Sektor pertanian masih mempunyai peran penting di dalam
perekonomian Indonesia. Potensi sumber
daya pertanian yang ada saat ini masih cukup besar. Paling tidak terdapat sekitar 8 Juta hektar lahan sawah,
sekitar 18 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit, kelapa dan karet (BPS, 2018) serta jutaan hektar areal
pertanaman berbagai komoditas pertanian lainnya. Potensi sumber daya yang ada ini perlu dijaga
keberlangsungannya agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan dan
kesejahteraan rakyat.
Menjaga keberlangsungan sektor pertanian juga berarti menjaga
kesejahteraan hampir 36 juta petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor
ini (Kementan, 2018). Sumber daya manusia pertanian ini hanya akan bertahan
sebagai petani apabila usaha pertanian dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Jika tidak, mereka akan beralih profesi ke usaha non pertanian seperti industri
dan jasa non pertanian lainnya. Untuk itu maka usahatani harus dikelola secara lebih
efesien sehingga komoditas pertanian kita memiliki daya saing yang tinggi. Dengan
demikian maka membangun pertanian yang berdayasaing agar mampu meningkatkan
kesejahteraan petani menjadi kata kunci dalam upaya menjaga keberlangsungan
sektor petanian nasional kedepan.
Dari hasil Sensus Pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah
rumah tangga pertanian di semua sub sektor menunjukkan angka penurunan
dibandingkan hasil sensus tahun 2003.
Sampai batas tertentu, penurunan
ini masih dianggap wajar karena adanya proses industrialisasi, yang
berakibat berpindahnya tenaga kerja pertanian ke sektor industri. Namun, apabila perpindahan ini tidak terkendali
akan berpotensi menurunkan produksi pertanian dan mengancam keberlangsungan
sektor pertanian. Dampak negatif yang
paling dikhawatirkan adalah akan semakin
meningkatnya ketergantungan negara kita terhadap produk pertanian impor, yang
tentunya akan sangat berbahaya terhadap ketahanan nasional.
Kekhawatiran terhadap keberlangsungan sektor pertanian
semakin mengemuka bila dilihat dari fakta rendahnya minat generasi muda yang
terjun ke dunia pertanian. Data Kementerian
Pertanian pada Februari 2018 menunjukkan bahwa hanya sekitar 11% penduduk
berumur 15 – 24 tahun yang bekerja pada sektor pertanian, sisanya berumur 25
tahun keatas, malah terdapat sekitar 19% yang berumur lebih dari 60 tahun. Kondisi
ini semakin diperparah dengan mayoritas (86%) tenaga kerja sektor pertanian tersebut
berpendidikan sekolah dasar. Hanya 13%
yang berpendidikan sekolah menengah atas.
Dengan demikian dapat dimaklumi akan cukup sulit mengandalkan sumber
daya petani yang ada saat ini untuk mampu
berkreasi menghasilkan inovasi guna memecahkan berbagai permasalahan yang
mereka hadapi sekaligus meningkatkan daya saing
sektor pertanian.
Pertanian Moderen
Untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian, mau tidak mau
usahatani kita harus dilakukan melalui penerapan pola pertanian moderen. Paling tidak ada dua aspek yang menjadi fitur pertanian moderen
yaitu: pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan
kelembagaan petani yang kuat untuk meningkatkan posisi tawar petani.
Ketersediaan teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani menjadi faktor
penentu agar petani dapat menghasilkan produk pertanian dengan produktivitas yang
optimal. Untuk itu petani harus memiliki pengetahuan tentang pengelolaan usahatani
yang baik serta akses untuk memperoleh sarana
produksi serta peralatan dan mesin pertanian
yang mereka butuhkan.
Informasi tentang teknologi anjuran dewasa ini tidak sulit
didapat oleh petani. Dengan memanfaatkan teknologi informasi, petani yang
bermukim di pelosok negeri sekalipun mempunyai kemudahan untuk memperoleh
informasi tentang berbagai teknologi pertanian yang mereka butuhkan. Hanya saja untuk menerapkan suatu
teknologi di lapangan bukanlah perkara
yang sederhana. Perlu proses agar suatu
teknologi anjuran layak diadopsi oleh petani. Petani harus melakukan kaji terap
untuk menguji kesesuaian suatu teknologi serta melakukan kalkulasi tingkat
keuntungan pemanfaatan teknologi tersebut.
Disamping itu, apabila suatu teknologi membutuhkan sarana produksi
pertanian yang belum tersedia di sekitar
mereka maka petani harus memiliki akses
kepada penyedia sarana produksi yang dibutuhkan tersebut.
Kelembagaan petani yang kuat dibutuhkan agar petani memiliki
posisi tawar yang lebih baik dalam setiap transaksi usahatani mereka. Kelembagaan yang baik merupakan sarana bagi
petani untuk membuat berbagai kesepakatan berkenaan dengan usahatani mereka
seperti mengatur pola tanam agar
ketersediaan produk pertanian dapat diatur sesuai dengan kebutuhan pasar, baik
dari aspek kualitas, jumlah maupun waktunya. Disamping itu, kelembagaan petani yang kuat dapat
mempermudah petani dalam membentuk unit-unit usaha bersama guna memutus rantai
tata niaga pertanian yang kurang efisien, baik dalam penyediaan sarana produksi
maupun pemasaran hasil pertanian.
Penerapan teknologi anjuran dan kelembagaan petani yang kuat
menjadi dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketersediaan teknologi anjuran yang mampu
meningkatkan produktivitas pertanian tidak akan diterapkan secara berkelanjutan
apabila petani tidak mendapatkan marjin usahatani yang adil. Fakta yang sering ditemui di lapangan, harga
sarana produksi yang terus melonjak ternyata tidak diikuti dengan kenaikan
harga jual hasil produksi petani. Penyebabnya adalah karena petani hanya
berperan sebagai penerima harga (price taker) baik dalam penyediaan sarana produksi maupun
pemasaran hasil panen. Disinilah salah
satu peran penting kelembagaan petani
yaitu menguatkan posisi tawar petani agar bergeser menjadi penentu harga (price
maker).
Menilik berbagai permasalahan yang dihadapi petani dalam
meningkatkan daya saing pertanian maka permasalahan yang berkaitan dengan
kelembagaan petani menjadi aspek yang layak mendapat prioritas. Kelembagaan yang kuat diharapkan akan
memperkuat posisi tawar mereka. Hanya dengan posisi tawar yang kuatlah petani
akan mendapatkan marjin usahatani yang adil, yang selanjutnya akan memicu petani untuk meningkatkan
produktivitas melalui adopsi teknologi anjuran. Oleh karena itu
menumbuhkembangkan kelembagaan petani yang kuat dalam menunjang pertanian
moderen merupakan suatu keniscayaan.
Kita tidak bisa banyak berharap banyak dengan model kelembagaan
petani seperti yang ada saat ini. Dengan
arus tata niaga pertanian yang sudah mencakup wilayah nasional bahkan
internasional maka kelembagaan petani seharusnya mempunyai cakupan wilayah
kerja yang sama. Kelompok tani atau
koperasi tani sudah tidak efektif lagi jika hanya memiliki wilayah kerja dalam
satu atau beberapa desa tetapi harus mempunyai jejaring kerjasama paling tidak
sampai pada tingkat nasional. Untuk
mengelola kelembagaan petani seperti ini tentu dibutuhkan sumber daya petani
yang memiliki kemampuan manajemen kelembagaan petani yang memadai. Selain itu juga memiliki kemampuan
memanfaatkan teknologi informasi karena hanya dengan memanfaatkan teknologi ini
maka jejaring kelembagaan petani dapat dikembangkan secara lebih efektif dan
efisien.
SDM Petani
Menghadapi ancaman
keberlanjutan pertanian nasional kedepan, terutama yang melibatkan petani
kecil, maka perlu upaya revitalisasi pertanian ke arah penerapan pertanian
moderen. Untuk mendukung revitalisasi
ini perlu upaya perbaikan mutu SDM petani agar mereka mampu membangun
kelembagaan yang kuat serta menerapkan teknologi anjuran. Tentu
sangat mustahil proses ini dapat diterapkan dengan mengandalkan petani dengan mutu yang ada saat ini. Oleh karena itu perbaikan mutu SDM
petani sangat tertumpu pada proses
regenerasi petani. Apabila proses
regenerasi ini tidak berjalan dengan baik maka akan sangat sulit untuk berharap
pertanian kita dapat berkelanjutan dalam jangka panjang.
Dalam rentang waktu beberapa dekade ke depan Generasi Z (penduduk kelahiran 1995 – 2010)
kita sudah akan mulai masuk ke pasar kerja.
Mereka inilah yang nantinya secara bertahap akan menggantikan tenaga
kerja pertanian yang ada saat ini.
Tentu kita berharap proses regenerasi tenaga kerja ini dapat berjalan
disertai dengan peningkatan kualitas SDM pertanian. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki
rancang bangun yang memadai untuk menyiapkan generasi ini menjadi petani
moderen kelak.
Ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam
menyiapkan proses regenerasi petani ini.
Paling tidak, petani yang saat ini didominasi oleh tamatan sekolah dasar
secara bertahap dapat diganti oleh petani yang berpendidikan lebih tinggi
sehingga kemampuan petani untuk mengadopsi pertanian moderen dapat lebih
meningkat. Penyediaan pendidikan
kejuruan pertanian tentu sangat membantu dalam penyediaan SDM terampil. Hanya saja kurikulum pendidikan kejuruan
pertanian hendaknya tidak semata memberikan bekal dalam aspek budidaya
pertanian tetapi juga tentang pemasaran dan kelembagaan petani. Selain itu perlu juga perlu pengenalan teknologi informasi,
yang diharapkan akan menjadi alat bantu yang efektif dalam penerapan pertanian
moderen.
Keberadaan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) merupakan salah
satu harapan dalam penyiapan SDM terampil.
Hal ini telah dikukuh di dalam RPJMN yang menggariskan bahwa pendidikan
SMK akan dikembangkan sejalan dengan kegiatan ekonomi utama daerah. Namun, faktanya ketersediaan SMK di wilayah
dengan kegiatan ekonomi utama pertanian tidak sejalan dengan kebijakan tersebut. Sebagai contoh, di sepuluh provinsi di
Sumatera dengan kegiatan ekonomi utama sektor pertanian ternyata belum tersedia
secara memadai SMK yang mengampu bidang keahlian pertanian. Dari 2.972 SMK negeri dan swasta yang ada di
sepuluh provinsi tersebut, hanya 474 SMK atau 16% yang memiliki bidang keahlian Agrisbisnis dan
Agroteknologi. Bidang keahlian Teknologi
dan Rekayasa serta Bisnis dan Manajamen ternyata menjadi jurusan favorit bagi
siswa SMK di daerah ini, sama seperti yang ditemui di pulau Jawa dimana sektor
industrinya memang relatif lebih berkembang.
Menata pendidikan SMK agar dapat mendukung pengembangan
pertanian perlu mendapatkan perhatian dalam rangka menyiapkan petani Generasi Z
kita. Tenaga terampilan lulusan SMK
dengan bidang keahlian pertanian merupakan salah satu potensi SDM dalam
pengelolaan pertanian moderen. Penataan pendidikan SMK ini tidak saja dilakukan
melalui penyediaan sarana pendidikan yang bermutu tetapi harus disertai dengan
peningkatan minat lulusan SLTP untuk melanjutkan pendidikan ke SMK bidang
keahlian pertanian. Untuk itu pengenalan
potensi perekonomian daerah hendaknya menjadi bagian dari kurikulum pendidikan
dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar