jambi Province and to investigate some factors which influenced it was conducted on April 2010. The data was collected through a survey on 56 extension workers in five districts/ municipalities. The result of the research showed that the performace of the respondens in the year of 2009 was on average score of 29,15 from maximum score of 100. The majority of the respondens (89,3%) had low and very low performance. From eleven variables considered as determinant factors to extension workers' performance, there were two variables had very significant (p<0.05) correlation which were working period in the area and the number of farmers in the working areas with correlation coeficient of 0.291 and 0,358. Two variables had significant (p<0.10) correlation which were additional incentives and extension workers' knowledge with correlation coeficient of 0.229 and 0.261. While, the other variables: age, sex, formal education, technical training, occupational position, distance of working area, and additional activities had no significant (p>0.10) correlation to extension workers' performance. It was concluded that the performance of agricultural extension workers in Jambi Province was still low. From eleven variables tested there was none of them had strong influence to extension workers' performance.

Key words: extension workers, performance, Jambi Province


PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sumber perekonomian utama Provinsi Jambi. Sektor ini memberikan kontribusi tertinggi dari sembilan sektor pembentuk PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Jambi pada tahun 2008 yaitu sebesar 30,45 persen (berdasarkan harga konstan). Selain itu sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu 58,22 persen dari total angkatan kerja berumur 15 tahun keatas (Anonim, 2009). Oleh karena itu keberhasilan pembangunan pertanian sangat menentukan peningkatan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jambi.


Pengalaman menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian di Indonesia telah memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap keberhasilan berbagai program pembangunan pertanian. Sebagai contoh, melalui program Bimas (Bimbingan Massal) penyuluhan pertanian dapat menghantarkan bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Pada saat itu penyuluhan diatur secara tersentralisasi dari pusat, dengan ujung tombak PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), yang dilatih untuk mengajar petani dan menyampaikan rekomendasi yang telah disusun dalam paket-paket teknologi, melalui sistem latihan dan kunjungan (Anonim, 2005).

Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluh pertanian, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Salah satu dampak negatif dari kebijakan ini adalah cenderung semakin terbatasnya sarana dan dana yang dapat dialokasikan untuk menunjang kegiatan penyuluh pertanian di lapangan sehingga menurunkan kinerja para penyuluh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Pertanian RI bahwa kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah (Sinar Harapan, 2008). Jika hal serupa ini juga terjadi di Provinsi Jambi maka dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian dan perekonomian daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan yang ada di Provinsi Jambi saat ini, dengan tujuan:

  1. Diketahuinya kinerja penyuluh pertanian lapangan dalam menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya di Provinsi Jambi.
  2. Diketahuinya sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian lapangan di Provinsi Jambi.


METODE PENELITIAN

  1. Kerangka Pikir

Bernadin dan Russel dalam Ruky (2001:15) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Fungsi dari pekerjaan seorang penyuluh pertanian tercermin dari tugas pokoknya, sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: Per/02/ Menpan/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, yaitu melakukan persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian. Tugas pokok ini dijabarkan menjadi sejumlah kegiatan dan sub kegiatan penyuluhan (Anonim, 2008). Sejalan dengan itu maka penilaian kinerja penyuluh pertanian yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan indikator yang sesuai dengan tugas pokok diatas. Karena penelitian ini lebih difokuskan pada kegiatan lapangan maka komponen kegiatan pengembangan penyuluhan, yang lebih dominan sebagai penunjang profesi penyuluh, tidak dijadikan sebagai komponen penilaian.

Cokroaminoto (2007) menyatakan ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis seperti umur, pendidikan, masa kerja, jabatan fungsional dan jarak tempat tinggal. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Kelompok variabel organisasi terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Pada penelitian dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh sebelas variabel terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan. Variabel yang diuji adalah: umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pelatihan teknis, pangkat, jarak tempat tinggal, lama bertugas, jumlah petani di wilayah kerja, kegiatan tambahan, insentif tambahan dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar penyuluhan pertanian,.

  1. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah penyuluh pertanian lapangan PNS di Provinsi Jambi. Berdasarkan data awal tahun 2010 terdapat penyuluh pertanian PNS yang berada di lapangan sebanyak 831 orang. Besar sampel yang digunakan mengacu pada Simamora (2008). Dengan menggunakan tingkat kesalahan sampel sebesar 13% maka besar sampel penelitian ini adalah 56 penyuluh. Wilayah survey ditentukan secara sengaja dengan mempertimbangkan keterwakilan agroekosistem dan sosial budaya masyarakat yaitu Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi. Jumlah sampel ditentukan secara proporsional sesuai dengan jumlah populasi, tingkat pendidikan dan jenis kelamin penyuluh di masing-masing wilayah survey.

  1. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2010 melalui wawancara dan melihat bukti administratif yang dimiliki oleh penyuluh responden. Verifikasi terhadap kegiatan penyuluhan di lapangan dilakukan melalui wawancara dengan petani, terutama ketua kelompoktani, serta pengamatan lapangan. Penentuan tingkat kinerja dilakukan dengan pemberian skor terhadap setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh penyuluh selama tahun 2009. Total skor kinerja penyuluh dihitung dengan mempertimbangkan bobot setiap kegiatan penyuluhan sebagaimana berikut ini:

  1. Persiapan penyuluhan (15):
    1. Identifikasi potensi wilayah (3,75).
    2. Memandu penyusunan rencana usaha petani (3,75).
    3. Penyusunan programa penyuluhan (3,75).
    4. Penyusunan rencana kerja penyuluhan pertanian tahunan (3,75).
  2. Pelaksanaan penyuluhan pertanian (70):
    1. Penyusunan materi penyuluhan (3,75)
    2. Perencanaan dan penerapan metode penyuluhan pertanian (55)
      1. Kunjungan tatapmuka/anjangsana perorangan (5)
      2. Kunjungan tatapmuka/anjangsana kelompok (20).
      3. Kunjungan tatapmuka/anjangsana massal (5).
      4. Uji coba dan demonstrasi (10).
      5. Temu, pameran dan lomba (3,75).
      6. Karya wisata, mimbar sarasehan dan magang (3,75).
      7. Kursus tani (3,75).
      8. Penumbuhan penyuluh swadaya (3,75)
    3. Menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani (11,25)
      1. Menumbuhkan kelompoktani baru (3,75).
      2. Meningkatkan kelas kelompoktani (3,75).
      3. Memfasilitasi kerjasama kelompoktani (3,75).
  3. Evaluasi dan pelaporan (15):
    1. Evaluasi pelaksanaan penyuluhan (7,5).
    2. Pelaporan pelaksanaan kegiatan penyuluhan (7,5).

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16. Model analisis yang digunakan terdiri dari analisis deskriptif, uji beda nyata dan korelasi bivariat. Analisis korelasi data berskala interval dan rasio menggunakan model korelasi Pearson, sedang untuk data berskala ordinal menggunakan model korelasi Spearman. Data tentang pengetahuan penyuluh, yang merupakan data berskala ordinal karena pengukurannya dilakukan dengan menggunakan model skala Likert, terlebih dahulu distandarisasi dengan metode MSI (Methods of Successive Interval). Melalui cara ini maka data dimaksud dapat dianalisis dengan menggunakan model korelasi Pearson (Waryanto dan Millafati, 2006). Penentuan tingkat keeratan korelasi berpedoman pada Muhidin dan Abdurahman (2007:127). Penarikan kesimpulan terhadap hasil analisis mengacu pada Triola (1998).


HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Kinerja Penyuluh

Dari skor total kinerja 56 penyuluh yang menjadi responden penelitian ini didapat sebaran tingkat kinerja sebagai berikut:

  1. Sangat rendah (skor < 20) : 12 orang (21,4%)
  2. Rendah (skor 20 s/d < 40) : 38 orang (67,9%)
  3. Sedang (skor 40 s/d < 60) : 6 orang (10,7%)
  4. Tinggi (skor 60 s/d < 80) : 0 orang (0%)
  5. Sangat tinggi (skor > 80) : 0 orang (0%)

Skor total kinerja penyuluh responden berada pada rataan 29,15 dengan nilai SE (standard error of mean) 1,42. Dengan demikian maka diperoleh nilai galat marjin (margin of error) pada = 0,05 sebesar 1,96 x 1,42 = 2,78. Secara statistik angka ini memberikan indikasi bahwa nilai rataan kinerja penyuluh lapangan di Provinsi Jambi berada pada kisaran 29,15 + 2,78 atau pada kategori rendah.

