Rabu, 28 Oktober 2015

Mengembalikan Esensi Koperasi



Pendahuluan
Koperasi merupakan suatu  gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.  Mengingat perannya yang sangat strategis terhadap pembangunan ekonomi kerakyatan maka pemerintah selalu mengupayakan agar koperasi dapat berkembang sesuai dengan fungsinya.  Upaya yang telah dilakukan antara lain berupa pemberian kemudahan dalam pengembangan koperasi seperti bantuan penguatan modal serta pembinaan terhadap pengelola koperasi. Namun, muncul pertanyaan apakah upaya tersebut  telah membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan.     

Perkembangan Koperasi 
Perkembangan koperasi di Provinsi Jambi secara umum dapat dilihat dari sejumlah informasi yang telah dipublikasikan oleh media massa berikut ini. Pada tahun 2009 di Kota Jambi terdapat 661 koperasi, namun dari jumlah tersebut hanya 480 koperasi yang masih aktif (Jambi Ekspres, 12/01/2010).  Sementara itu dari 264 koperasi di Kabupaten Bungo, 170 diantaranya tidak aktif lagi. Sebagian besar koperasi yang tidak aktif ini adalah koperasi yang bergerak pada komoditas pertanian (Jambi Ekspres, 17/02/2010). Sedangkan di Kabupaten Muaro Jambi dilaporkan dari 303 koperasi yang ada terdapat 48 koperasi yang tidak berjalan lagi alias mati suri (Jambi Ekspres, 02/06/2010). Kutipan berita diatas mencerminkan bahwa dari segi kuantitas terdapat kecenderungan semakin menyusutnya jumlah koperasi di beberapa  wilayah yang ada di Provinsi Jambi. Menurunnya jumlah koperasi di suatu wilayah dapat disebabkan oleh dua hal.  

Pertama, semakin menurunnya kebutuhan masyarakat akan koperasi. Kedua, terjadinya proses seleksi alam dimana koperasi yang tidak profesional akan mati dengan sendirinya.  Alasan pertama sungguh kurang layak diyakini kebenarannya karena saat ini justru kebutuhan terhadap lembaga keuangan mikro cenderung terus meningkat.  Hal ini terlihat dari seamkin menjamurnya lembaga jasa peminjaman uang dan penggadaian diberbagai tempat. Kalau saja koperasi dapat berperan dengan baik, sudah tentu usaha peminjaman uang komersial seperti ini tidak akan tumbuh subur. Oleh karena itu alasan kedua, yaitu ketidakprofesionalan pengelolaan koperasi layak diyakini sebagai penyebab semakin menurunnya jumlah koperasi di sejumlah wilayah sebagaimana yang diberitakan di media massa di atas.   

Koperasi Merpati    
Dijadikannya koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional telah menempatkan lembaga perekonomian ini secara politis menjadi "anak emas " dalam berbagai kebijakan pembangunan.  Tidak mengherankan kemudian bermunculan sejumlah program yang memberikan bantuan dan kemudahan untuk pengembangan koperasi seperti pemberian dana penguatan modal. Alasan pengucuran bantuan ini sangat logis yaitu karena koperasi dianggap kurang mampu mengakses sumber modal komersial seperti modal perbankan.  Tetapi dampak negatif dari program seperti ini adalah munculnya sejumlah koperasi dadakan, yang dengan berbagai cara mempersiapkan persyaratan administratif yang dibutuhkan untuk menerima bantuan.  Tak heran kemudian berkembang biaklah  koperasi merpati, yaitu koperasi yang hidupnya ibarat merpati, hanya datang apabila diberi makanan.  Begitu makanan habis merpati akan bubar, beterbangan kemana-mana.     

Modal tentunya sangat diperlukan untuk perkembangan koperasi.  Tetapi modal saja tidak cukup untuk menjamin koperasi dapat berperan secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Balitbangda Provinsi Jambi tahun 2009 terhadap dana Bantuan Perkuatan yang disalurkan Kementerian Koperasi dan UKM di tiga wilayah sampel yaitu Kabupaten Kerinci, Kabupaten Bungo dan Kota Jambi. Dari 31 paket bantuan dengan nilai antara Rp 50 juta sampai dengan Rp 5,4 milyar per-paket ditemukan sebanyak 8 paket sudah tidak ada bekasnya lagi.  Malah dari 29 koperasi penerima bantuan tersebut terdapat 5 koperasi yang sudah tidak berjalan lagi alias bubar. 

Koperasi yang masih beroperasi umumnya memanfaatkan dana bergulir untuk kegiatan simpan pinjam.  Pinjaman diberikan kepada anggota koperasi dengan menggunakan jaminan tertentu seperti surat tanah atau BPKB kendaraan, disertai dengan jasa pinjaman yang relatif tinggi yaitu  antara 1,5 sampai dengan 2 persen per-bulan. Dari hasil penelitian diatas dapat ditarik pelajaran penting paling tidak untuk dua hal penting. Pertama, ketersediaan modal bukan menjadi jaminan untuk berkembangnya koperasi. Kedua, asas kekeluargaan belum sepenuhnya diterapkan dengan benar dalam pengelolaan koperasi. Untuk hal yang kedua ini, dibuktikan dengan masih digunakannya sistem jaminan fisik dalam memberikan pinjaman kepada anggota.  Penerapkan sistem seperti ini menunjukkan bahwa praktik perkoperasian masih dilaksanakan tidak jauh berbeda dengan yang apa diterapkan oleh lembaga keuangan komersial seperti bank dan penggadaian. 

Pertanyaannya, dimana asas kekeluargaan koperasi itu apabila dengan anggotanya saja belum ada rasa saling percaya sehingga untuk meminjamkan uang masih dibutuhkan jaminan. Padahal masalah yang paling banyak dihadapi masyarakat, terutama yang berada pada kelompok ekonomi lemah, adalah kesulitan dalam penyediaan jaminan fisik karena mereka memang tidak memiliki harta yang layak dijadikan jaminan. Seharusnya koperasi-lah yang membantu memecahkan masalah anggota masyarakat  seperti ini.       

Esensi Koperasi 
Dalam menjalankan fungsinya koperasi harus menerapkan dua asas utama yaitu  kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.  Asas kekeluargaan mencerminkan adanya ikatan sosial yang kuat di antara anggota koperasi. Di dalam menerapkan asas kekeluargaan ini, saling percaya dan saling membantu menjadi modal utama. Koperasi hendaknya dikembangkan dengan landasan tidak semata untuk mencari keuntungan (not for profit) tetapi lebih diarahkan untuk sarana saling membantu guna peningkatan kesejahteraan anggota.  Oleh karena itu kebijakan koperasi haruslah berorientasi pada prinsip membantu meringankan beban ekonomi para anggotanya, tanpa menyampingkan aspek pengembangan usaha koperasi.  

Asas demokrasi mencerminkan adanya keterbukaan antar anggota dan pengurus  dalam pengambilan kebijakan koperasi. Penerapan asas ini dibutuhkan agar setiap kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan koperasi betul-betul sesuai dengan aspirasi anggota dan lebih berpihak kepada kepentingan anggota, daripada kepentingan pengurus yang tentunya hanya menginginkan keuntungan. Penerapan asas demokrasi secara benar di tengah masyarakat kita tentunya bukan hal yang mudah.  Lamanya kekangan pemerintahan orde baru terhadap kebebasan berpendapat telah membutakan mata sebagian besar anggota masyarakat terhadap pengertian demokrasi.  Hal ini menyebabkan masyarakat kita belum sepenuhnya terbiasa mempraktikkan kehidupan demokrasi, termasuk di dalam pengelolaan koperasi.  

Praktik perkoperasian yang banyak ditemui adalah terlalu dominannya peran pengurus.  Pengurus sering ditempatkan sebagai "pemilik" koperasi, sedangkan anggota hanya diperankan sebagai "nasabah" yang harus ikut dengan aturan main yang dibuat pengurus.  Seharusnya kekuasaan tertinggi di dalam koperasi ada di tangan anggota sehingga pengurus hanya sebagai perpanjangan tangan anggota untuk melaksanakan tugas yang diberikan oleh anggota koperasi. Keadaan seperti ini tentunya hanya akan ditemui apabila iklim demokrasi di dalam koperasi telah tumbuh dengan baik. Penerapan asas demokrasi yang benar di dalam perkoperasian akan menghasilkan sistem yang memungkinkan pelaksanaan tugas pengurus betul-betul didasari oleh aspirasi para anggotanya.   

Upaya Pengembangan Koperasi yang dikelola secara profesional merupakan salah satu persyaratan agar koperasi bisa menjalankan perannya secara efektif.  Untuk itu diperlukan pembinaan terhadap pengelola koperasi agar mampu mengelola administrasi koperasi secara baik.  Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan manajemen koperasi serta pembinaan rutin oleh petugas lapangan. Namun pembinaan seperti ini tidak akan berhasilguna apabila tidak diikuti oleh pembinaan terhadap para anggotanya. Peran anggota koperasi menjadi sangat strategis mengingat keputusan tertinggi koperasi berada di tangan anggota.   

Dalam banyak kasus ditemui bahwa pengurus yang terlalu "hebat" justru akan membawa kehancuran koperasi apabila tidak diimbangi dengan kontrol yang baik dari anggotanya. Oleh karena itu pembinaan terhadap masyarakat sebagai anggota dan calon anggota perlu mendapatkan perhatian pihak terkait. Sejauh ini pihak terkait dalam pembinaan perkoperasian sering kurang menyadari tentang pentingnya peningkatan kapasitas anggota koperasi. Yang banyak menjadi perhatian biasanya hanya pengurus koperasi saja. Padahal pengurus yang baik hanya akan  lahir dari anggota yang baik.  Koperasi yang hakiki hanya dapat dibangun dari anggota yang memahami hak dan kewajibannya.  Peran pengurus seharusnya adalah sebagai pemegang mandat dari anggota dalam pengelolaan koperasi.  Artinya, anggotalah yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk menentukan siapa dan bagaimana pengurus harus bekerja untuk mereka.  Hanya saja prinsip ini sering tidak dipahami oleh anggota secara benar sehingga pengelolaan koperasi sering dikuasai oleh sekelompok orang "pintar" saja. Praktik seperti inilah yang akhirnya  menjadikan koperasi terseret ke model manajemen KUD alias ketua untung dulu. 

Agar koperasi dapat berperan sesuai dengan fungsinya maka mengembalikan esensi koperasi sebagai usaha bersama yang berlandaskan kekeluargaan dan demokrasi ekonomi perlu menjadi perhatian pihak terkait. Untuk itu perlu upaya peningkatan pemahaman masyarakat tentang esensi koperasi ini secara benar.   Upaya ini tentu tidak akan mampu dilakukan hanya oleh aparatur dari instansi pembina koperasi saja tetapi juga harus didukung oleh komponen pembinaan masyarakat lainnya.  Tidak berlebihan kiranya apabila pemerintah daerah dapat juga memberdayakan aparatur pembina lapangan yang telah ada seperti penyuluh pertanian, bidan desa dan guru sekolah untuk ikut dalam pembinaan perkoperasian.  Guna mendukung program ini tentunya dibutuhkan pemahaman aparatur lapangan yang benar tentang perkoperasian, agar pembinaan yang diberikan kepada masyarakat betul-betul sesuai dengan esensi koperasi yang sesungguhnya.   

Penutup 
Profesionalisme pengelolaan merupakan suatu keniscayaan agar koperasi dapat berperan secara optimal. Untuk itu diperlukan pengelola koperasi dengan kemampuan manajerial yang memadai, yang dihasilkan melalui pelatihan dan pembinaan berkesinambungan.  Namun, pengelola yang mampu hanya akan dapat bekerja optimal apabila didukung oleh kontrol yang baik dari anggota koperasi.  Oleh karena itu memberikan bekal yang cukup kepada anggota koperasi agar betul-betul memahami tentang esensi koperasi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian.



Kamis, 08 Oktober 2015

Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif

Pendahuluan 
Suatu penelitian pasti menghasilkan data (bentuk jamak dari datum), yang diartikan sebagai gambaran mengenai suatu objek pengamatan. Oleh Wikipedia, data didefinisikan sebagai hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata, atau citra. Data yang dihasilkan dapat disusun dalam sejumlah kategori yang memiliki ciri tertentu yang disebut sebagai data kualitatif, atau berupa angka hasil dari pengukuran yang disebut sebagai data kuantitatif. 

Apapun bentuknya, data memerlukan pengolahan dan analisis agar orang dapat dengan mudah membaca dan mengambil kesimpulan darinya. Pengolahan data dimulai dari sortasi, kodefikasi dan tabulasi dilakukan sesuai dengan bentuk data dan metode analisis yang digunakan. Analisis terhadap data kualitatif sangat mengandalkan kemampuan penelitinya, sehingga akurasi hasil analisis data ini biasanya ditentukan oleh siapa yang menganalisis data tersebut. Sedangkan analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan statistika sehingga akurasi hasil analisis sangat ditentukan oleh ketepatan metode statistika yang digunakan. Pada tulisan ini akan difokuskan pada bahasan tentang analisis data kuantitatif karena penelitian yang dilakukan oleh peneliti pemula umumnya menggunakan pendekatan ini. 

Skala Pengukuran 
Untuk mendapatkan data kuantitatif tentunya dibutuhkan suatu kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang memiliki skala atau ukuran tertentu. Skala pengukuran dibagi ke dalam empat jenis yaitu: Skala nominal yaitu pengukuran objek yang diamati berdasarkan sejumlah kategori yang setara. Pada penggunaan skala pengukuran ini, objek pengamatan hanya dikelompokkan ke dalam sejumlah kategori yang ditetapkan tanpa dapat ditentukan kategori mana yang lebih baik atau lebih tinggi nilainya. Contoh penggunaan skala nominal adalah pada pengukuran jender. Jender biasanya dikelompokkan ke dalam dua kategori pria dan wanita. Pada kedua kategori ini tidak bisa ditentukan kelompok jender mana yang lebih baik atau lebih tinggi nilainya sehingga keduanya dianggap setara. 

Skala ordinal yaitu pengukuran objek yang diamati berdasarkan sejumlah kategori yang dapat disusun dalam suatu urutan (order) tertentu. Hanya saja jarak antara satu urutan dengan urutan lainnya tidak mempunyai makna apa-apa. Contoh pemakaian skala ordinal adalah pengukuran sikap dengan menggunakan skala sikap atau skala Likert. Metode pengukuran ini dipopulerkan oleh Rensis Likert dalam mengukur sikap seseorang terhadap suatu objek. Cara yang digunakan adalah dengan memberikan sejumlah penyataan kepada responden yang harus dijawab dalam lima pilihan jawaban yaitu: sangat tidak setuju, tidak setuju, netral atau ragu-ragu, setuju dan sangat setuju. Dalam hal ini jawaban responden bersifat kualitatif seperti pada skala nominal tetapi memiliki tingkatan dari yang paling rendah yaitu sangat tidak setuju sampai ke yang paling tinggi yaitu sangat setuju. Sungguhpun demikian jarak antara suatu jawaban dengan jawaban lainnya tidak mempunyai makna apa-apa. Jadi tidak dapat diketahui berapa nilai jarak antara sangat tidak setuju dengan tidak setuju atau jarak antara setuju dengan sangat setuju. 

Skala interval yaitu pengukuran objek yang diamati berdasarkan sejumlah nilai yang dapat disusun dalam suatu urutan tertentu dimana jarak (interval) antara satu urutan dengan urutan lainnya dapat diketahui. Hanya saja tidak terdapat nilai nol mutlak, yang artinya nilai nol disini tidak mencerminkan objek yang diukur tersebut memang tidak ada. Dengan demikian nilai suatu ukuran tidak dapat dibandingkan dengan nilai ukuran lainnya. Contoh penggunaan skala interval adalah pengukuran suhu. Jarak antara suhu 20 0C dengan 30 0C dapat diketahui yaitu 10 0C tetapi tidak dapat dibandingkan bahwa suhu 20 0C adalah dua kali lipat dari suhu 10 0C. Selain itu suhu 0 0C bukan berarti tidak ada suhu (panas) sama sekali karena nilai 0 disini bukannya nilai nol mutlak. 

Skala rasio mirip dengan skala interval tetapi memiliki nilai nol mutlak sehingga perbandingan (ratio) antara suatu nilai dengan nilai lainnya dapat diketahui. Penggunaan skala ini sangat luas dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya untuk pengukuran panjang, bobot dan volume. Suatu benda dengan bobot 20 kg dapat dikatakan memiliki bobot dua kali lipat dari benda dengan bobot 10 kg. Jika bobot suatu benda adalah 0 kg dapat diartikan bahwa benda tersebut mutlak tidak ada. 

Adakalanya suatu metode statistika hanya dapat dipakai untuk data yang diukur dengan menggunakan skala pengukuran tertentu sehingga ketidaktahuan akan skala pengukuran dapat berakibat kesalahan dalam pemilihan metode analisis yang tepat. Pada analisis data dengan menggunakan program komputer biasanya antara skala pengukuran interval dan rasio tidak dibedakan karena metode statistika yang digunakan untuk kedua skala pengukuran ini umumnya sama. 

Jenis Statistika 
Data biasanya digunakan untuk memberikan informasi mengenai hasil suatu pengamatan atau keadaan secara utuh. Sebagai contoh adalah informasi jumlah pencari kerja yang sering disusun oleh Dinas Tenaga Kerja di suatu provinsi. Disitu ditulis informasi mengenai jumlah pencari kerja di tiap kabupaten/ kota. Selain itu dapat juga ditambah dengan perkembangan jumlah pencari kerja dari tahun ke tahun. Data yang disajikan pada kasus seperti ini hanya untuk mendeskripsikan (menjelaskan) keadaan pencari kerja di provinsi tersebut. Statistika yang digunakan pada kegiatan seperti ini hanya untuk menggambarkan objek yang diamati dalam bentuk angka-angka atau gambar (biasa dalam bentuk grafik), disebut sebagai statistika deskriptif. 

Selain itu statistika dapat juga digunakan untuk memprediksi atau menggeneralisasi objek yang lebih luas, disebut sebagai statistika induktif atau inferen. Pada kasus ini objek yang diamati hanya berstatus sebagai sampel atau contoh yang digunakan untuk memprediksi sejumlah informasi mengenai objek yang lebih luas yaitu populasi. Contohnya adalah perhitungan cepat (quick count) yang sering digunakan pada Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung). Pada kegiatan ini, data hasil perolehan suara yang didapat dari sejumlah TPS (Tempat Pemungutan Suara) dijadikan sebagai sampel yang akan digunakan untuk memperkirakan hasil perolehan suara keseluruhan (populasi). Dari pengalaman quick count yang pernah dilakukan di sejumlah daerah, terbukti hasilnya sangat mendekati dengan hasil akhir Pilkadal tersebut. Ini menunjukkan bahwa sejumlah TPS sampel, tentunya dengan menggunakan metode statistika induktif, dapat digunakan untuk memprediksi hasil pemilihan seluruh TPS di wilayah yang dijadikan sebagai populasi penelitian. 

Berdasarkan metode pengujiannya maka statistika induktif dapat dikelompokkan menjadi statistika parametrik dan nonparametrik. Pada pengujian dengan menggunakan statistika parametrik, data yang digunakan harus memenuhi asumsi tertentu. Sementara itu pada statistika nonparametrik asumsi tersebut tidak dibutuhkan. Sebagai contoh pada uji beda rataan dua sampel berpasangan. Apabila akan menggunakan statistika parametrik seperti uji-t maka data yang digunakan harus diasumsikan berasal dari populasi yang menyebar normal. Jika asumsi tersebut tidak dipenuhi maka dapat digunakan pengujian dengan statistika nonparametrik seperti uji Wilcoxon. Contoh lain adalah untuk uji korelasi. Contoh lain penggunaan statistika parametrik adalah uji korelasi Pearson maka data yang digunakan harus memenuhi asumsi antara lain: (1) data memiliki skala interval atau rasio; dan (2) setiap nilai variabel bebas (X) diperoleh nilai variabel terikat (Y) yang menyebar normal. Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka pengujian hanya boleh dilakukan dengan menggunakan statistika nonparametrik seperti uji korelasi Spearman atau Kendal.

 Asumsi-asumsi yang dibutuhkan pada penggunaan statistika parametrik sebenarnya merupakan benang merah penghubung antara data sampel dengan data populasi. Oleh karena itu dalam melakukan pendugaan terhadap keadaan populasi pada statistika induktif dengan menggunakan statistika parametrik diyakini memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan statistika nonparametrik. 

Sebaran Data 
Jika disajikan dua kelompok data sebagai berikut: 
Kelompok pertama: 1 2 5 8 9 
Kelompok kedua : 4 5 5 5 6 
Maka kedua data tersebut menghasilkan rataan yang sama yaitu 5. Tentunya menjadi sangat bias jika orang mempunyai persepsi yang sama antara kelompok data pertama dengan kelompok kedua karena kelompok data pertama menyebar pada rentang yang lebih besar dari nilai 1 sampai 9, sedangkan kelompok data kedua menyebar pada rentang yang lebih sempit yaitu dari nilai 4 sampai dengan 6. Untuk mengatasi hal ini maka dikenal suatu alat ukur yang menggambarkan tingkat keragaman suatu kelompok data yaitu simpangan baku dan ragam. 

Dalil Limit Pusat 
Ada suatu dalil yang sangat penting dalam statistika induktif, yang dapat dikatakan sebagai jalan pembuka dalam pendugaan terhadap parameter suatu populasi dengan menggunakan statistik suatu sampel, yang disebut dengan dalil limit pusat (central limit theorem). Dalil ini berlaku pada pengukuran anggota sampel yang diambil secara acak dan bebas dengan jumlah yang tetap (n) dari suatu populasi tertentu. Apabila pengambilan sampel dengan jumlah n tersebut dilakukan berulang kali, hingga jumlah yang tak terhingga maka setiap kali pengambilan sampel akan diperoleh nilai rataan sampel (x). Jika nilai rataan sampel ini diletakkan pada sumbu x dan proporsi jumlah sampel pada sumbu y maka akan terbentuklah suatu kurva kontinyu. Kurva ini akan memiliki nilai rataan yang disebut sebagai rataan dari rataan sampel (the mean of the sample means) dan simpangan baku rataan sampel (the standard deviation of the sample means). 

Beberapa ketentuan mengenai kurva ini berdasarkan dalil limit pusat adalah: Sebaran rataan sampel akan membentuk suatu kurva mendekati sebaran normal apabila ukuran sampel besar; Sebaran rataan sampel akan membentuk kurva sebaran normal apabila populasi asal memiliki sebaran normal tanpa memperhatikan ukuran sampel; Nilai rataan dari rataan sampel sama dengan rataan populasi; Simpangan baku rataan sampel sama dengan simpangan baku populasi dibagi dengan akar ukuran sampel. Simpangan baku dari x disebut juga sebagai galat baku atau simpangan baku rataan (standard error of the mean) yang disingkat dengan SE. Jadi, apabila diambil satu sampel berukuran besar dari suatu populasi atau berukuran kecil dari suatu populasi yang menyebar normal maka nilai rataan dari sampel tersebut belum tentu sama nilainya dengan rataan populasi tetapi ia berada pada suatu kurva normal dengan rataan sama dengan rataan populasi dan simpang baku SE. Prinsip ini harus betul-betul dipahami dalam menginterpretasikan data agar rataan sampel tidak diartikan sebagai rataan populasi tetapi hanya sebagai penduga rataan populasi. Dalam banyak kasus simpangan baku populasi tidak diketahui sehingga biasanya yang digunakan adalah simpangan baku sampel sebagai pengganti simpangan baku populasi. 

Korelasi Sederhana 
Korelasi (correlation), berasal kata correlate yang artinya berhubungan, merupakan salah satu metode di dalam statistika untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya. Sebagai contoh jika dilakukan pengukuran terhadap bobot lahir bayi dan bobot badan ibunya maka kedua variabel ini dapat dianalisis untuk mengetahui seberapa erat hubungan keduanya. Data yang diperoleh dari pengukuran ini tentunya akan berpasangan, yaitu bobot lahir bayi dan bobot badan ibunya. Jika ditemukan adanya korelasi yang kuat maka orang akan lebih mudah membuat perkiraan kecenderungan bobot lahir seorang bayi hanya dengan mengetahui bobot badan ibunya. Dengan demikian adanya resiko yang diakibatkan oleh bobot lahir seperti bayi yang terlalu berat dapat dihindari lebih awal dengan mempertimbangkan bobot badan ibunya. 

Untuk melihat tingkat keeratan hubungan dua variabel dilakukan melalui analisis korelasi sederhana. Pengumpulan data kedua variabel yang diamati dapat dilakukan dalam dua cara. Pertama, dengan menentukan nilai suatu variabel dan kemudian nilai variabel pasangannya diukur sesuai dengan keadaan yang ada di lapangan. Contohnya, jika seorang peneliti ingin mengetahui pengaruh dosis pupuk terhadap hasil produksi suatu tanaman maka dia dapat membuat perlakuan pemupukan dengan sejumlah dosis yang berbeda. Dosis pupuk yang telah ditentukan ini sebagai nilai variabel pertama. Kemudian hasil produksi tanaman yang diukur di lapangan merupakan nilai variabel kedua. Pasangan nilai yang diperoleh ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat korelasi kedua variabel tersebut. 

Kedua, dengan mengukur nilai kedua variabel dari sampel yang ditentukan secara acak. Misalnya untuk mengetahui korelasi antara bobot lahir bayi dengan bobot badan ibunya sebagaimana dijelaskan dimuka. Pada kasus ini kedua variabel dipilih secara acak. Metode yang paling populer digunakan untuk mengukur tingkat hubungan dua variabel adalah korelasi Pearson atau lengkapnya disebut the Pearson product moment correlation. Nama ini diberikan sebagai penghormatan kepada penemunya Karl Pearson. Syarat digunakan metode ini adalah: Sampel berpasangan sehingga jumlah anggota sampel kedua variabel harus sama; Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala interval atau rasio; Pada suatu nilai variabel x tertentu diperoleh nilai variabel pasangannya (y) yang menyebar secara normal. Begitu juga sebaliknya, pada setiap suatu nilai y tertentu diperoleh nilai x yang menyebar normal. Pembuktian ketentuan ini sangat sulit sehingga untuk lebih memudahkan digunakan saja ketentuan data kedua sampel diambil secara acak dan menyebar secara normal. 

Ukuran yang digunakan untuk menentukan keeratan hubungan dua variabel adalah koefisien korelasi (r). Beberapa catatan berkenaan dengan koefisien korelasi adalah: Nilai r antara -1 sampai dengan 1. Nilai -1 atau 1 menunjukkan adanya tingkat korelasi linier yang sempurna. Semakin mendekati ke nilai 0 berarti tingkat korelasinya semakin rendah. Nilai r yang positif menunjukkan korelasi yang searah artinya semakin tinggi nilai x akan diikuti dengan peningkatan nilai y sehingga membentuk garis yang menanjak. Sebaliknya nilai r yang negatif menggambarkan peningkatan nilai x akan diikuti dengan penurunan nilai y sehingga membentuk garis menurun. 

Untuk diperhatikan bahwa: Bentuk korelasi yang diukur dengan rumus ini adalah korelasi linier. Artinya untuk melihat hubungan linier antara dua variabel. Jika terdapat nilai korelasi yang tinggi maka titik-titik koordinat pasangan anggota variabel x dan y akan membentuk garis linier (lurus) sempurna. Dengan demikian rendahnya nilai r tidak dapat mengatakan bahwa kedua variabel tidak mempunyai hubungan sama sekali karena yang dinilai hanya korelasi liniernya. Bisa jadi kedua variabel mempunyai korelasi yang tinggi dalam bentuk tidak linier seperti kuadratik atau logaritmik, yang membentuk kurva garis tidak lurus. Korelasi hanya memperlihatkan gejala kuantitatif hubungan dua variabel tetapi tidak menjelaskan apakah kedua variabel mempunyai hubungan sebab akibat. Sebagai contoh ditemui adanya korelasi positif antara jumlah kendaraan bermotor dengan tingkat pendidikan di suatu wilayah. Artinya, terdapat gejala bahwa semakin banyak kendaraan bermotor di suatu wilayah maka tingkat pendidikan masyarakat di wilayah tersebut cenderung akan semakin tinggi. Tetapi hasil ini tidak dapat menjelaskan apakah tingkat pendidikan yang tinggi betul-betul disebabkan oleh banyaknya kendaraan bermotor atau sebaliknya. Penjelasan mengenai hal tersebut harus dilakukan melalui pendekatatan teoritis keilmuan lainnya, tidak dapat semata-mata hanya menggunakan hasil analisis statistika. Nilai r hanya mencerminkan korelasi dua variabel pada tingkat sampel (statistik) sehingga diperlukan uji lanjut untuk mengetahui apakan korelasi sampel tersebut juga berlaku pada tingkat populasi. 

Regresi Linier Sederhana 
Pada analisis korelasi diperoleh gambaran mengenai keeratan antara dua variabel. Jika hubungan antara kedua variabel tersebut sangat erat (nilai r mendekati 1atau -1) maka titik ordinat pasangan anggota kedua variabel akan berada di sekitar suatu garis lurus, yang disebut garis regresi. Sebagaimana diketahui bahwa dari suatu garis dapat dibuat rumusan matematisnya yang disebut sebagai persamaan regresi. Pada regresi linier dengan dua variabel akan membentuk persamaan umum: 
Y = b0 + b1X + e 
Y = nilai variabel terikat (dependent variable) atau variabel yang ditentukan 
X = nilai variabel bebas (independent variable) atau variabel yang menentukan 
b0 = bilangan tetap (konstanta) yang disebut juga dengan intersep (intercept) 
b1 = bilangan tetap (konstanta) yang disebut juga dengan slop (slope) 
e = galat (error) 

Intersep merupakan titik perpotongan antara garis regresi dengan sumbu Y. Apabila nilai X = 0 maka Y = b0 (intersep). Jadi pada keadaan X tidak memberikan kontribusi terhadap persamaan regresi maka nilai rataan Y sama dengan intersep. Nilai ini tidak selalu memberikan makna yang penting karena tidak semua persamaan regresi mencakup nilai X = 0 di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa garis regresi tersebut tidak pernah menyentuh sumbuh Y. 

Galat atau error jangan diartikan sebagai kesalahan. Yang lebih tepat diartikan sebagai faktor yang mungkin mempengaruhi variabel terikat (Y) tetapi tidak teramati didalam penenelitian. Semakin kecil galat yang diperoleh berarti kemampuan variabel bebas untuk menduga variabel terikat semakin baik. 

Kata slop (slope) atau koefisien regresi yang dilambangkan dengan b1 dapat diartikan sebagai sudut atau kecuraman. Nilai b1 ini mencerminkan kecuraman dari garis regresi yang terbentuk. Artinya perubahan nilai x sebesar satu unit akan mengakibatkan berubahnya nilai y sebesar b1 unit. Semakin besar nilai b1 maka garis yang terbentuk semakin curam. Jika nilai b1 = 0 maka berapapun nilai x tidak mengubah nilai y sehingga garis regresi yang terbentuk akan mendatar sejajar dengan sumbu x. Sedangkan nilai b1 = 1 atau b1 = -1 akan membentuk garis dengan sudut siku-siku (900). Apabila nilai b1 positif menunjukkan bahwa garis regresi yang terbentuk akan menanjak ke kanan, sedangkan nilai b1 negatif akan membentuk garis regresi yang menanjak ke kiri. 

Persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan analisis regresi ini sama dengan persyaratan pada analisis korelasi. Hanya saja pada persamaan regresi variabel dibagi menjadi dua yaitu variabel bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Variabel bebas mencerminkan variabel yang dapat dikontrol dan mudah diketahui nilainya, yang didalam persamaan regresi diberi simbol X. Dengan demikian nilai variabel bebas ini dapat ditentukan terlebih dahulu atau dipilih secara acak. Sedangkan variabel terikat (Y) mencerminkan respon atau akibat dari variabel bebas sehingga nilai variable ini harus acak. 

Pada analisis regresi biasanya juga dihitung koefisien determinasinya yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi. Pengertian tentang koefisien determinasi (R2) hendaknya dipahami sebagai kemampuan variabel bebas untuk menjelaskan adanya variasi dari variabel terikat. Kata “menjelaskan” disini memberikan pengertian bahwa apabila diperoleh nilai R2 misalnya sebesar 0,80 maka dengan menggunakan nilai variabel bebas (X) dapat diketahui 80% dari nilai variabel terikat (Y). Sedangkan sisanya yaitu 20% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dijadikan sebagai variabel bebas. Koefisien determinasi ini sering disalah artikan sebagai “faktor yang menentukan” nilai variabel terikat, sehingga R2 = 0,80 seolah-olah menyatakan bahwa 80% dari nilai variabel terikat ditentukan oleh variabel bebas. Pemahaman seperti ini cenderung menyesatkan karena koefisien determinasi, seperti halnya koefisien korelasi, tidak mencerminkan prinsip sebab akibat. 


Statistika Non Parametrik 
Statistika non parametrik merupakan salah satu alternatif analisis data apabila data tersebut tidak layak dianalisis dengan menggunakan statistika parametrik. Berikut ini ditunjuk sejumlah contoh metode statistika non parametrik. Uji c2 (Chi Square) banyak digunakan dalam statistika nonparametrik. Salah satu kegunaan dari metode ini adalah untuk menguji tingkat kesesuaian suatu data yang diukur dengan skala nominal atau ordinal dengan nilai harapan tertentu. Uji Wilcoxon atau lengkapnya disebut dengan Wilcoxon Signed Rank Tests merupakan salah satu metode statistika nonparametrik untuk menguji perbedaan dua populasi dari dua sampel berpasangan. Kata Signed Rank Tests pada uji ini menunjukkan bahwa analisis data dilakukan hanya dengan membuat peringkat (rank) dari selisih data kedua sampel yang diuji. 

Uji Mann-Whitney. Metode ini dipergunakan untuk menguji perbedaan dua populasi dari dua sampel tidak berpasangan (independent). 

Uji Kolmogorov – Smirnov. Metode ini mirip dengan Mann-Whitney yang dipergunakan untuk menguji perbedaan dua populasi dari dua sampel tidak berpasangan (independent) . 

Korelasi Spearman atau lengkapnya disebut Spearman’ rank correlation merupakan salah satu metode untuk menentukan tingkat korelasi pada data yang tidak memenuhi persyaratan untuk diolah dengan metode parametrik seperti Korelasi Pearson. 




Memperkuat Peran Penyuluh Pertanian

Peran penyuluh sangat vital dalam mendampingi petani guna memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan usahatani mereka. Hal ini disebabkan karena petani kita umumnya merupakan petani kecil dan bermukim di pedesaan yang memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi, modal, pasar dan sarana produksi. Oleh karena itu penyuluhlah yang diharapkan dapat menjadi narasumber sekaligus sebagai motivator bagi petani dalam melakukan berbagai terobosan guna mengatasi keterbatasan tersebut. 

Pada era tahun 1980-an peran penyuluh, yang disebut sebagai penyuluh pertanian, terasa sangat menonjol terutama dalam mengintroduksi berbagai teknologi untuk peningkatan produktivitas pertanian. Introduksi teknologi berupa penggunaan pupuk, benih unggul dan pestisida menjadi hal yang sangat dirasakan manfaatnya oleh petani. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada masa itu petani belum banyak mengenal teknologi tersebut. Apalagi introduksi teknologi ini juga disertai dengan penyediaan sarana produksi yang dilakukan secara tersentralisasi melalui program yang dikenal dengan Bimas (Bimbingan Massal). 

Program Bimas menjadi salah satu tonggak sejarah perkembangan penyuluhan pertanian di Indonesia. Melalui program ini, penyuluh pertanian telah diperankan sebagai ujung tombak dalam penerapan teknologi pertanian melalui pendekatan dipaksa, terpaksa dan terbiasa. Petani tidak diberikan pilihan dalam melakukan usahatani mereka kecuali harus melaksanakan paket program intensifikasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu hasil dari program ini adalah tercapainya swasembada beras nasional pada tahun 1984. Tak pelak lagi, pada masa itu penyuluhan pertanian menjadi bagian tidak terpisahkan dari berbagai program pembangunan pertanian. 

Perubahan Paradigma 
Perubahan tatanan sosial masyarakat yang didorong oleh reformasi politik, liberalisasi ekonomi dan keterbukaan informasi telah membawa berbagai perubahan cara pandang masyarakat terhadap penyuluhan. Kalau dahulu petani bisa dipaksa untuk ikut serta dalam suatu program pemerintah, pada era reformasi ini mereka merasa mempunyai hak untuk memilih program yang dianggap paling menguntungkan. Oleh karena itu penyuluh tidak bisa lagi menerapkan pendekatan dipaksa, terpaksa dan terbiasa tetapi harus lebih menonjolkan pendekatan partisipatif. 

Keterbukaan informasi telah memberikan kesempatan bagi petani untuk dapat mengakses informasi teknologi melalui berbagai media massa. Dengan demikian penyuluh tidak lagi menjadi satu-satunya narasumber bagi petani dalam mendapatkan informasi mengenai teknologi baru. Yang seringkali menjadi hambatan petani adalah bagaimana cara mendapatkan sarana produksi agar teknologi baru tersebut dapat diterapkan dengan mudah. Oleh karena itu peran penyuluh yang diharapkan petani adalah membantu mereka dalam memperoleh akses untuk mendapatkan sarana produksi yang dibutuhkan. Sistem perekonomian yang semakin liberal seringkali memunculkan mekanisme pasar yang kurang menguntungkan bagi petani. 

Dengan keterbatasan modal dan jejaring pemasaran menjadikan petani tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat dalam melakukan negosiasi dengan perusahaan penjual sarana produksi dan pembeli hasil produksi pertanian. Pada kondisi seperti ini maka peran penyuluh yang paling diharapkan petani adalah sebagai pembina dalam memperkuat posisi tawar mereka melalui pembentukan lembaga kerjasama ekonomi seperti kelompoktani dan koperasi. Berbagai perubahan tantanan sosial yang dicontohkan diatas tentunya membutuhkan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Perubahan tersebut mencakup berbagai aspek antara lain dari pendekatan top-down ke pendekatan partisipatif; dari materi penyuluhan tentang budidaya pertanian ke materi tentang agribisnis serta dari tujuan utama untuk meningkatkan produktivitas usahatani ke meningkatkan kesejahteraan petani. Perubahan paradigma ini tentunya menuntut adanya kemampuan para penyuluh dalam melaksanakan tugas sehari-harinya sesuai dengan kebutuhan dan cara pandang masyarakat. 

UU SP3K 
Guna menyikapi perubahan paradigma penyuluhan serta mendukung penyelenggaraan otonomi daerah maka diterbitkan Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Melalui undang-undang ini diatur sejumlah aspek berkaitan dengan sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan; yang selanjutnya disebut dengan sistem penyuluhan saja. Dengan demikian maka tidak ada lagi istilah penyuluh pertanian, penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan; semua disebut sebagai penyuluh. 

Pada UU SP3K ini penyuluhan didefinisikan sebagai proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. 

Dari definisi diatas perlu digarisbawahi dua hal penting berkenaan dengan penyelenggaraan penyuluhan. Pertama, sasaran penyuluhan tidak hanya petani; pekebun; nelayan dan pembudidaya ikan, yang disebut sebagai pelaku utama, tetapi juga stakeholders lain yang terkait dengan agribisnis; yang disebut dengan pelaku usaha. Kedua, tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha dalam menjalankan agribisnis mereka. Pentingnya keterlibatan pelaku usaha dalam penyelenggaraan penyuluhan merupakan jawaban atas berbagai permasalahan yang selama ini ditemui dalam usahatani, dimana aktivitas yang berada di luar budidaya atau off-farm justru sering menjadi penghambat (bottleneck). Konsekuensinya, seorang penyuluh tidak saja harus mampu berinteraksi dengan pelaku utama tetapi juga dengan pelaku usaha, seperti pedagang perantara dan penyedia sarana produksi, serta memfasilitasi terbangunnya jejaring kerjasama yang harmonis antara kedua kelompok tersebut. 

Mendorong terciptanya kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha agar mampu menolong dan mengorganisasikan diri mereka merupakan tujuan utama penyuluhan. Disini jelas ditekankan bahwa peran seorang penyuluh adalah sebagai motivator guna mengajak petani agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya yang mereka miliki secara optimal. Dengan demikian maka keterampilan utama yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh adalah kemampuan untuk memotivasi orang, bukan keterampilan teknis pertanian. Oleh karena itu ilmu yang harus betul-betul dikuasai oleh seorang penyuluh adalah ilmu penyuluhan. 

Memperkuat Peran 
Akhir-akhir ini penyuluh sering menjadi sasaran kritik berbagai pihak karena dianggap tidak lagi mampu berperan sebagai ujung tombak pembangunan pertanian sebagaimana yang dahulu pernah mereka lakukan. Tidak sedikit yang menuduh bahwa lemahnya peran penyuluh ini disebabkan oleh adanya desentralisasi penyuluhan akibat dari otonomi daerah. Namun, jika kita perhatikan bagaimana penyuluhan saat ini diselenggarakan maka kita dapat melihat bahwa permasalahan itu lebih banyak disebabkan karena penyelenggaraan penyuluhan umumnya masih menggunakan paradigma lama. 

Paling tidak ada dua hal penting dalam penyelenggaraan penyuluhan yang masih menggunakan paradigma lama. Pertama, penyuluh bekerja hanya untuk mendukung program pemerintah. Kedua, materi penyuluhan hanya tertuju pada transfer teknologi. Untuk memperkuat peran penyuluhan kedepan kiranya perlu dilakukan perbaikan terhadap pola penyuluhan yang umumnya masih diterapkan oleh sebagian besar penyuluh yang ada saat ini. 

Dahulu, aktivitas penyuluhan merupakan bagian dari program pemerintah seperti intensifikasi pertanian, yang biasanya dilengkapi dengan penyediaan sarana produksi serta penunjang penyuluhan yang dibutuhkan seperti demplot. Jika tidak ada program pemerintah di suatu wilayah, seolah-olah penyuluh tidak ada pekerjaan. Padahal, penyuluhan seharusnya bekerja untuk pelaku utama dan pelaku usaha, bukan untuk program pemerintah. Selagi kelompok sasaran tersebut memiliki masalah dalam menjalankan usahataninya maka disitu dibutuhkan penyuluh dan tugas penyuluhlah mendampingi mereka untuk memecahkan masalah tersebut. 

Transfer teknologi hanya salah satu aspek saja dalam proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha. Sumber informasi teknologi tidak selalu harus berasal dari penyuluh, dapat juga dari sumber lain seperti peneliti atau sesama petani. Dengan demikian maka seorang penyuluh tidak harus menguasai semua teknologi yang dibutuhkan oleh pelaku utama dan pelaku usaha tetapi berperan untuk membantu mereka mengakses informasi teknologi tersebut. Jadi seorang penyuluh seharusnya tidak berperan sebagai pengajar tetapi bersama pelaku utama dan pelaku usaha melakukan analisis masalah dan potensi sumberdaya serta merancang berbagai kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut.

Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat

 Kemiskinan masih menjadi salah satu permasalahan sosial yang sangat penting di negara kita sehingga penurunan angka kemiskinan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Indikator keberhasilan pembangunan suatu negara yang paling umum digunakan adalah HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia), dimana tingkat kemiskinan menjadi faktor penentu dominan dalam perhitungan angka ini. 

Ada tiga unsur utama penentu IPM yaitu tingkat pendidikan, derajat kesehatan dan tingkat pendapatan. Namun, dapat dipastikan tingkat pendapatan yang rendah, sebagai wujud lain dari kemiskinan, akan memberikan imbas yang sangat nyata terhadap rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang imemadai. Dengan demikian maka peningkatan IPM sangat identik dengan upaya pemberantasan kemiskinan. Berbagai program pembangunan yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan telah diluncurkan oleh pemerintah. Sungguhpun keberadaan program ini sudah dirasakan manfaatnya tetapi kecepatan penurunan angka kemiskinan masih perlu dipacu guna mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi yang semakin kencang. Jika tidak maka akan terjadi kesenjangan kesejahteraan yang semakin lebar antara golongan masyarakat berpenghasilan tinggi (kaya) dengan berpenghasilan rendah (miskin), yang akan memberikan dampak negatif terhadap berbagai aspek sosial kemasyarakatan. Untuk itu upaya mempercepat penurunan angka kemiskinan menjadi sangat strategis sebagai prasyarat untuk menghindari munculya berbagai gejolak sosial di tengah masyarakat. Upaya ini menuntut semua pihak, termasuk pemerintah, agar lebih berpihak kepada masyarakat miskin sehingga kelompok masyarakat ini memiliki kesempatan yang sama dalam menikmati pertumbuhan ekonomi yang terjadi. 

Keberpihakan kepada kelompok masyarakat tertentu merupakan suatu strategi yang umum diterapkan oleh pemerintah guna melindungan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Hampir semua negara menerapkan strategi ini dengan berbagai bentuk. Langkah ini disebut sebagai upaya affirmatif (affirmative action). Penyaluran beras miskin, bantuan uang tunai dan berobat gratis yang ditujukan untuk masyarakat miskin merupakan bentuk-bentuk upaya affirmatif. Namun, upaya semacam ini belum sepenuhnya dapat memecahkan masalah kemiskinan yang sesungguhnya karena akar masalah penyebab kemiskinan itu sendiri belum terjawab dengan cara tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu langkah affirmatif yang mampu mendorong masyarakat miskin untuk mengembangkan aktivitas ekonomi sehingga secara berkelanjutan dapat meningkatan pendapatan mereka. 

Pengembangan suatu aktivitas ekonomi tentunya memerlukan sejumlah persyaratan seperti penyediaan modal usaha, kemampuan teknis serta dukungan lingkungan sosial yang kondusif. Oleh karena itu maka upaya affirmatif untuk mengembangkan aktivitas ekonomi masyarakat miskin harus dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi persyaratan dimaksud. Rangkaian kegiatan inilah yang dikenal dengan pemberdayaan masyarakat. Melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat diharapkan kelompok masyarakat miskin akan mendapatkan kesempatan berusaha yang lebih memadai guna meningkatkan pendapatan mereka. Pemberdayaan masyarakat miskin memerlukan suatu kerja yang terkoordinasi dan bertahap, mengingat upaya ini menyangkut berbagai aspek yang saling terkait seperti SDM, kelembagaan dan infrastruktur pendukung. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kemiskinan seringkali disebabkan oleh "miskinnya" pola pikir suatu kelompok masyarakat untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Selain itu kemiskinan dapat juga disebabkan oleh kondisi geografis yang kurang menguntungkan sehingga kelompok masyarakat tertentu tidak mendapat akses pelayanan dasar dan akses pasar yang memadai. Untuk menciptakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat miskin yang tepat sasaran, terpadu dan berkelanjutan di Provinsi Jambi maka telah dikeluarkan Peraturan Daerah nomor 7 tahun 2012 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemberdayaan Masyarakat. 

Perda Provinsi Jambi nomor 7 tahun 2012 merupakan salah satu upaya affirmatif pemerintahan daerah dalam penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Melalui Perda ini diharapkan akan tercipta kesamaan pandang semua stakeholders tentang pemberdayaan masyarakat, dimana pemerintah berperan sebagai stimulator, fasilitator, mediator dan regulator pemberdayaan masyarakat. Ini menyiratkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab bersama, termasuk warga masyarakat itu sendiri. 

Pemberdayaan masyarakat hendaknya dilakukan secara terpadu agar berbagai program pemberdayaan masyarakat, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta dan masyarakat, dapat saling mengisi. Dengan demikian maka tumpang tindih dalam penyelenggarakan pemberdayaan masyarakat dapat dihindari. Guna mendukung prinsip ini maka dibutuhkan suatu lembaga yang bertugas dalam memadukan berbagai program pemberdayaan masyarakat, mulai dari proses perencanaan sampai ke evaluasi. Lembaga tersebut adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat, yang berada pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam mendukung fungsinya, lembaga ini akan menyusun sejumlah acuan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di wilayah kerjanya sehingga semua stakeholders terkait dapat melaksanakan kegiatannya secara terpadu. 

Selain itu penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat hendaknya menggunakan prinsip partisipatif, yaitu melibatkan kelompok sasaran dalam setiap tahapan kegiatan. Tahapan perencanaan merupakan titik awal dari program pemberdayaan masyarakat yang sangat membutuhkan partisipasi kelompok sasaran. Melalui mekanisme perencanaan yang partisipatif diharapkan akan tersusun program yang betul-betul dibutuhkan oleh kelompok sasaran. Kemudian partisipasi ini berlanjut pada tahap implementasi, pemantauan dan evaluasi. Penerapan prinsip ini tentunya tidak mudah mengingat kelompok sasaran, terutama masyarakat miskin, mempunyai berbagai keterbatasan dalam menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena itu pemrakarsa pemberdayaan masyarakat harus memahami betul tatacara mendorong kelompok sasaran untuk berpartisipasi dalam program yang diluncurkan.

 Kegiatan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran. Kegiatan dimaksud dapat berupa pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan manajerial kelompok sasaran. Selain itu dapat juga disertai dengan penyediaan modal guna pengembangan usaha. Pembangunan sarana umum seperti jalan, sekolah dan pelayanan kesehatan merupakan kegiatan yang seringkali harus dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa sarana ini hendaknya dapat diakses oleh kelompok sasaran. Oleh karena itu kajian awal terhadap dampak pembangunan sarana umum perlu dilaksanakan agar program yang diluncurkan betul-betul berpihak kepada masyarakat miskin sehingga dapat berperan sebagai upaya affirmatif dalam penaggulangan kemiskinan (Artikel ini telah dipublikasikan pada harian Jambi Independent tanggal 28 Februari 2013)

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah