Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Mei 2014 yang membatalkan secara keseluruhan Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian merupakan tamparan keras bagi pengambil kebijakan di negara ini. Pembatalan ini mencerminkan bahwa pengambil kebijakan, paling tidak pemerintahan pada saat undang-undang tersebut dibuat, belum memiliki pemahaman yang benar tentang perkoperasian sebagaimana yang diinginkan oleh konstitusi negara.
Secara eksplisit kata “koperasi” tercantum di dalam penjelasan pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Tahun 1945. Pada pasal ini konstitusi memberikan arahan bahwa perekonomian bangsa hendaknya mengutamakan usaha bersama yang berdasarkan asas kekeluargaan. Dijelaskan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan asas tersebut adalah koperasi, yang diharapkan mampu menciptakan demokrasi ekonomi guna menjamin kemakmuran bagi semua orang, bukan untuk orang seorang. Jadi kata kunci yang hendaknya digunakan sebagai asas pembentukan dan pengembangan koperasi adalah kekeluargaan. Pengabaian terhadap asas ini merupakan isu yang paling menonjol yang dijadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan keberadaan Undang-undang Nomor 17 tahun 2017. Oleh karena itu pengambil kebijakan harus paham betul dengan implementasi asas ini dalam penyusunan berbagai regulasi terkait dengan perkoperasian.
Kekeluargaan mencerminkan adanya ikatan sosial yang kuat di antara anggota koperasi. Asas kekeluargaan ini diwujudkan dalam bentuk saling percaya dan saling membantu. Kekeluargaan merupakan wujud rasa saling membutuhkan antar anggota, bukan hanya sekedar kebutuhan antara anggota kepada koperasi secara kelembagaan. Berbeda dengan perusahaan perseroan yang merupakan kumpulan modal finansial, koperasi merupakan kumpulan orang yang mengandalkan modal sosial. Koperasi dikembangkan tidak semata untuk mencari keuntungan tetapi lebih diarahkan untuk sarana saling membantu guna mendukung usaha dan peningkatan kesejahteraan anggota. Oleh karena itu harus ada keterkaitan yang erat antara kegiatan koperasi dengan aktivitas usaha utama para anggotanya.
Terbongkarnya kasus 12 KSP (Koperasi Simpan Pinjam) yang diduga terlibat pencucian uang dengan nilai mencapai Rp 500 trilliun (Kompas, 14/2/2023) memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya rasa kekeluargaan dalam pengelolaan koperasi. Ternyata KSP tersebut telah disalahgunakan oleh segelintir orang untuk mencari keuntungan melalui bisnis simpan pinjam layaknya lembaga jasa keuangan. Segelintir orang yang bertindak sebagai pengurus inilah kemudian menghimpun dana dari anggota untuk dijadikan modal usaha, tentunya dengan iming-iming bunga simpanan yang tinggi. Ternyata usaha ini tidak berjalan mulus sehingga berakibat ribuan anggota koperasi kehilangan uang simpanan mereka. Kasus ini mencerminkan rendahnya pemahaman masyarakat kita tentang perkoperasian. Disamping itu terlihat adanya celah regulasi dan pengawasan yang bisa dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan koperasi untuk tujuan bisnis yang tidak sejalan dengan asas kekeluargaan.
Menumbuhkan rasa kekeluargaan menjadi titik kritis yang menentukan keberhasilan pengelolaan suatu koperasi. Ia hanya akan lahir melalui suatu proses kerjasama saling membutuhkan yang kemudian akan tumbuh menjadi bibit rasa kekeluargaan. Sangat mustahil anggota suatu koperasi akan memiliki rasa kekeluargaan apabila dibentuk oleh sekelompok orang kemudian baru dicari anggotanya. Kelompok pembentuk inilah yang akan menentukan hitam putihnya organisasi serta menunjuk pengurus untuk menjalankan aktivitas koperasi. Jelas koperasi seperti ini akan kehilangan jati dirinya dan mudah lepas dari kepentingan anggota. Anggota koperasi akan diperlakukan hanya sebagai nasabah yang harus mengikuti kebijakan kelompok pembentuk tersebut.
Idealnya para calon anggota sebelum membentuk koperasi telah memiliki hubungan kerjasama informal sehingga mereka merasa perlu membentuk koperasi untuk memformalkan kerjasama tersebut. Salah satu contoh bentuk kerjasama yang dapat dilanjutkan menjadi koperasi adalah kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Para petani yang sudah merasakan betul manfaat bekerjasama di dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani tentu akan lebih mudah ditumbuhkan rasa kekeluargaan mereka ketika bergabung di dalam koperasi.
Untuk menghadirkan koperasi sebagai pilar perekonomian bangsa tentu pemerintah perlu cermat betul dalam menyusun regulasi tentang perkoperasian yang senafas dengan konstitusi negara. Asas kekeluargaan yang merupakan jati diri koperasi hendaknya dapat diejawantahkan secara konsisten dalam setiap regulasi sehingga diperoleh batas-batas yang tegas untuk membedakan koperasi dengan badan usaha non koperasi lainnya. Yang lebih penting lagi adalah agar jajaran pemerintahan dari pusat sampai ke daerah betul-betul memahami dan mampu mengimplementasikan regulasi tersebut dalam pembinaan dan pengawasan terhadap koperasi. Adalah tugas kita bersama untuk menjaga jati diri koperasi.