Minggu, 08 April 2012

MENUNGGU KEPUNAHAN BAHASA SEBERANG

Salah satu kelompok masyarakat yang telah bermukim lebih awal di wilayah Kota Jambi adalah penduduk yang bertempat tinggal di sisi utara sungai Batanghari atau di seberang pusat pemerintahan Kota Jambi sekarang, yang lazim disebut sebagai Orang Seberang. Masyarakat ini memiliki bahasa yang khas, yang seharusnya menjadi kekayaan budaya Kota Jambi. Mengingat semakin intensifnya komunikasi Orang Seberang dengan masyarakat di luar komunitasnya tidak tertutup kemungkinan akan terjadi penggerusan bahasa asli mereka. Oleh karena itu diperlukan pemikiran dari pihak terkait agar kekayaan budaya ini tetap terjaga dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Kekhasan Bahasa

Bagi orang yang sudah lama bermukim di Kota Jambi pasti sudah tahu bahwa Orang Seberang memiliki bahasa yang khas, sebut saja Bahasa Seberang. Bahasa ini digunakan sehari-hari oleh mayoritas penduduk Seberang dan sebagian penduduk pinggiran Sungai Batanghari yang berada di seberangnya seperti di Buluran, Penyengat Rendah dan Sijinjang. Bahasa yang digunakan relatif berbeda dengan penduduk Kota Jambi yang bermukim di wilayah sekitar Pasar Jambi, yang oleh Orang Seberang disebut bahasa Orang Pasar. Pada awalnya daerah di sekitar Pasar Jambi, seperti Sungai Marem dan Kampung Manggis banyak dihuni oleh pendatang yang berasal dari dari Sumatera Selatan sehingga bahasa Orang Pasar lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Sumatera Selatan, khususnya bahasa Palembang.

Beberapa kekhasan Bahasa Seberang dibandingkan dengan bahasa Orang Pasar antara lain. (1) Perbedaan kosa kata, dimana terdapat sejumlah kosa kata Bahasa Seberang yang tidak ditemukan di dalam bahasa Orang Pasar seperti kenyok (bukan), kelagi (nanti) dan lita’ (lelah). Orang Pasar mengucapkan maksud tersebut dengan kata bukan, kage’ dan cape’. (2) Adanya stratifikasi bahasa. Bahasa Seberang mengenal bahasa “halus” seperti kata kulo (saya), moyo (tidak) dan entan (ada). Kata-kata ini hanya dipergunakan dalam percakapan antara orang yang lebih muda kepada orang yang dituakan sebagai wujud penghormatan. Dalam percakapan antara orang sebaya, bahasa halus seperti ini tentu tidak digunakan. (3) Irama bahasa yang digunakan oleh Orang Seberang relatif berbeda dengan irama yang digunakan oleh Orang Pasar. Perbedaan irama ini sulit didefinisikan tetapi jika kita mendengar Orang Seberang berbicara maka kita dapat membedakannya dengan irama bahasa yang digunakan oleh Orang Pasar pada umumnya.

Ancaman Kepunahan
Sebagai produk budaya, bahasa akan selalu mengalami proses perubahan, bahkan kepunaham. Hal ini tentunya dapat terjadi juga pada Bahasa Seberang. Sungguhpun demikian, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana agar kepunahan itu dapat diperlambat. Kalau toh bahasa tersebut terpaksa harus punah paling tidak ada dokumentasi yang baik agar generasi berikutnya dapat mengetahui sejarah peradaban nenek moyang mereka. Gejala kemunduran penggunaan Bahasa Seberang yang sudah mulai terlihat saat ini antara lain: (1) Sudah sangat jarang generasi muda yang menggunakan bahasa “halus” atau mungkin malah tidak mengenalnya lagi. (2) Beberapa kosa kata Bahasa Seberang sudah hampir tidak terdengar lagi dalam percakapan sehari-hari seperti dedat (sering) dan entong (lamban). Saat ini mereka lebih senang menggunakan gala’ dan lambat untuk menggantikan kedua kata tersebut. (3) Adanya upaya “membangkitkan” kembali adat Jambi kepada masyarakat Kota Jambi melalui berbagai kegiatan budaya seperti upacara perkawinan. Sayangnya kegiatan ini justru tidak sepenuhnya menggunakan Bahasa Seberang. Sebagai contoh di dalam upacara perkawinan adat Jambi digunakan kata nenek mamak dan semendo yang sebenarnya tidak dikenal dalam Bahasa Seberang.

Semakin terbukanya sarana transportasi antara wilayah Seberang dengan daerah sekitarnya mengakibatkan komunikasi antara Orang Seberang dengan masyarakat luar menjadi semakin intens. Persilangan budaya, termasuk dalam hal bahasa, menjadi sesuatu yang sulit dihindari. Oleh karena itu tidak mengherankan Bahasa Seberang juga mengalami proses pembauran dengan bahasa lainnya. Yang dikahawatir dalam proses pembauran ini akan mengalahkan keberadaan Bahasa Seberang. Kecenderungan ini sangat memungkinkan mengingat Bahasa Seberang dapat dianggap mewakili bahasa “kampung” sehingga dikhawatirkan orang muda Seberang merasa tidak pede memperlihatkan identitas Seberang-nya. Dengan demikian mau tidak mau Bahasa Seberang akan semakin terbatas digunakan di luar komunitasnya.

Upaya Pencegahan
Mengingat pentingnya upaya menjaga keberadaan Bahasa Seberang sebagai salah satu kekayaan budaya Kota Jambi maka perlu dilakukan beberapa hal. (1) Melakukan studi ilmiah tentang keberadaan Bahasa Seberang agar dapat dilakukan identifikasi komprehensif mengenai bahasan ini. (2) Segera melakukan inventarisasi terhadap kosa kata Bahasa Seberang mengingat sebagian besar generasi tua yang dapat dijadikan sebagai narasumber sudah sangat terbatas saat ini. (3) Meningkatkan jati diri Bahasa Seberang sebagai identitas masyarakat Kota Jambi agar generasi muda Seberang tidak malu menggunakan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. (4) Melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan pelajar tentang keberadaan Bahasa Seberang sebagai salah satu ragam bahasa daerah di Provinsi Jambi.

Penutup
Tulisan ini dibuat hanya berdasarkan pengamatan sekilas penulis tidak dilandasi oleh kajian yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Hal ini kiranya dapat dimaklumi mengingat penulis sendiri bukan ahli di bidang ini. Tulisan ini lebih didasari oleh kekhawatiran dan tanggung jawab moral penulis sebagai Orang Seberang, yang dilahirkan dan dibesarkan di Seberang. Harapan penulis agar para ahli dan pengambil kebijakan lebih memberikan perhatian terhadap Bahasa Seberang agar kekayaan budaya ini dapat dipertahankan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Minggu, 01 April 2012

MEMAKNAI NILAI TUKAR PETANI

Akhir-akhir ini NTP (Nilai Tukar Petani) menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan oleh berbagai media massa di Provinsi Jambi. Penyebabnya, NTP Provinsi Jambi pada akhir tahun 2011 ternyata lebih rendah dibandingkan dengan NTP nasional. Dari data yang dipublikasi oleh BPS (Badan Pusat Statistik) diperoleh NTP Provinsi Jambi pada bulan November 2011 untuk tanaman pangan sebesar 94,50; hortikultura sebesar 92,07; tanaman perkebunan rakyat sebesar 96,86; dan peternakan sebesar 97,93. Sementara itu angka NTP nasional untuk masing-masing sub sektor diatas didapat NTP sebesar: 105,03; 108,70; 107,55 dan 101,29. Rendahnya angka NTP ini tentunya mengkhawatirkan para pengambil kebijakan di daerah ini karena NTP sejauh ini digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani.

Apa NTP itu?
BPS menyusun definisi NTP sebagai perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsep NTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas barang-barang (produk) yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian. Dari definisi ini jelas bahwa NTP merupakan indeks perbandingan harga barang, bukan merupakan perbandingan nilai pendapatan dan pengeluaran petani yang sesungguhnya menjadi ukuran kesejahteraan.

Perhitungan It (t=diterima) dilakukan dengan menggunakan harga produk yang dihasilkan oleh petani pada tingkat produsen (petani). Harga pada tahun 2007 dijadikan sebagai pembanding baku dengan nilai 100. Jika pada waktu tertentu nilai suatu produk yang dihasilkan petani lebih mahal dari harga baku tahun 2007 maka It dari produk tersebut bernilai lebih besar dari 100. Sebaliknya, jika harga produk tersebut lebih murah dari harga baku tahun 2007 maka It produk tersebut akan lebih kecil dari 100.

Metode perhitungan serupa juga dilakukan terhadap Ib (b=bayar). Komponen yang digunakan untuk menghitung harga yang dibayar petani meliputi konsumsi rumah tangga dan biaya produksi. Konsumsi rumah tangga terdiri atas bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan; rekreasi dan olah raga, transportasi dan komunikasi. Sedangkan biaya produksi mencakup bibit, obat-obatan dan pupuk, transportasi dan komunikasi, sewa lahan; pajak dan lainnya, penambahan barang modal, dan upah buruh tani. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa komponen yang menentukan Ib ini sangat beragam dan banyak jumlahnya karena mencakup berbagai kebutuhan sehari-hari keluarga petani dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Oleh karena itu ketepatan dalam memformulasikan jenis dan komposisi barang yang dibutuhkan oleh keluraga petani ini menjadi salah satu aspek penting dalam menentukan akurasi perhitungan NTP.

Angka NTP merupakan hasil pembagian It dengan Ib dikalikan dengan 100. Dengan demikian maka NTP yang lebih besar dari 100 dapat diartikan sebagai tingginya laju pertumbuhan harga produk yang dihasilkan petani dibandingkan dengan pertumbuhan harga barang yang dibutuhkan petani. Jika diasumsikan bahwa tingkat produksi pertanian yang dihasilkan oleh rumah tangga petani tetap maka dengan meningkatnya nilai NTP akan meningkatkan daya beli petani terhadap barang yang dibutuhkannya.