Tabel 1. Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan


Aspek Penilaian

Skor

Maksimal

Tingkat Kinerja

Terendah

Tertinggi

Rataan

SE

Persiapan

Pelaksanaan

Evaluasi dan pelaporan

15

70

15

1,88

0,00

0,00

11,25

39,38

9,38

7,23

18,17

3,75

0,26

1,14

0,23

Total

100

4,69

56,25

29,15

1,42


Dari kinerja tiga aspek kegiatan penyuluhan sebagaimana disajikan pada tabel 1 didapat tingkat kinerja terendah pada aspek evaluasi dan pelaporan. Pada penelitian ini tidak ditemui penyuluh yang menyusun evaluasi terhadap pelaksanaan maupun dampak kegiatan penyuluhan yang mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan dan dampak penyuluhan pertanian belum menjadi bagian integral dari rangkaian penyelenggaraan penyuluhan pertanian oleh penyuluh responden. Menurut van den Ban dan Hawkin (1999) evaluasi merupakan alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Hasil evaluasi sangat dibutuhkan dalam memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam perencanaan, program, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk merancang kebijakan penyuluhan selanjutnya.

Malcom Provus dalam Tayibnapis (2000) mengajukan konsep discrepancy evaluation yaitu mencari ketidakcocokan (discrepancy) atau selisih antara kinerja program dengan baku sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu kualitas evaluasi penyelenggaraan penyuluhan akan sangat ditentukan oleh ketepatan sasaran yang ditetapkan di dalam RKPT (Rencana Kerja Penyuluh Tahunan). Dari 93% responden penyuluh yang menyusun RKPT pada tahun 2009 ternyata dokumen perencanaan ini hanya digunakan sebagai persyaratan administratif untuk mendapatkan BOP (Biaya Operasional Penyuluh). Dilihat dari aspek isi, RKPT yang disusun secara umum belum memenuhi kaidah yang digariskan di dalam Anonim (2009a) yaitu terukur, realistis, bermanfaat dan dapat dilaksanakan oleh seorang penyuluh di wilayah kerjanya. Dengan kondisi seperti itu maka evaluasi pelaksanaan penyuluhan akan sulit dilakukan dengan baik.

Dalam sub kegiatan penerapan metode penyuluhan, kunjungan tatapmuka/anjangsana (perorangan, kelompok dan massal) merupakan kegiatan utama sebagai sarana bagi penyuluh untuk melakukan komunikasi timbal balik dengan pelaku utama dan usaha di wilayah binaannya. Kinerja kegiatan ini yang dilaksanakan oleh penyuluh responden masih rendah, dengan rataan 11,56 dari skor maksimal 30. Dari kegiatan kunjungan tatapmuka/anjangsana yang dilaksanakan oleh penyuluh responden dirangkum sejumlah temuan sebagai berikut:

  1. Kunjungan tatapmuka/anjangsana kelompok umumnya hanya dilaksanakan apabila ada kegiatan yang berkaitan dengan pemberian bantuan pemerintah. Salah satu penyebab sulitnya pelaksanaan kegiatan ini karena sebagian besar kelompoktani tidak memiliki jadual pertemuan rutin. Selain itu kelompoktani yang dibina oleh setiap penyuluh belum mencapai jumlah ideal. Sebagian besar penyuluh (55,4%) hanya membina kelompoktani dengan jumlah kurang dari 8 kelompok. Berdasarkan Anonim (2007) setiap penyuluh idealnya membina 8 – 16 kelompoktani.
  2. Model kunjungan yang dominan diterapkan oleh penyuluh adalah tatapmuka/anjangsana perorangan dengan mengunjungi pengurus kelompoktani dan petani maju. Dengan cara ini maka petani maju cenderung lebih banyak mendapat perhatian sehingga semakin memperlebar kesenjangan kemampuan antara petani tertinggal dengan petani maju.
  3. Ditemui adanya kebijakan di sejumlah wilayah yang mewajibkan penyuluh untuk mengisi daftar hadir di kantor Balai Penyuluhan kecamatan setiap hari. Kebijakan seperti ini tentunya akan memberikan beban ganda kepada penyuluh terutama dalam melaksanakan kegiatan kunjungan tatapmuka/anjangsana, yang umumnya dilaksanakan di luar jam kerja yaitu sore atau malam hari.

Secara umum penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh penyuluh responden lebih berorientasi pada pengembangan komoditas, terutama pangan, dengan menggunakan model top-down sebagaimana yang diterapkan pada program Bimas dahulu. Materi penyuluhan yang disampaikan kepada petani masih sangat dominan berkenaan dengan teknologi. Sementara itu materi yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas petani agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya belum banyak menjadi perhatian penyuluh. Menurut Anonim (2005) pada era reformasi dan otonomi sekarang ini, pendekatan dari atas tentunya sudah tidak relevan lagi. Yang diinginkan adalah petani mengelola usahataninya dengan penuh kesadaran serta mampu melakukan pilihan-pilihan yang tepat dari alternatif yang ditawarkan oleh penyuluh dan pihak-pihak lain


  1. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh

Dari hasil analisis terhadap sebelas faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan ternyata hanya dua faktor yang mempunyai korelasi dengan keberartian yang sangat nyata (p<0,05) yaitu lama bertugas di wilayah kerja bersangkutan dan jumlah petani di wilayah kerja penyuluh, dengan koefisien korelasi 0,291 dan 0,359. Disamping itu diperoleh dua faktor yang menghasilkan korelasi dengan keberartian yang nyata (p<0,10) yaitu insentif tambahan yang dibayarkan oleh pemerintah kabupaten/kota di luar gaji dan BOP, dan pengetahuan penyuluh tentang prinsip dasar penyuluhan pertanian, dengan koefisien korelasi 0,229 dan 0,261. Namun, keeratan hubungan antara keempat faktor ini dengan efektivitas kerja penyuluh pertanian hanya berada pada kategori lemah (koefisien korelasi < 0,40). Hal ini menunjukkan bahwa dari sebelas variabel yang diuji tidak satupun variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan.

Tidak ditemukannya faktor yang memiliki hubungan kuat terhadap kinerja penyuluh diduga karena variabel yang diuji hanya sebagian saja dari tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja individu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Cokroaminoto (2007) bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja individu adalah variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Dikatakannya bahwa kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis seperti umur, pendidikan, masa kerja, jabatan fungsional dan jarak tempat tinggal. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Dari sebelas variabel yang diuji pada penelitian ini sepuluh diantaranya termasuk ke dalam kelompok variabel invidu, hanya satu yang termasuk kelompok variabel organisasi yaitu insentif tambahan. Sedangkan yang termasuk ke dalam variabel psikologis tidak satupun yang diuji.

Hasil penelitian Purba (2004) menunjukkan bahwa variabel psikologis yaitu motivasi mempunyai pengaruh yang lebih dominan terhadap kinerja, diikuti dengan kepemimpinan (variabel organisasi) dan diklat (variabel individu). Mangkunegara (2008:18) menyusun proses motivasi individu dalam suatu siklus yang terdiri dari: (1) kebutuhan yang tidak terpenuhi; (2) mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan; (3) perilaku yang berorientasi pada tujuan; (4) hasil karya (evaluasi dari tujuan yang dicapai); (5) imbalan dan hukuman; (6) kebutuhan yang tidak dipenuhi dinilai kembali oleh karyawan. Dari rangkaian proses ini terlihat bahwa penetapan tujuan melalui perencanaan yang baik serta evaluasi terhadap hasil karya merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong motivasi seseorang untuk berprestasi. Rendahnya kinerja kedua aspek tersebut yang ditemukan pada penelitian ini diduga turut memberikan dampak negatif terhadap motivasi penyuluh dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Dari pengamatan di lapangan didapat bahwa lemahnya kegiatan perencanaan serta evaluasi dan pelaporan penyuluhan tidak disebabkan oleh faktor penyuluh semata tetapi juga berkaitan erat dengan lemahnya pembinaan dan supervisi terhadap kedua kegiatan tersebut. Sejauh ini penyusunan RKPT dan pelaksanaan evaluasi oleh seorang penyuluh tidak disertai dengan pembinaan dan supervisi yang memadai dari pejabat pembina atasannya. Dengan demikian maka tidak ada mekanisme kontrol untuk memastikan apakah rencana kerja yang disusun oleh penyuluh telah disusun secara benar serta sesuai dengan kebutuhan petani dan kebijakan yang ada. Untuk memecahkan masalah ini maka seorang kepala balai penyuluhan kecamatan, selaku pejabat pembina penyuluh di lapangan, harus terlebih dahulu memiliki pemahaman yang baik tentang tata cara penyusunan RKPT dan evaluasi penyuluhan. Disamping itu perlu dicari model penyusunan RKPT dan pelaksanaan evaluasi yang lebih akuntabel seperti melalui pembahasan rancangan RKPT dan hasil evaluasi kegiatan pada forum pertemuan penyuluh tingkat kecamatan. Melalui pembahasan seperti ini diharapkan seorang penyuluh merasa lebih dikontrol untuk menyusun rencana kerjanya dan melaksanakan evaluasi kegiatannya dengan lebih terarah.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disusun simpulan sebagai berikut:

  1. Kinerja penyuluh pertanian lapangan di Provinsi Jambi berada pada kategori rendah. Rataan skor kinerja penyuluh responden adalah 29,15 dari skor tertinggi 100. Dari hasil penilaian terhadap tiga aspek penyelenggaraan penyuluhan, didapat capaian tingkat kinerja terendah pada aspek evaluasi dan pelaporan; diikuti oleh pelaksanaan dan persiapan.
  2. Dari sebelas variabel yang diuji untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan diperoleh dua variabel yang memiliki korelasi dengan keberartian yang sangat nyata (p<0,05) yaitu lama bertugas dan jumlah petani di wilayah kerja. Sedangkan yang memiliki korelasi dengan keberartian yang nyata (p<0,1) terhadap efektivitas kerja penyuluh ada dua variabel yaitu insentif tambahan dan tingkat pengetahuan. Namun, keeratan korelasi keempat variabel diatas berada pada kategori lemah sehingga pada penelitian ini tidak ditemui adanya faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Penyuluhan. Departemen Pertanian. Diakses dari http://www.deptan. go.id/bpsdm/ruu_pp/naskah_akademik_bab2.htm.

Anonim. 2006. Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Tambahan Lembaran Negara RI 4660.

Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pertanian nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.

Anonim. 2008. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: Per/02/Menpan/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya.

Anonim. 2009. Jambi Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statitistik Provinsi Jambi.

Anonim. 2009a. Peraturan Menteri Pertanian nomor: 25/Permentan/OT.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian.

Cokroaminoto. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Individu. Diakses dari
http://cokroaminoto.wordpress.com/.

Mangkunegara, A. P. 2008. Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika Aditama. Bandung.

Muhidin, S.A. dan M. Abdurahman. 2007.Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Pustaka Setia. Bandung.

Purba, J. 2004. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Binjai. Jurnal Manjemen dan Bisnis. Vol. 4 no. 2. Hal. 97-106.

Ruky, A.S. 2001. Sistem Manjemen Kinerja. Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Simamora, B. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sinar Harapan. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Belum Optimal. Senin, 1 Desember 2008. http://www.sinarharapan.co.id/.

Tayibnafis, F.Y. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.

Triola, M. F. 1998. Elementary Statistics. Seventh Edition. Addison – Wesley Longman Inc. New York.

Van den Ban, A.W. dan Hawkins, H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Waryanto, B. dan Millafati, Y.A. 2006. Transformasi Data Skala Ordinal ke Interval dengan  Menggunakan Minitab. Informatika Pertanian. Vol. 15. Hal. 881-895.

(Dimuat pada Jurnal Penelitian Universitas Jambi Vol. 12 nomor 2, Juli 2010)

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah