ABSTRAK
Pemanfaatan jerami
padi sebagai pupuk organik dengan menggunakan bioaktivator Trichoderma sp, yang dikenal dengan
Trichokompos, telah
diintroduksi kepada petani di Provinsi Jambi sejak tahun 2004. Namun, sampai
dengan akhir tahun 2009 baru 3% petani padi yang menerapkan teknologi ini.
Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui permasalahan
yang dihadapi petani dalam penerapannya.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei
pada bulan Juni 2010 di
lima kabupaten yang telah diintroduksi teknologi Trichokompos di Provinsi Jambi, yaitu Kabupaten Kerinci, Bungo,
Sarolangun, Merangin dan Tanjung Jabung Barat.
Responden penelitian ini terdiri dari 75 orang petani yang menerapkan
dan 61 petani yang belum atau tidak lagi menerapkan teknologi Trichokompos. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komponen teknologi yang paling sulit diterapkan petani adalah
“mencacah
jerami”. Kendala utama yang dihadapi sehingga
petani tidak menerapkan teknologi Trichokompos adalah “tidak memiliki cukup waktu dan tenaga
kerja” serta “kurangnya
sosialisasi penerapan teknologi Trichokompos”.
Guna penyebarluasan teknologi Trichokompos selanjutnya maka perlu diintroduksi metode pembuatan yang lebih sederhana
yaitu tanpa pencacahan disertai pelaksanaan sosialisasi yang
lebih terarah dan terintegrasi.
Kata
kunci: respon
petani, Trichokompos, jerami padi
PENDAHULUAN
Pemerintah
Provinsi Jambi telah membuat kebijakan untuk mendorong pemanfaatan pupuk organik sebagai salah satu
alternatif pengurangan kebergantungan petani terhadap pupuk kimia. Hal ini dipertegas dengan arahan
Gubernur Jambi bahwa pada tahun 2010 seluruh petani di Provinsi Jambi
diharapkan sudah menggunakan pupuk organik.
Salah satu jenis pupuk organik yang telah disosialisasikan adalah
Trichokompos, yang dibuat dari bahan dasar jerami dengan menggunakan bioaktivator
jamur Trichoderma sp (Jambi Star,
2009). Penggunaan bahan dasar jerami sebagai pupuk organik memiliki manfaat
ganda. Selain sebagai sumber pupuk guna
mensubstitusi pupuk kimia, juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan yang
disebabkan oleh pembakaran jerami,
yang umumnya dilakukan oleh petani untuk menyingkirkan jerami padi dari areal
pertanaman.
Penyebaran teknologi Trichokompos
berbahan dasar jerami telah dilakukan sejak tahun 2004 melalui berbagai kegiatan ke seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Jambi, baik oleh instansi teknis tingkat
kabupaten/kota maupun tingkat provinsi.
Pada tingkat provinsi, penyebaran teknologi dilaksanakan oleh Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jambi, yang operasionalnya dilakukan oleh
BPTPH (Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura). Pada tahun 2009, teknologi ini telah diterapkan pada
areal pertanaman padi seluas 4.781
hektar (BPTPH Jambi,
2010). Angka ini tentunya masih relatif kecil, sekitar 3% dari luas areal sawah yang
ada di Provinsi Jambi. Oleh karena itu
perlu upaya percepatan penyebaran teknologi ini agar petani dapat memperoleh manfaat optimal dari
usahatani mereka melalui penerapan teknologi Trichokompos. Sebagai bahan
pertimbangan dalam upaya percepatan penyebaran teknologi ini, dilakukan kajian mengenai respon petani
terhadap penerapan teknologi Trichokompos yang telah disebarluaskan selama ini.
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui permasalahan yang ada di lapangan dalam penerapan teknologi
pupuk organik berbahan dasar jerami padi dengan menggunakan bioaktivator Trichoderma sp. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi:
a. Komponen teknologi yang dirasakan sulit
dilakukan oleh petani dalam penerapan teknologi Trichokompos.
b. Persepsi petani padi tentang teknologi
Trichokompos berbahan dasar jerami.
c. Permasalahan dan kendala yang dihadapi
petani dalam
menerapkan teknologi Trichokompos.
METODOLOGI
Kerangka Pikir
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi petani dalam
menerapkan teknologi pupuk organik Trichokompos. Oleh karena itu objek utama penelitian ini adalah petani yang
sudah mengetahui teknologi Trichokompos, baik yang telah menerapkan maupun yang
belum dan tidak lagi menerapkan teknologi
ini. Untuk itu maka penelitian
akan difokuskan pada wilayah yang sudah dilaksanakan pemasyarakatan teknologi
Trichokompos. Karena cakupan wilayah
penelitian ini cukup luas maka pengumpulan data dilakukan melalui survei terhadap petani di sejumlah wilayah
yang telah diintroduksikan
teknologi Trichokompos.
Dalam upaya penyebarluasan suatu
teknologi perlu diketahui tentang alasan petani yang belum atau tidak lagi
menerapkan teknologi ini. Alasan petani
tidak menerapkan teknologi disebabkan
antara lain oleh persepsi petani yang kurang baik tentang teknologi
tersebut atau mereka mempunyai kendala tertentu dalam penerapannya. Untuk itu
perlu dikumpulkan informasi dari petani yang telah mengetahui teknologi
Trichokompos mengenai persepsi mereka tentang teknologi tersebut serta kendala
yang mereka hadapi untuk menerapkan teknologi ini. Dengan membandingkan tingkat persepsi antara
petani yang telah menerapkan teknologi Trichokompos dengan petani yang tidak
menerapkan maka dapat dirumuskan metode sosialisasi yang lebih tepat guna
meluruskan persepsi petani dalam menerapkan teknologi ini selanjutnya.
Teknik Pengumpulan Data
Data
penelitian ini dikumpulkan di lima wilayah yaitu Kabupaten Kerinci, Kabupaten
Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tanjung Jabung
Barat. Responden penelitian adalah
petani padi yang berada pada lokasi binaan BPTPH Provinsi Jambi dalam
penyebarluasan teknologi Trichokompos.
Responden dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu:
(1)
Petani yang menerapkan teknologi
Trichokompos yaitu petani yang pada saat penelitian menerapkan teknologi
Trichokompos dengan bahan dasar jerami untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik
pada areal pertanaman padi mereka.
(2)
Petani yang tidak menerapkan teknologi
Trichokompos yaitu petani yang sudah mengetahui tentang teknologi Trichokompos
tetapi belum menerapkan teknologi ini atau pernah penerapkannya tetapi pada
saat penelitian tidak lagi menerapkannya.
Pengumpulan
data dilakukan pada bulan Juni 2010 melalui wawancara dengan responden di
kediaman atau lahan usaha petani. Responden ditentukan dengan menggunakan teknik
Aksidental (Faisal, 2003). Petugas
pengumpul data mendatangi lokasi penelitian dan menetapkan petani yang memenuhi
persyaratan yang bertepatan ditemui saat pengumpulan data untuk dijadikan
responden. Di setiap lokasi penelitian
dikumpulkan data responden untuk petani yang menerapkan dan tidak menerapkan
teknologi Trichokompos masing-masing sebanyak 15 petani. Teknik ini digunakan mengingat kerangka
sampel penelitian tidak diketahui secara jelas serta untuk mengatasi kesulitan
dalam menemui petani.
Pengumpulan
data tentang komponen teknologi yang dirasakan sulit oleh petani dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan hanya kepada responden yang menerapkan teknologi
Trichokompos. Pertanyaan yang diajukan
mencakup sembilan komponen teknologi pembuatan Trichokompos yaitu: (1) mendapatkan agen hayati; (2) mendapatkan kotoran ternak; (3) mendapatkan plastik penutup; (4) mengumpulkan jerami; (5) mencacah jerami; (6) menumpuk bahan kompos; (7) membalik kompos; (8) membongkar kompos; dan (9) menebar kompos. Responden memberikan
jawaban dalam model skala Likers dengan nilai antara 1 sampai dengan 5. Nilai 1 menunjukkan komponen teknologi
tersebut “sangat
kurang sulit”, sedangkan nilai 5 menunjukkan bahwa
komponen teknologi tersebut “sangat
sulit” dilakukan oleh responden.
Untuk mengetahui persepsi petani tentang penerapan
teknologi Trichokompos dilakukan dengan mengajukan delapan pernyataan kepada
responden. Jawaban responden terhadap
pernyataan dibuat dalam bentuk skala Likert dengan lima pilihan yaitu: tidak setuju, kurang setuju, tidak tahu atau ragu-ragu, setuju dan sangat setuju.
Pernyataan yang diajukan kepada responden mencakup dimensi mendukung (favourable) dan tidak mendukung (unfavourable) terhadap penerapan teknologi Trichokompos
secara seimbang (Suryabrata, 1998).
Untuk pernyataan yang memiliki dimensi mendukung maka jawaban “tidak setuju” diberi nilai 1 sedangkan jawaban “sangat setuju” diberi nilai 5, sedangkan untuk pernyataan yang memiliki
dimensi tidak mendukung diberi nilai
sebaliknya.
Analisis Data
Untuk
mengetahui komponen teknologi yang sulit diterapkan oleh petani dalam penerapan teknologi Trichokompos, dilakukan pembandingan nilai rataan
tingkat kesulitan. Nilai rataan tingkat
kesulitan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa komponen teknologi yang dimaksud dirasakan lebih sulit
untuk diterapkan oleh responden. Guna
mengetahui adanya perbedaan tingkat kesulitan dari masing-masing komponen
teknologi, dilakukan analisis data dengan menggunakan metode Anova satu
arah. Jika ditemui keberartian yang
nyata dari uji ini,
maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan
guna mengetahui perbedaan rataan tingkat kesulitan masing-masing komponen
teknologi.
Data
mengenai persepsi petani tentang teknologi Trichokompos dianalisis dengan
menggunakan pendekatan pengukuran sikap sebagaimana yang dijelaskan oleh Azwar
(1995). Hasil dari analisis ini
digunakan untuk membandingkan persepsi antara responden yang menerapkan dengan
responden yang tidak menerapkan teknologi Trichokompos. Hasil uji beda nyata
antara butir persepsi kedua kelompok responden akan digunakan untuk mengetahui
komponen penerapan teknologi Trichokompos yang perlu mendapatkan perhatian
dalam penyebarluasan teknologi Trichokompos selanjutnya.
Data
mengenai tingkat kesulitan dan persepsi, yang diperoleh dengan menggunakan
model skala Likert, termasuk ke dalam pengukuran dengan skala ordinal sehingga
hanya dapat diolah dengan menggunakan statistika non parametrik. Agar data yang diperoleh dapat dianalisis
dengan menggunakan statistika parametrik maka dilakukan standarisasi data
dengan menggunakan Methods of Successive
Interval (Waryanto dan Millafati, 2006).
Pengujian validitas dan realibilitas instrumen pengukuran
persepsi dilakukan dengan mengacu pada Ancok (1997). Validitas instrumen diukur dengan menggunakan
model korelasi antara skor dan skor total (item-total
correlation). Butir pernyataan
dianggap valid apabila memiliki korelasi dengan keberartian nyata pada a=0,05.
Sedangkan realibilitas instrumen diukur dengan menggunakan model Alpha Cronbach. Analisis data penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16. Kesimpulan atas hasil analisis data dibuat
dengan mengacu pada Triola (1998).
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Setelah
dilakukan sortasi terhadap data yang dikumpulkan maka didapat 136 respoden yang
datanya memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut. Jumlah responden untuk masing-masing kategori
dan wilayah penelitian disajikan dalam
Tabel
1.
Tabel 1. Sebaran Responden Penelitian
Wilayah
|
Jumlah
Responden
|
|
Menerapkan
|
Tidak
Menerapkan
|
|
a.
Kab. Kerinci
(Kec.
Siulak)
b.
Kab. Merangin
(Kec.
Tabir)
c.
Kab. Sarolangun
(Kec.
Sarolangun)
d.
Kab. Bungo
(Kec.
Bathin III)
e.
Kab. Tanjab Barat
(Kec.
Bt. Asam)
|
16
18
12
15
14
|
10
8
15
14
14
|
Jumlah
|
75
|
61
|
Seluruh
responden penelitian ini adalah petani padi sawah. Luas areal pertanaman padi responden berkisar
antara 0,02 ha
sampai dengan 3,75 ha
dengan
rataan 0,63 ha. Sebagian
besar (61%) pemilikan
lahan responden adalah milik pribadi; 24% adalah lahan sewa atau sebagai
penggarap; dan 15% adalah lahan ganti gilir.
Sistem ganti gilir ditemui di Kabupaten Kerinci, dimana beberapa ahli
waris suatu keluarga menggunakan lahan warisannya secara bergilir setiap musim
tanam. Sebagian besar (54%) areal
pertanaman padi responden memperoleh pengairan irigasi, sedangkan sisanya
merupakan areal persawahan tadah hujan. Mayoritas responden (93%) yang
menerapkan teknologi Trichokompos melakukan usahatani padi sawah dengan IP
(indeks pertanaman) 200 dan sisanya (7%) menerapkan IP 300. Sementara itu, responden yang tidak menerapkan
teknologi Trichokompos, yang
melakukan usahatani padi dengan IP 100
sebanyak 27,5% dan sisanya melakukannya dengan IP 200. Indeks Pertanaman ini penting artinya dalam kaitannya dengan penerapan teknologi
Trichokompos. Petani yang melakukan
usahatani padi dengan IP 100, yaitu menanam padi setahun sekali, umumnya enggan
menerapkan teknologi Trcihokompos karena jerami padi yang disebarkan di areal
persawahan dapat lapuk dengan sendirinya tanpa melalui pembuatan Trichokompos.
Mayoritas
(55%) responden telah menerapkan teknologi Trichokompos selama satu sampai
dengan tiga tahun, sisanya telah
menerapkan lebih dari empat tahun.
Penyebaran teknologi ini di wilayah penelitian tidak saja dilakukan oleh
BPTPH Provinsi Jambi tetapi juga oleh instansi teknis kabupaten setempat. Kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi
teknis kabupaten ini ada juga yang diikuti dengan pemberian bantuan peralatan
seperti mesin pencacah jerami dan plastik penutup. Pada penelitian ini sebagian petani mengaku
masih menggunakan plastik penutup bantuan pemerintah sehingga mereka tidak
merasakan kesulitan dalam penyediaan peralatan ini. Sedangkan BPTPH melakukan
penyebarluasan teknologi Trichokompos melalui Pos IPAH (Informasi dan Pelayanan
Agen Hayati) yang telah dibangun di sejumlah lokasi. Pos IPAH ini selain berfungsi sebagai pusat
kegiatan informasi teknologi Trichokompos juga dilengkapi dengan sarana untuk
melakukan perbanyakan Trichoderma sp
untuk kebutuhan petani di sekitarnya.
Tingkat
Kesulitan
Hasil analisis data yang diperoleh dari
responden yang menerapkan teknologi
Trichokompos tentang tingkat kesulitan masing-masing komponen
teknologi ini disajikan dalam
Tabel
2 dan 3. Dari hasil uji ANOVA yang dilakukan, didapat adanya salah satu komponen
teknologi yang memiliki rataan tingkat kesulitan sangat nyata berbeda dengan
komponen teknologi lainnya. Hal ini diperlihatkan dengan uji F yang menunjukkan
keberartian sangat nyata (Sig.=0,000) pada taraf a=0,01.
Sum of Square
|
df
|
Mean Square
|
F
|
Sig.
|
|
Between Groups
Within Groups
Total
|
80,801
445,85
526,65
|
8
602
610
|
10,10
|
3,637
|
0,00
|
0,741
|
|||||
Dari sembilan komponen teknologi yang ditanyakan kepada
responden didapat bahwa “mendapatkan agen hayati”
berupa Trichoderma sp merupakan komponen
teknologi yang dianggap paling rendah tingkat kesulitannya, dengan
nilai rataan 1,30. Komponen
teknologi ini memiliki tingkat kesulitan yang sangat nyata lebih rendah (a=0,05) dibandingkan dengan komponen teknologi lainnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat
penelitian, kebutuhan petani akan agen hayati masih dibantu oleh pemerintah,
baik melalui Pos IPAH maupun dikirim langsung dari provinsi melalui petugas PHP
(Pengamat Hama Pertanian) setempat.
Penyediaan Trichoderma sp oleh
Pos IPAH ini dilakukan dengan dua cara yaitu: (1) petani menyediakan bahan yang
dibutuhkan kemudian secara bersama melakukan perbanyakan; dan (2) pengurus Pos
IPAH melakukan perbanyakan kemudian petani membeli dari Pos IPAH. Dengan mekanisme tersebut, petani tidak
merasakan kesulitan dalam mendapatkan agen hayati.
Tabel 3. Uji Jarak Duncan Tingkat Kesulitan Penerapan
Teknologi Trichokompos
Komponen
teknologi
|
N
|
Subset for alpha = 0.05
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
a. Mendapatkan agen hayati
|
74
|
1,30
|
||||
b. Membongkar kompos
|
75
|
1,97
|
||||
c. Menebar kompos
|
75
|
1,99
|
||||
d. Mengumpulkan jerami
|
75
|
2,00
|
||||
e. Menumpuk bahan kompos
|
74
|
2,16
|
||||
f. Mendapatkan kotoran ternak
|
75
|
2,25
|
2,25
|
|||
g. Membalik kompos
|
72
|
2,29
|
2,29
|
|||
h. Mendapatkan plastik penutup
|
75
|
2,55
|
||||
i. Mencacah jerami
|
16
|
2,92
|
||||
Sig.
|
1,00
|
0,09
|
0,09
|
1,00
|
||
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
|
Sementara itu komponen teknologi yang mempunyai tingkat
kesulitan tertinggi adalah “mencacah jerami” dengan
rataan nilai 2,92. Nilai ini sangat
nyata lebih tinggi dibandingkan dengan delapan komponen teknologi lainnya pada a=0,05. Hanya saja tidak
semua petani melakukan pencacahan jerami tetapi ditemukan hanya 16
responden petani yang melakukan
pencacahan. Terpilihnya pencacahan
jerami sebagai komponen teknologi yang paling sulit dirasakan petani patut
mendapatkan perhatian. Mengacu pada
petunjuk pembuatan Trichokompos yang disebarluaskan oleh BPTPH Provinsi Jambi (BPTPH, 2009), komponen teknologi pencacahan
jerami tidak termasuk dalam tahapan pembuatan Trichokompos yang
dianjurkan. Dengan demikian berarti ada instansi lain, selain BPTPH Provinsi Jambi, yang telah
menyebarkan teknologi Trichokompos kepada petani di wilayah penelitian dengan
menganjurkan penerapan pencacahan jerami. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Misra
dan Roy (2006) bahwa pencacahan jerami dalam pembuatan Trichokompos berfungsi untuk mempercepat proses
pengomposan. Dilaporkan oleh Cuevas (1993) bahwa penerapan teknologi
Trichokompos di Philipina dilakukan dengan tanpa pencacahan jerami dan menghasilkan kompos yang cukup baik.
Mempertimbangkan kesulitan petani dalam menerapkan suatu teknologi penting artinya dalam
penyebarluasan teknologi tersebut.
Pengalaman Cuevas (1993) menunjukkan bahwa kesulitan petani dalam mendapatkan
bahan baku, seperti
kotoran ternak merupakan salah satu penyebab banyaknya petani yang telah
menerapkan teknologi Trichokompos menjadi berbalik tidak menerapkan lagi. Oleh karena itu diperlukan metode alternatif
agar petani dapat terus menerapkan teknologi anjuran seperti penggantian
kotoran ternak dengan daun kacang-kacangan, walaupun konsekuensinya
memperpanjang waktu pengomposan dari 2,5 menjadi 5 minggu. Wijayanto (2005)
menemukan pengaruh yang nyata antara penilaian petani terhadap sifat teknologi
dengan tingkat adopsi teknologi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Ciri sifat teknologi yang dinilai negatif
oleh petani,
antara lain adalah komponen teknologi
PTT cukup rumit. Rogers dan Shoemaker
(1987) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk proses adopsi sangat bervariasi bergantung pada sifat inovasi yang
mencakup kompleksitas yaitu tingkat kerumitan penerapan inovasi. Untuk
mengatasi kesulitan petani dalam pencacahan jerami maka perlu dipertimbangkan
penerapan teknologi Trichokompos tanpa proses pencacahan jerami. Metode ini sesungguhnya sudah diterapkan oleh
sebagian besar responden, hanya saja tidak diperoleh informasi mengenai
perbedaan kualitas kompos antara yang dibuat dengan pencacahan dengan tanpa
pencacahan jerami.
Persepsi Petani
Hasil analisis validitas delapan butir pernyataan mengenai
persepsi petani tentang teknologi Trichokompos,
didapat bahwa semua butir persepsi dinyatakan valid, yang diperlihatkan oleh
korelasi masing-masing butir dengan total nilai butir yang memiliki keberartian
yang sangat nyata (a =
0,05). Hasil analisis reliabilitas
terhadap delapan butir pernyataan tersebut menghasilkan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,585. Menurut
Nugroho (2005), suatu instrumen penelitian dianggap mempunyai realibilitas yang baik apabila mempunyai
nilai Cronbach’s Alpha > 0,6. Dengan demikian instrumen yang digunakan pada
penelitian belum cukup handal untuk digunakan pada penelitian serupa di tempat
lain.
Tabel
4. Hasil Uji Beda Nyata Persepsi tentang Teknologi Pupuk Organik
Item Pernyataan
|
Rataan Skor
|
Nilai-p
|
|
M
|
T
|
||
a.
Pembuatan pupuk
organik membutuhkan orang yang ahli
b.
Penggunaan pupuk
organik belum tentu meningkatkan produksi padi
c.
Penggunaan pupuk
organik dapat memperbaiki tanah
d.
Jerami padi harus
dikembalikan ke tanah agar tanah tidak menjadi miskin
e.
Penggunaan pupuk
organik dapat mengurangi penyakit tanaman
f.
Pemanfaatan
jerami yang baik adalah dengan dibakar
g.
Penggunaan pupuk
organik dapat mengurangi kebutuhan pupuk kimia
h.
Penggunaan pupuk
organik jerami belum tentu menguntungkan
|
4,19
3,79
3,85
3,75
3,47
4,38
3,72
3,97
|
4,12
3,32
3,45
3,53
3,28
4,27
3,23
3,72
|
0,563
0,005
0,004
0,092
0,153
0,196
0,000
0,120
|
Keseluruhan
|
3,56
|
3,37
|
0,000
|
Catatan:
-
M = Petani yang menerapkan teknologi Trichokompos
-
T = Petani yang tidak menerapkan
teknologi Trichokompos
Penilaian
seseorang terhadap suatu objek diwujudkan dalam bentuk persepsi. Simamora (2008) mendefinisikan persepsi sebagai “suatu
proses dengan mana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan, dan
menginterpretasikan stimuli ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan
menyuluruh”. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan persepsi tentang teknologi Trichokompos
antara petani yang menerapkan
dengan yang tidak menerapkan teknologi ini (a=0,01). Persepsi petani yang menerapkan teknologi Trichokompos lebih baik dibandingkan dengan
petani yang tidak menerapkan. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Hariadi (2006) yang
menemukan bahwa semakin baik persepsi petani tentang pengendalian hama dan
penyakit maka perilaku petani dalam pengendalian hama dan penyakit semakin
baik. Sementara itu, Ritohardoyo (2002)
menemukan hubungan yang kuat antara pengetahuan dengan persepsi. Persepsi
masyarakat terhadap penghijauan mempunyai korelasi jenjang yang sangat erat
(r=0,85) dengan pengetahuan masyarakat tentang penghijauan. Oleh karena itu upaya meningkatkan pengetahuan petani
tentang manfaat teknologi Trichokompos menjadi sangat penting dilakukan agar
persepsi petani tentang teknologi ini dapat meningkat sehingga akan mempercepat
adopsi teknologi ini.
Dengan
cara membandingkan antara persepsi
responden yang menerapkan dan tidak menerapkan teknologi Trichokompos, didapat tiga butir pernyataan persepsi
yang memiliki perbedaan sangat nyata (nilai-p<0,01) yaitu butir (b); (c) dan
(g). Terhadap ketiga butir persepsi ini
didapat bahwa responden yang tidak menerapkan teknologi Trichokompos memiliki
nilai persepsi yang lebih rendah
dibandingkan dengan persepsi responden yang menerapkan teknologi ini. Hal ini memberikan gambaran bahwa petani yang
tidak menerapkan teknologi Trichokompos cenderung memiliki pengetahuan yang
lebih rendah berkenaan ketiga aspek tersebut.
Guna penyebarluasan teknologi Trichokompos, materi sosialisasi yang berkaitan
dengan ketiga aspek tersebut perlu
mendapatkan perhatian.
Kendala
Penerapan
Terhadap
responden yang tidak menerapkan teknologi Trichokompos, ditanyakan kendala utama yang mereka
hadapi sehingga tidak menerapkan teknologi ini.
Dari rangkuman jawaban petani tersebut didapat jawaban sebagai berikut:
a.
Tidak memiliki cukup waktu dan tenaga
kerja (30%)
b.
Masih kurang sosialisasi tentang
penerapan teknologi Trichokompos (23%)
c.
Sulit mendapatkan agen hayati (19%)
d.
Sulit mendapatkan kotoran ternak (15%)
e.
Sulit mencacah jerami (7%)
f.
Penanaman padi setahun sekali (4%)
g.
Lain-lain (2%)
Kendala
petani “tidak
memiliki cukup waktu dan tenaga kerja” sesungguhnya bukan merupakan jawaban
yang realistis. Jika dilihat dari indeks
ketersediaan tenaga kerja keluarga per-luasan areal pertanaman, ternyata tidak
ditemukan perbedaan yang nyata antara petani yang menerapkan dengan tidak
menerapkan teknologi Trichokompos. Oleh
karena itu alasan yang disampaikan petani ini cenderung lebih disebabkan oleh
persepsi petani yang masih kurang baik tentang teknologi Trcihokompos sehingga
ada keengganan petani untuk menyediakan tenaga kerja keluarga mereka dalam
pembuatan Trichokompos. Hal ini
diperkuat dengan kendala yang memiliki tingkat kepentingan peringkat kedua yaitu
“masih kurangnya
sosialisasi tentang penerapan teknologi Trichokompos”. Kurangnya sosialisasi ini memberikan gambaran
bahwa petani yang tidak menerapkan teknologi ini masih memerlukan dorongan dari
pihak lain untuk lebih meyakinkan mereka tentang manfaat dan metode penerapan
teknologi Trichokompos.
Kendala
dalam mendapatkan agen hayati umumnya ditemui pada petani yang kurang aktif di
dalam kelompoktani setempat sehingga tidak mendapatkan informasi yang jelas
mengenai tatacara memperoleh agen hayati.
Sejauh ini BPTPH Provinsi Jambi selalu menyediakan agen hayati yang
dibutuhkan, baik melalui Pos IPAH ataupun didistribusi melalui PHP
setempat. Kendala dalam mendapatkan kotoran ternak
umumnya ditemui pada petani yang tidak memiliki ternak. Pada responden yang menerapkan teknologi ini tidak
teridentifikasi adanya kesulitan dalam mendapatkan kotoran ternak karena
sebagian besar petani memiliki ternak.
Strategi dan Langkah Pengembangan
Upaya pengembangan teknologi Trichokompos bagi petani
padi sawah di Provinsi Jambi perlu dilakukan melalui penyebarluasan metode yang
lebih sederhana. Dari penelitian didapat
bahwa pencacahan jerami merupakan komponen teknologi yang dirasakan paling
sulit oleh petani. Oleh karena itu
strategi utama yang perlu diterapkan dalam penyebaran teknologi Trichokompos
adalah pengembangan metode pembuatan Trichokompos dengan tanpa pencacahan
jerami. Untuk itu perlu kajian lebih
lanjut untuk mendukung penerapannya guna mengetahui beberapa aspek yang
berkaitan dengan proses pengimposan seperti lama waktu pengomposan yang
terbaik, dosis bioaktivator serta penggunaan bahan pencampur yang dapat
mempercepat proses pengomposan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Misra dan Roy (2006)
bahwa pencacahan jerami dalam pembuatan Trichokompos berfungsi untuk mempercepat proses
pengomposan. Penggunaan bahan pencampur berupa kotoran
ternak yang selama ini direkomendasikan perlu dipertimbangkan, terutama pada petani
yang tidak memiliki ternak. Salah satu metode alternatif pembuatan
Trichokompos tanpa kotoran ternak adalah dengan menggunakan daun kacang-kacangan sebagai sumber nitrogen, sebagaimana yang dikemukakan oleh Cuevas (1993) dan dibuktikan oleh Endriani dan Jamal
(2009) dengan hasil yang cukup baik.
Kordinasi antar instansi terkait dalam penyebaran
teknologi Trichokompos perlu dibangun secara lebih baik. Dari penelitian ini diperoleh bukti adanya
kordinasi yang kurang lancar antara BPTPH Provinsi Jambi dengan instansi teknis
di tingkat kebupaten. Di dalam petunjuk
yang disusun oleh BPTPH Provinsi Jambi tidak tercantum anjuran untuk mencacah jerami padi sebagai bagian dari
proses pembuatan Trichokompos. Sedangkan
di lapangan ditemukan sebagian petani telah menerapkan teknologi Trichokompos
dengan menggunakan metode pencacahan jerami. Hal ini tentunya akan membuat
petani menjadi bingung dalam menentukan metode yang paling sesuai untuk mereka
terapkan.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Dari sembilan komponen teknologi pembuatan Trichokompos ditemukan bahwa pencacahan jerami
merupakan komponen teknologi yang
dirasakan
paling sulit diterapkan oleh petani.
2. Petani
yang tidak menerapkan teknologi Trichokompos memiliki nilai persepsi yang sangat nyata lebih rendah dibandingkan
dengan petani yang menerapkan teknologi
ini tentang: (a) manfaat penggunaan pupuk organik dalam meningkatkan
produksi padi,
(b) manfaat penggunaan pupuk organik dalam
memperbaiki tanah,
dan (c) manfaat penggunaan pupuk organik
dalam mengurangi kebutuhan pupuk kimia.
3.
Empat kendala terpenting
bagi petani
yang tidak
menerapkan teknologi Trichokompos adalah: (a) Tidak memiliki cukup waktu dan tenaga
kerja (30%), (b) Masih
kurang sosialisasi tentang penerapan teknologi Trichokompos (23%), (c) Sulit mendapatkan agen hayati (19%), dan Sulit mendapatkan kotoran ternak
(15%).
Saran
Guna
meningkatkan pemanfaatan jerami padi untuk pembuatan pupuk organik melalui
penerapan teknologi Trichokompos,
disarankan kepada instansi terkait untuk:
a.
Melakukan kajian lapangan mengenai penerapan
metode alternatif yang lebih sederhana dalam pembuatan Trichokompos berbahan
dasar jerami, antara lain
pembuatan Trichokompos dengan tanpa pencacahan jerami dan tanpa penggunaan
kotoran ternak atau penggantian kotoran ternak dengan daun kacang-kacangan.
b.
Melakukan kordinasi di antara instansi terkait dalam
sosialisasi penerapan teknologi Trichokompos.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1997.
Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat
Penelitian Kependudukan UGM, Yogyakarta.
BPTPH Jambi.
2009. Teknik Pembuatan Kompos Jerami.
Leaflet. Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jambi.
Anonim. 2010.
Implementasi PHT Padi dan Pemasyarakatan Trichokompos. Balai Perlidungan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Jambi.
Azwar,
S. 1995. Sikap Manusia, Teori dan
Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Cuevas,
V. 1993. Rapid Composting Fits Rice
Farmers. ILEIA Newsletter. 9(2):. 11-12. [http://ileia.leisa.info].
Endriani dan H.
Jamal. 2009. Laporan Hasil Penelitian Pengolahan Jerami Padi sebagai Bahan
Dasar Pupuk Organik dengan Bioaktivator Trichoderma
sp. Balitbangda Provinsi
Jambi.
Faisal,
S. 2003. Format-format Penelitian Sosial.
Cetakan ke-6. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hariadi,
S.S.
2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
petani
dalam pengendalian
hama
dan penyakit
tumbuhan
melalui analisis
jalur. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 12 (1):
44-52.
Jambi Star.
2009. Penggunaan Pupuk Kimia Dikurangi. Harian Jambi Star tanggal 01 Mei 2009.
Misra, R.V. and R.N. Roy. 2006.
On-farm Composting Methods. FAO.
Rome. [http://www.fao.org/teca/default/fiels/technologies/10-on-farm-methodes.
pdf].
Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian
dengan SPSS. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Ritohardoyo, S. 2002. Peranserta masyarakat dalam penghijauan:
Kasus Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Forum Geografi. 16 (2): 156-175.
Rogers, E. M. dan F. Shoemaker. 1987. Memasyarakatkan
Ide-ide Baru. Cetakan ke IV. Disarikan
oleh Drs. Abdilah Hanafi. Usaha Nasional, Surabaya.
Simamora, B. 2008. Panduan Riset
Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Suryabrata,
S..
1998. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Triola,
M.F.
1998. Elementary Statistics. 7th Edition. Addison – Westley Longman Inc,
New York.
Waryanto, B. dan Y.A. Millafati.
2006. Transformasi data skala
ordinal
ke interval
dengan menggunakan
minitab.
Informatika Pertanian. 15: 881-895.
Wijayanto,
B. 2005. Tingkat adopsi
pengelolaan
tanaman
dan sumberdaya
terpadu
padi
sawah
irigasi
di Kabupaten Lampung Tengah. Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Tesis (Tidak Dipublikasi).
(Diterbitkan
pada Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Volume 14 Nomor 3,
November 2011; pp. 171 – 180)