Hubungan NTP dengan Kesejahteraan
Sebagaimana yang sering dilangsir oleh media massa bahwa NTP merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani. Muncul pertanyaan apakah dengan meningkatnya NTP petani sudah dapat dikatakan sejahtera. Begitu juga sebaliknya, apakah rendahnya NTP otomatis dapat disimpulkan bahwa petani melarat. Tentu jawaban kedua pertanyaan diatas adalah “tidak”. Hal ini dapat dijelaskan karena kesejahteraan ditentukan jumlah pendapatan dan pengeluaran petani. Sementara itu pendapatan petani ditentukan oleh perkalian antara harga dengan tingkat produksi barang yang dihasilkan petani. Walaupun NTP meningkat tajam tetapi produk pertanian yang dihasilkan petani jumlahnya sedikit maka tetap saja petani tidak sejahtera karena pendapatan yang diperoleh tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Analogi dari penjelasan diatas sekaligus memberikan pemahaman bahwa NTP tidak dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kesejahteraan petani di wilayah yang berbeda. Artinya, walaupun NTP Provinsi Jambi lebih rendah daripada NTP Sumatera Selatan bukan berarti bahwa petani di Provinsi Jambi lebih rendah tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan petani di Provinsi Sumatera Selatan. Nilai NTP Provinsi Jambi yang lebih rendah dari 100 lebih cocok diartikan sebagai kecenderungan menurunnya daya beli petani dibandingkan dari keadaan pada tahun 2007, apabila diasumsikan tingkat produksi petani pada kedua waktu tersebut sama.

Pada kasus tertentu dapat juga terjadi penurunan NTP justru diikuti dengan peningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berikut ini disajikan contoh kasus tersebut. Apabila disuatu wilayah diterapkan program peningkatan produksi pertanian secara massal, misalnya dengan penggunaan benih unggul yang mampu meningkatkan produktivitas hasil pertanian, maka produksi pertanian di wilayah tersebut akan meningkat. Peningkatan produksi di suatu wilayah pada waktu bersamaan biasanya diikuti dengan penurunan harga produk pertanian, yang berakibat menurunnya It dan NTP. Sungguhpun NTP menurun tetapi produkivitas dan produksi hasil pertanian yang dihasilkan petani meningkat maka pendapatan petani tetap meningkat sekaligus akan meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani.

Memaknai NTP
Penjelasan dan ilustrasi diatas bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa NTP tidak perlu diperhatikan tetapi ingin mengajak kita semua agar lebih bijak dalam menggunakan NTP. Hal penting yang harus dipahami bahwa NTP merupakan indeks pembanding harga rentang waktu (time series). Sedangkan harga merupakan salah satu komponen penentu pendapatan petani. Dengan asumsi pada tingkat produksi pertanian rumah tangga petani yang tetap maka penurunan NTP akan cenderung menurunkan kemampuan rumah tangga tersebut untuk membeli barang yang mereka butuhkan. Dengan demikian maka kesejahteraan petani secara relatif juga akan semakin menurun. Begitu juga sebaliknya pada keadaan terjadinya peningkatan NTP.

Salah satu topik yang menjadi perhatian pengambil kebijakan adalah bagaimana cara meningkatkan NTP. Hal ini ini menjadi penting karena upaya peningkatan NTP merupakan salah satu faktor penentu untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan petani. Jika dikembalikan ke dalam konteks NTP sebagai indeks harga maka upaya untuk mengubah NTP harus dilakukan dengan mengubah harga, dalam hal ini It dan Ib. Oleh karena itu upaya peningkatan NTP haruslah tertuju pada kegiatan yang terkait dengan peningkatan It dan atau penurunan Ib. Upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan produksi hasil pertanian, yang tidak ada hubungannya dengan harga, tidak berpengaruh terhadap NTP. Namun, peningkatan produktivitas menjadi penting untuk meningkatkan produksi hasil pertanian, yang tentunya diharapkan berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Melihat kondisi yang ditemui di sejumlah lokasi sentra pertanian di Provinsi Jambi dapat dipastikan bahwa sarana transportasi menjadi faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap harga barang di tingkat petani. Buruknya sarana transportasi ke lokasi produksi pertanian akan menurunkan It dan meningkatkan Ib. Oleh karena itu perbaikan infrastruktur transportasi ke sentra-sentra produksi pertanian menjadi aspek yang sangat berperan dalam upaya mendongkrak NTP.

Selain itu yang kalah pentingnya adalah upaya yang terkait dengan peningkatan posisi tawar (bargaining power) petani dalam setiap transaksi agribisnis mereka. Rendahnya harga jual produk hasil pertanian seringkali disebabkan oleh ketidakmampuan petani dalam bertransaksi dengan pedagang perantara. Untuk itu upaya membina kekuatan bersama petani seperti pengembangan koperasi petani diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan posisi tawar petani, sekaligus harga jual hasil produksi pertanian mereka. Oleh karena itu kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kelembagaan petani menjadi salah satu jalan guna meningkatkan atau paling tidak mempertahankan NTP.

(Dimuat pada hari "Jambi Ekspres" tanggal 30 Januari 2012)

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah