Munculnya
kericuhan di sejumlah tempat akibat dari ketidakpuasan warga terhadap
penyaluran bansos (bantuan sosial) Covid-19 pada pertengahan tahun 2020 hendaknya
menjadi perhatian para pemangku kepentingan
untuk membenahi tata kelola penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan
sosial yang ada saat ini. Protes yang sebagian besar ditujukan kepada aparat
pemerintahan desa/ kelurahan disertai dengan berbagai aksi kericuhan seperti
pengrusakan sarana publik, mencermin betapa pentingnya peran pemerintahan di
tingkat yang paling bawah yaitu desa atau kelurahan dalam pengelolaan program
pelayanan kesejahteraan sosial, yang dewasa ini sangat dominan dikucurkan dari
pemerintah pusat. Dapat dipastikan munculnya
aksi protes dan kericuhan ini karena aparat pemerintahan desa/ kelurahan tidak
mampu menjawab secara memadai pertanyaan yang diajukan oleh warganya, terutama
tentang mengapa mereka tidak terdaftar sebagai penerima bansos sementara orang
lain yang dianggap setara dengan mereka terdaftar sebagai penerima manfaat.
Tentu tidak mudah bagi aparat pemerintahan desa/ kelurahan untuk menjawab
pertanyaan seperti ini karena mereka tidak terhubung dengan informasi yang
terkait dengan penyaluran bansos tersebut.
Aksi protes
dan kericuhan seperti yang terjadi pada kasus penyaluran bansos Covid-19 diatas
seharusnya tidak hanya dilihat dari kejadian sesaat. Sangat dimungkinkan hal itu merupakan akumulasi kekecewaan warga terhadap penyaluran
berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial yang ada selama ini. Alasan ini sangat masuk akal bila dilihat
dari laporan BPS di dalam Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro
Indonesia Tahun 2020 dengan menggunakan data Susenas Maret 2019 sampai
dengan Maret 2020, yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini. Ternyata hanya
sebagian kecil rumah tangga miskin (Q1 – Q2) yang mendapat akses terhadap
program pelayanan kesejahteraan sosial yang disediakan oleh pemerintah
pusat. Sebaliknya malah ditemukan rumah
tangga yang relatif sejahtera (Q3 – Q5) justru menjadi penerima program. Oleh karena itu sulit untuk disangkal jika kasus
ketidaktepatan sasaran seperti yang dilaporkan oleh BPS ini sangat berpotensi
menjadi bahaya laten yang dapat memicu munculnya berbagai gejolak sosial.
Gambar 1. Persentase
Rumah Tangga Penerima Kartu Keluarga Sejahtera
Gambar 2. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Indonesia Pintar (PIP)
Gambar 3. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)
Secara sederhana ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran program pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana digambarkan di atas dapat disebab oleh dua hal. Pertama, data yang digunakan untuk menentukan calon penerima program tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Hal ini tidak saja terkaitnya dengan kualitas data yang dikumpulkan pada saat pendataan awal tetapi juga kemampuan mengelola agar data tersebut tetap up to date. Pengelolaan ini menjadi penting karena kondisi sosial ekonomi penduduk selalu berubah, yang berdampak kepada perubahan tingkat kesejahteraan mereka. Kedua, lembaga penyalur program tidak menggunakan data calon penerima manfaat yang sudah disediakan. Walaupun data calon penerima manfaat yang tersedia sudah akurat, apabila tidak digunakan sebagai rujukan oleh lembaga pengelola berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial maka ketidaktepatan sasaran penerima program besar kemungkinan juga akan terjadi.
Sesuai
dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin,
Kementerian Sosial diberi tanggung jawab untuk mengelola data terpadu
penanganan fakir miskin , yang disebut dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan
Sosial). Selain berisi daftar rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40%
terbawah by name by address, DTKS
ini juga menyediakan berbagai informasi
berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan kepesertaan program rumah tangga
tersebut. Untuk menjaga agar DTKS tetap up
to date, Kemensos melakukan perbaikan data secara berkala melalui kegiatan
pendataan, verifikasi dan validasi. Operasional kegiatan pendataan ini di
lapangan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota. Saat ini Kemensos telah menjadualkan
perbaikan DTKS dua kali setahun. Dengan demikian pemerinah kabupaten/ kota
mempunyai peluang untuk mengusulkan perbaikan data setiap periode
tersebut. Hanya saja dalam praktiknya
proses ini tidak berjalan dengan baik.
Dari hasil evaluasi Kemensos yang disajikan pada aplikasi SIKS-Dataku,
diperlihatkan hanya 183 (35%) kabupaten/kota yang sudah mengusulkan perbaikan
DTKS dengan cakupan lebih dari 50% sampai dengan periode Oktober 2020. Bahkan
ada kabupaten/kota yang belum pernah sama sekali mengusulkan perbaikan
data. Keadaan ini tentunya memberikan
gambaran rendahnya akurasi DTKS saat ini, yang sesungguhnya merujuk pada BDT
(Basis Data Terpadu) yang disusun oleh BPS pada tahun 2015.
Bercermin
dari rendahnya cakupan perbaikan DTKS diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kabupaten/ kota masih terkendala
dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan pendataan, validasi dan verifikasi
DTKS. Dari mekanisme pengelolaan DTKS
yang disusun oleh Kemensos melalui Permensos Nomor 28 Tahun 2017 terdapat
sejumlah titik penghambat yang dapat menjadi menyebabkan proses pendataan oleh pemerintah
kabupaten/ kota tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Salah satunya karena pelaksanaan kegiatan ini
sangat tergantung pada inisiatif dinas
sosial kabupaten/ kota karena tahapan pendataan diawali dengan penyusunan prelist
awal, berisi daftar rumah
tangga di suatu wilayah yang tercatat di
dalam DTKS. Prelist awal ini hanya dimiliki oleh dinas sosial kabupaten/
kota karena hanya dinas sosial yang memiliki akses terhadap DTKS. Selanjutnya prelist awal dibahas di dalam musyawarah desa/ kelurahan
untuk penyusunan prelist akhir, yang dijadikan dasar oleh petugas untuk
melakukan pendataan. Dengan mekanisme seperti
ini tentu tidak mudah bagi pemerintah kabupaten/ kota untuk melakukan perbaikan
data di seluruh desa/ kelurahan secara berkala setiap tahun, sebagaimana yang
diperintahkan di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019, karena membutuhkan biaya yang cukup besar.
Agar
DTKS dapat dijadikan sebagai data terpadu dalam penyaluran program
kesejahteraan sosial maka sudah seharusnya semua lembaga, baik di tingkat pusat
maupun daerah atau yang menggunakan anggaran bersumber dari pemerintah maupun
masyarakat, dapat terhubung dengan DTKS secara real time. Berdasarkan data inilah pengelola program
dapat menentukan individu atau rumah tangga yang paling layak sebagai penerima
manfaat program yang akan disalurkannya.
Penggunaan data terpadu ini sekaligus juga untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial. Namun, dalam praktiknya untuk mendapat akses
DTKS ini tidak mudah. Sebagaimana yang
diatur di dalam Permensos nomor 5 Tahun 2019, akses terhadap DTKS memerlukan
prosedur yang ketat. Apalagi data yang
disediakan hanya berbentuk dokumen elektronik/ digital, bukan akses
daring. Dengan demikian maka pemerlu
data harus mengajukan permohonan setiap adanya
perbaikan DTKS, yang tentunya akan sangat merepotkan.
Keterbatasan berbagai
pemangku kepentingan untuk mendapatkan
akses terhadap DTKS sesungguhnya merupakan salah satu titik lemah DTKS untuk dijadikan sebagai rujukan dalam
pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan Pasal
10 (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2011 yang mengamatkan agar DTKS dapat “...dipergunakan
oleh kementerian/lembaga terkait dalam penanganan fakir miskin dan dapat
diakses oleh seluruh masyarakat....”. Akses terhadap DTKS tidak saja
dibutuhkan oleh kementerian/ lembaga pengelola program pelayanan sosial di
tingkat pusat tetapi juga jajaran pemerintahan daerah dari tingkat terbawah
(desa/ kelurahan) sampai ke provinsi. Berbagai
program pelayanan sosial yang tersedia di daerah baik yang bersumber dari dana
pemerintah maupun masyarakat seperti dana CSR (corporated social
renposibility) dan ZIS (zakat, infak dan sadaqah), selayaknya disalurkan
dengan mengacu pada DTKS. Pemberian akses DTKS kepada pemerintahan desa/ kelurahan
atau kecamatan sangat membantu dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
mendapat berbagai informasi terkait program pelayanan kesejahteraan sosial. Keterbukaan informasi kepada masyarakat ini
sangat berguna untuk meredam munculnya kecurigaan dan kecemburuan warga dalam
penyaluran berbagai program pelayanan kesejateraan sosial. Selain itu juga akan memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk ikut menyampaikan koreksi mereka guna perbaikan DTKS
secara berkesinambungan.
Upaya untuk mendekatkan
pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat telah dirintis melalui pengembangan
Puskesos (pusat pelayanan kesejahteraan sosial) di tingkat desa/ kelurahan sejak tahun 2016. Kegiatan ini mendapat bantuan dana dari
Pemerintah Australia, yang berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial
yang diberi nama SLRT (Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu). Melalui Puskesos yang dibantu oleh
fasilitator lapangan, warga masyarakat
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar di dalam DTKS dapat menyampaikan berbagai keluhan mereka
terkait dengan program pelayanan kesejahteraan sosial. Untuk memperlancar kegiatannya, Puskesos
dilengkapi dengan perangkat informasi berupa aplikasi SLRT. Melalui aplikasi SLRT berbagai keluhan
terkait program pelayanan kesejahteraan sosial dapat dirujuk secara real time
dari Puskesos ke tingkat yang lebih tinggi untuk mendapatkan penanganan.
Aplikasi yang digunakan
pada awal kegiatan SLRT sesungguhnya memiliki fungsi yang cukup andal untuk
membantu warga dalam menghadapi berbagai kesulitan terkait program pelayanan
kesejahteraan sosial. Tersedia lima
fungsi aplikasi SLRT yaitu: (1) pencatatan pengusulan penambahan calon penerima
manfaat; (2) pencatatan verifikasi data, yang digunakan untuk memperbaiki data
penerima manfaat yang telah tercantum di dalam DTKS; (3) pencatatan kepesertaan
program; (4) pencatatan usulan kebutuhan program; dan (5) pencatatan keluhan
penerima manfaat. Selain terhubung
dengan pengelola kegiatan di tingkat kecamatan, kebupaten/kota dan pusat;
aplikasi ini juga terhubung dengan DTKS sehingga informasi terkait dengan
penerima manfaat yang tercantum di dalam DTKS dapat diakses oleh pengelola
kegiatan di setiap jenjang. Sayangnya, sejak tahun 2019 penggunaan aplikasi ini
dihentikan karena berbenturan dengan aturan tentang pemanfaatan DTKS
sebagaimana yang digariskan di dalam
Permensos nomor 5 tahun 2019. Di dalam
aturan ini akses terhadap DTKS secara daring tidak dimungkinkan. Untuk mendapatkan DTKS secara digitalpun
harus mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial c.q. Kepala Pusdatin. Selain itu kegiatan yang terkait dengan
fungsi (1) dan (2) telah dilaksanakan oleh Pusdatin dengan menggunakan aplikasi
SIKS-NG. Dengan demikian maka aplikasi SLRT
saat ini hanya menjalankan fungsi (3), (4) dan (5) saja.
Belajar dari pengalaman
penyelenggaraan SLRT kiranya diperlukan langkah pengintegrasian pengelolaan
DTKS dan program pelayanan kesejahteraan sosial melalui pengembangan Puskesos secara
berjenjang mulai dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota,
provinsi sampai ke pusat. Dengan
mengembalikan lima fungsi Puskesos sebagaimana yang diterapkan pada awal
penyelenggaraannya maka warga masyarakat mendapatkan kemudahan untuk menyampaikan
berbagai permasalahan mereka terkait pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk
untuk mengusulkan calon penerima manfaat baru dan perbaikan DTKS. Dengan demikian proses perbaikan DTKS dapat dilaksanakan
secara terus menerus dengan biaya yang lebih murah tanpa harus menunggu
inisiatif dari dinas sosial. Selain itu
Puskesos juga dapat mengeluarkan surat keterangan kepesertaan program pelayanan
kesejahteraan sosial kepada penerima manfaat sehingga dapat mengurangi biaya
pencetakan dan pengiriman kartu kepesertaan program. Keberadaan Puskesos juga akan
mempermudah lembaga pengelola program
pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan berbagai informasi dalam
penyaluran program mereka. Salah satu prasyarat agar fungsi Puskesos dapat
berjalan optimal adalah pemberian akses kepada Puskesos terhadap DTKS secara
daring sesuai dengan lingkup wilayah kerjanya.
Pengetatan akses
terhadap DTKS sebagaimana yang diatur di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019
dimungkinkan karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran terhadap peraturan
perundangan yang terkait dengan pengungkapan data pribadi penerima manfaat. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dihindari
apabila penerima manfaat memberikan persetujuan tertulis atas pengungkapan
informasi pribadi tersebut, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 18 (2)
Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Oleh karena itu untuk menghindari
penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah
atas pengungkapan data pribadi
maka disetiap pengisian data penerima manfaat untuk kebutuhan DTKS
hendaknya disertai persetujuan tertulis penerima manfaat terhadap pengungkapan data
pribadi mereka.
Mengingat ruang lingkup
pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial mencakup berbagai pemangku
kepentingan maka penataannya harus dilakukan secara lintas kelembagaan. Fakta yang ditemui saat ini belum semua
pemangku kepentingan menggunakan DTKS sebagai rujukan penyaluran berbagai
program pelayanan kesejahteraan sosial.
Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan Dapodik
(data pokok pendidikan) sebagai rujukan penyaluran KIP (Kartu Indonesia
Pintar), bukan DTKS. Begitu juga halnya
dengan penyaluran KIS (Kartu Indonesia Sehat) oleh Kementerian Kesehatan dan
BPJS Kesehatan, yang belum sejalan dengan penerima manfaat yang tertera di dalam
DTKS. Yang tidak kalah pentingnya
adalah peran Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah dalam pelayanan
administrasi kependudukan bagi keluarga yang tidak mampu. Di sejumlah daerah saat ini masih ditemui
warga masyarakat yang mendapatkan kesulitan dalam mengurus administrasi
kependudukan mereka. Padahal identitas
kependudukan merupakan prasyarat agar penerima manfaat dapat dimasukkan ke
dalam DTKS. Semoga lembaga berwenang
seperti halnya TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dan
Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dapat mengambil perannya untuk
melakukan pembenahan dalam pengelolaan DTKS ke depan.