Rabu, 04 Januari 2023

GENDER

Merujuk kepada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Edisi V daring (dibaca pada tanggal 23 Juli 2022), lema gender merupakan nomina yang diberi makna jenis kelamin. Sementara itu jenis kelamin dimaknai sebagai sifat (keadaan) jantan atau betina. Jadi, di dalam kamus ini gender disamakan dengan jenis kelamin, yang memiliki faktor penentu berdasarkan fungsi biologis sebagai jantan atau betina. Pemaknaan gender seperti ini tentu sangat kurang memadai jika dilihat dari sudut pandang keilmuan yang membahas persoalan gender. 

Di dalam bukunya Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia (2012), Herien Puspitawati - seorang pakar gender dari IPB - menyatakan bahwa istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial yang didefinisikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Sebagai contoh pada umumnya di dalam masyarakat kita peran sebagai kepala rumah tangga selalu dipegang oleh laki-laki, sedang tugas memasak untuk kebutuhan anggota keluarga diemban oleh perempuan. Fenomena ini sesungguhnya merupakan bentukan manusia dan tidak bersifat kodrati sehingga dapat diubah dan dipertukarkan, serta dapat berbeda antara kelompok sosial satu dengan lainnya. Sementara itu jenis kelamin merupakan perbedaan bersifat kodrati yang tidak dapat dipertukarkan dan tidak berubah menurut waktu dan kondisi sosial setempat. 

Di dalam kamus bahasa Inggris, Oxford Learner’s Dictionary daring, yang dibaca pada tanggal 20 Juli 2022, lema gender (gender) mempunyai makna keadaan sebagai laki-laki atau perempuan, terutama bilamana berkenaan dengan hal yang mengacu pada perbedaan sosial dan budaya, ketimbang perbedaan biologis. Sedangkan sex (jenis kelamin) dimaknai sebagai salah satu dari dua kelompok manusia, hewan dan tanaman yang dibedakan berdasarkan fungsinya dalam menghasilkan keturunan. Jadi di dalam kamus ini kata gender dibedakan dengan jenis kelamin, dengan memberikan penjelasan bahwa gender digunakan pada konteks sosial dan budaya, sedangkan jenis kelamin digunakan pada konteks biologis, yang didasari atas fungsi reproduksinya. Pemaknaan seperti ini tentu lebih memadai bilamana kita mempertimbangkan pandangan keilmuan sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. 

Jika kita menelaah penggunaan kata gender di Indonesia saat ini, sama sekali tidak mempunyai konotasi sebagai jenis kelamin dalam konteks biologis tetapi lebih tertuju pada konteks sosial seperti dalam penggunaan kata kesetaraan gender atau pengarusutamaan gender. Oleh karena itu saya mengusulkan lema gender di dalam KBBI untuk disempurnakan pemaknaannya dengan menggunakan berbagai acuan ilmiah yang tersedia. Dengan demikian kata gender diharapkan dapat dipahami secara lebih baik sesuai dengan pemaknaan yang sudah digunakan secara luas oleh masyarakat kita. 

Selain itu saya juga mengusulkan adanya pembedaan dalam penggunaan antara kata laki-laki – perempuan dengan pria – wanita, dengan mempertimbangkan konsep gender. Di dalam KBBI Edisi V lema laki-laki dan perempuan dimaknai sebagai manusia dengan ciri biologis tertentu, seperti laki-laki memiliki zakar dan perempuan memiliki vagina. Sedangkan lema pria atau wanita mempunyai makna laki-laki atau perempuan dewasa. Oleh karena itu akan sangat cocok apabila kata laki-laki - perempuan digunakan sebagai pengkategorian jenis kelamin yang berkonotasi biologis, seperti pada penyebutan sepak bola perempuan, bukan sepak bola wanita, karena mengelompokan dalam permainan sepak bola ini semata-mata berdasarkan jenis kelamin. Sedangkan kata pria – wanita digunakan dalam konteks gender, seperti pada penyebutan pemberdayaan wanita, bukan pemberdayaan perempuan, karena aktivitas pembedayaan ini menyangkut aspek sosial. Dengan menggunakan cara ini kita akan lebih mudah mengetahui makna suatu pernyataan, apakah dalam konteks sosial atau biologis.

Minggu, 10 Januari 2021

Membenahi Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial

 

Munculnya kericuhan di sejumlah tempat akibat dari ketidakpuasan warga terhadap penyaluran bansos (bantuan sosial) Covid-19 pada pertengahan tahun 2020 hendaknya menjadi perhatian para pemangku kepentingan  untuk membenahi tata kelola penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial yang ada saat ini. Protes yang sebagian besar ditujukan kepada aparat pemerintahan desa/ kelurahan disertai dengan berbagai aksi kericuhan seperti pengrusakan sarana publik, mencermin betapa pentingnya peran pemerintahan di tingkat yang paling bawah yaitu desa atau kelurahan dalam pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial, yang dewasa ini sangat dominan dikucurkan dari pemerintah pusat.  Dapat dipastikan munculnya aksi protes dan kericuhan ini karena aparat pemerintahan desa/ kelurahan tidak mampu menjawab secara memadai pertanyaan yang diajukan oleh warganya, terutama tentang mengapa mereka tidak terdaftar sebagai penerima bansos sementara orang lain yang dianggap setara dengan mereka terdaftar sebagai penerima manfaat. Tentu tidak mudah bagi aparat pemerintahan desa/ kelurahan untuk menjawab pertanyaan seperti ini karena mereka tidak terhubung dengan informasi yang terkait dengan penyaluran bansos tersebut.

Aksi protes dan kericuhan seperti yang terjadi pada kasus penyaluran bansos Covid-19 diatas seharusnya tidak hanya dilihat dari kejadian sesaat.  Sangat dimungkinkan  hal itu  merupakan akumulasi kekecewaan warga terhadap penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial yang ada selama ini.  Alasan ini sangat masuk akal bila dilihat dari laporan BPS di dalam Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2020 dengan menggunakan data Susenas Maret 2019 sampai dengan Maret 2020, yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini. Ternyata hanya sebagian kecil rumah tangga miskin (Q1 – Q2) yang mendapat akses terhadap program pelayanan kesejahteraan sosial yang disediakan oleh pemerintah pusat.  Sebaliknya malah ditemukan rumah tangga yang relatif sejahtera (Q3 – Q5) justru menjadi penerima program.  Oleh karena itu sulit untuk disangkal jika kasus ketidaktepatan sasaran seperti yang dilaporkan oleh BPS ini sangat berpotensi menjadi bahaya laten yang dapat memicu munculnya berbagai gejolak sosial.

Gambar 1. Persentase Rumah Tangga Penerima Kartu Keluarga Sejahtera  

 


Gambar 2. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Indonesia Pintar (PIP)



Gambar 3. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)



Secara sederhana ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran program pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana digambarkan di atas dapat disebab oleh dua hal.  Pertama, data yang digunakan untuk menentukan calon penerima program  tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.  Hal ini tidak saja terkaitnya dengan kualitas data yang dikumpulkan pada saat pendataan awal tetapi juga kemampuan mengelola agar data tersebut tetap up to date. Pengelolaan ini menjadi penting karena kondisi sosial ekonomi penduduk selalu berubah, yang berdampak kepada perubahan tingkat kesejahteraan mereka.  Kedua, lembaga penyalur program tidak menggunakan data calon penerima manfaat yang sudah disediakan. Walaupun data calon penerima manfaat yang tersedia sudah akurat, apabila tidak digunakan sebagai rujukan oleh lembaga pengelola berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial maka ketidaktepatan sasaran penerima program besar kemungkinan juga akan terjadi. 

Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial diberi tanggung jawab untuk mengelola data terpadu penanganan fakir miskin , yang disebut dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Selain berisi daftar rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40% terbawah  by name by address, DTKS ini juga  menyediakan berbagai informasi berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan kepesertaan program rumah tangga tersebut.  Untuk menjaga agar DTKS tetap up to date, Kemensos melakukan perbaikan data secara berkala melalui kegiatan pendataan, verifikasi dan validasi. Operasional kegiatan pendataan ini di lapangan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota.  Saat ini Kemensos telah menjadualkan perbaikan DTKS dua kali setahun. Dengan demikian pemerinah kabupaten/ kota mempunyai peluang untuk mengusulkan perbaikan data setiap periode tersebut.  Hanya saja dalam praktiknya proses ini tidak berjalan dengan baik.  Dari hasil evaluasi Kemensos yang disajikan pada aplikasi SIKS-Dataku, diperlihatkan hanya 183 (35%) kabupaten/kota yang sudah mengusulkan perbaikan DTKS dengan cakupan lebih dari 50% sampai dengan periode Oktober 2020. Bahkan ada kabupaten/kota yang belum pernah sama sekali mengusulkan perbaikan data.  Keadaan ini tentunya memberikan gambaran rendahnya akurasi DTKS saat ini, yang sesungguhnya merujuk pada BDT (Basis Data Terpadu) yang disusun oleh BPS pada tahun 2015.

Bercermin dari rendahnya cakupan perbaikan DTKS diatas dapat disimpulkan bahwa  pemerintah kabupaten/ kota masih terkendala dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan pendataan, validasi dan verifikasi DTKS.  Dari mekanisme pengelolaan DTKS yang disusun oleh Kemensos melalui Permensos Nomor 28 Tahun 2017 terdapat sejumlah titik penghambat yang dapat menjadi menyebabkan proses pendataan oleh pemerintah kabupaten/ kota tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.  Salah satunya karena pelaksanaan kegiatan ini  sangat tergantung pada inisiatif dinas sosial kabupaten/ kota karena tahapan pendataan diawali dengan penyusunan prelist awal,  berisi daftar rumah tangga  di suatu wilayah yang tercatat di dalam DTKS. Prelist awal ini hanya dimiliki oleh dinas sosial kabupaten/ kota karena hanya dinas sosial yang memiliki akses terhadap DTKS.  Selanjutnya prelist awal  dibahas di dalam musyawarah desa/ kelurahan untuk penyusunan prelist akhir, yang dijadikan dasar oleh petugas untuk melakukan pendataan.  Dengan mekanisme seperti ini tentu tidak mudah bagi pemerintah kabupaten/ kota untuk melakukan perbaikan data di seluruh desa/ kelurahan secara berkala setiap tahun, sebagaimana yang diperintahkan di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019,  karena membutuhkan biaya yang cukup besar.

Agar DTKS dapat dijadikan sebagai data terpadu dalam penyaluran program kesejahteraan sosial maka sudah seharusnya semua lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah atau yang menggunakan anggaran bersumber dari pemerintah maupun masyarakat, dapat terhubung dengan DTKS secara real time.  Berdasarkan data inilah pengelola program dapat menentukan individu atau rumah tangga yang paling layak sebagai penerima manfaat program yang akan disalurkannya.  Penggunaan data terpadu ini sekaligus juga untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial.  Namun, dalam praktiknya untuk mendapat akses DTKS ini tidak mudah.  Sebagaimana yang diatur di dalam Permensos nomor 5 Tahun 2019, akses terhadap DTKS memerlukan prosedur yang ketat.  Apalagi data yang disediakan hanya berbentuk dokumen elektronik/ digital, bukan akses daring.   Dengan demikian maka pemerlu data  harus mengajukan permohonan setiap adanya perbaikan DTKS, yang tentunya akan sangat merepotkan.

Keterbatasan berbagai pemangku kepentingan untuk  mendapatkan akses terhadap DTKS sesungguhnya merupakan salah satu titik lemah  DTKS untuk dijadikan sebagai rujukan dalam pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial.  Hal ini tentunya tidak sejalan dengan Pasal 10 (3)  Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011  yang mengamatkan agar DTKS dapat “...dipergunakan oleh kementerian/lembaga terkait dalam penanganan fakir miskin dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat....”. Akses terhadap DTKS tidak saja dibutuhkan oleh kementerian/ lembaga pengelola program pelayanan sosial di tingkat pusat tetapi juga jajaran pemerintahan daerah dari tingkat terbawah (desa/ kelurahan) sampai ke provinsi.  Berbagai program pelayanan sosial yang tersedia di daerah baik yang bersumber dari dana pemerintah maupun masyarakat seperti dana CSR (corporated social renposibility) dan ZIS (zakat, infak dan sadaqah), selayaknya disalurkan dengan mengacu pada DTKS. Pemberian akses DTKS kepada pemerintahan desa/ kelurahan atau kecamatan sangat membantu dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat berbagai informasi terkait program pelayanan kesejahteraan sosial.  Keterbukaan informasi kepada masyarakat ini sangat berguna untuk meredam munculnya kecurigaan dan kecemburuan warga dalam penyaluran berbagai program pelayanan kesejateraan sosial.  Selain itu juga akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menyampaikan koreksi mereka guna perbaikan DTKS secara berkesinambungan. 

Upaya untuk mendekatkan pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat telah dirintis melalui pengembangan Puskesos (pusat pelayanan kesejahteraan sosial) di tingkat  desa/ kelurahan sejak tahun 2016.  Kegiatan ini mendapat bantuan dana dari Pemerintah Australia, yang berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial  yang diberi nama SLRT (Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu).  Melalui Puskesos yang dibantu oleh fasilitator lapangan,  warga masyarakat baik yang sudah maupun yang belum terdaftar di dalam DTKS  dapat menyampaikan berbagai keluhan mereka terkait dengan program pelayanan kesejahteraan sosial.  Untuk memperlancar kegiatannya, Puskesos dilengkapi dengan perangkat informasi berupa aplikasi SLRT.  Melalui aplikasi SLRT berbagai keluhan terkait program pelayanan kesejahteraan sosial dapat dirujuk secara real time dari Puskesos ke tingkat yang lebih tinggi untuk mendapatkan penanganan. 

Aplikasi yang digunakan pada awal kegiatan SLRT sesungguhnya memiliki fungsi yang cukup andal untuk membantu warga dalam menghadapi berbagai kesulitan terkait program pelayanan kesejahteraan sosial.  Tersedia lima fungsi aplikasi SLRT yaitu: (1) pencatatan pengusulan penambahan calon penerima manfaat; (2) pencatatan verifikasi data, yang digunakan untuk memperbaiki data penerima manfaat yang telah tercantum di dalam DTKS; (3) pencatatan kepesertaan program; (4) pencatatan usulan kebutuhan program; dan (5) pencatatan keluhan penerima manfaat.  Selain terhubung dengan pengelola kegiatan di tingkat kecamatan, kebupaten/kota dan pusat; aplikasi ini juga terhubung dengan DTKS sehingga informasi terkait dengan penerima manfaat yang tercantum di dalam DTKS dapat diakses oleh pengelola kegiatan di setiap jenjang.  Sayangnya,  sejak tahun 2019 penggunaan aplikasi ini dihentikan karena berbenturan dengan aturan tentang pemanfaatan DTKS sebagaimana yang digariskan  di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019.  Di dalam aturan ini akses terhadap DTKS secara daring tidak dimungkinkan.  Untuk mendapatkan DTKS secara digitalpun harus mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial c.q. Kepala Pusdatin.  Selain itu kegiatan yang terkait dengan fungsi (1) dan (2) telah dilaksanakan oleh Pusdatin dengan menggunakan aplikasi SIKS-NG.  Dengan demikian maka aplikasi SLRT saat ini hanya menjalankan fungsi (3), (4) dan (5) saja.

Belajar dari pengalaman penyelenggaraan SLRT kiranya diperlukan langkah pengintegrasian pengelolaan DTKS dan program pelayanan kesejahteraan sosial melalui pengembangan Puskesos secara berjenjang mulai dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai ke pusat.  Dengan mengembalikan lima fungsi Puskesos sebagaimana yang diterapkan pada awal penyelenggaraannya maka warga masyarakat mendapatkan kemudahan untuk menyampaikan berbagai permasalahan mereka terkait pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk untuk mengusulkan calon penerima manfaat baru dan perbaikan DTKS.  Dengan demikian proses perbaikan DTKS dapat dilaksanakan secara terus menerus dengan biaya yang lebih murah tanpa harus menunggu inisiatif dari dinas sosial.  Selain itu Puskesos juga dapat mengeluarkan surat keterangan kepesertaan program pelayanan kesejahteraan sosial kepada penerima manfaat sehingga dapat mengurangi biaya pencetakan dan pengiriman kartu kepesertaan program. Keberadaan Puskesos juga akan mempermudah  lembaga pengelola program pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan berbagai informasi dalam penyaluran program mereka. Salah satu prasyarat agar fungsi Puskesos dapat berjalan optimal adalah pemberian akses kepada Puskesos terhadap DTKS secara daring sesuai dengan lingkup wilayah kerjanya. 

Pengetatan akses terhadap DTKS sebagaimana yang diatur di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019 dimungkinkan karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan pengungkapan  data pribadi penerima manfaat.  Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dihindari apabila penerima manfaat memberikan persetujuan tertulis atas pengungkapan informasi pribadi tersebut, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 18 (2) Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.  Oleh karena itu untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah  atas pengungkapan data pribadi  maka disetiap pengisian data penerima manfaat untuk kebutuhan DTKS hendaknya disertai persetujuan tertulis penerima manfaat terhadap pengungkapan data pribadi mereka.

Mengingat ruang lingkup pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial mencakup berbagai pemangku kepentingan maka penataannya harus dilakukan secara lintas kelembagaan.  Fakta yang ditemui saat ini belum semua pemangku kepentingan menggunakan DTKS sebagai rujukan penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial.  Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan Dapodik (data pokok pendidikan) sebagai rujukan penyaluran KIP (Kartu Indonesia Pintar), bukan DTKS.  Begitu juga halnya dengan penyaluran KIS (Kartu Indonesia Sehat) oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, yang belum sejalan dengan penerima manfaat yang tertera di dalam DTKS.   Yang tidak kalah pentingnya adalah peran Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah dalam pelayanan administrasi kependudukan bagi keluarga yang tidak mampu.  Di sejumlah daerah saat ini masih ditemui warga masyarakat yang mendapatkan kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan mereka.  Padahal identitas kependudukan merupakan prasyarat agar penerima manfaat dapat dimasukkan ke dalam DTKS.  Semoga lembaga berwenang seperti halnya TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dan Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dapat mengambil perannya untuk melakukan pembenahan dalam pengelolaan DTKS ke depan.  

Senin, 29 Juni 2020

Mempersiapkan Petani Generasi Z


Sektor pertanian masih mempunyai peran penting di dalam perekonomian Indonesia.  Potensi sumber daya pertanian yang ada saat ini masih cukup besar.  Paling tidak  terdapat sekitar 8 Juta hektar lahan sawah, sekitar 18 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit, kelapa dan  karet (BPS, 2018) serta jutaan hektar areal pertanaman berbagai komoditas pertanian lainnya.  Potensi sumber daya yang ada ini perlu dijaga keberlangsungannya agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan rakyat. 

Menjaga keberlangsungan sektor pertanian juga berarti menjaga kesejahteraan hampir 36 juta petani yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini (Kementan, 2018). Sumber daya manusia pertanian ini hanya akan bertahan sebagai petani apabila usaha pertanian dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Jika tidak, mereka akan beralih profesi ke usaha non pertanian seperti industri dan jasa non pertanian lainnya. Untuk itu maka usahatani harus dikelola secara lebih efesien sehingga komoditas pertanian kita memiliki daya saing yang tinggi. Dengan demikian maka membangun pertanian yang berdayasaing agar mampu meningkatkan kesejahteraan petani menjadi kata kunci dalam upaya menjaga keberlangsungan sektor petanian nasional kedepan.

Dari hasil Sensus Pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian di semua sub sektor menunjukkan angka penurunan dibandingkan hasil sensus tahun 2003.  Sampai batas tertentu, penurunan  ini masih dianggap wajar karena adanya proses industrialisasi, yang berakibat berpindahnya tenaga kerja pertanian ke sektor industri.  Namun, apabila perpindahan ini tidak terkendali akan berpotensi menurunkan produksi pertanian dan mengancam keberlangsungan sektor pertanian.  Dampak negatif yang paling dikhawatirkan  adalah akan semakin meningkatnya ketergantungan negara kita terhadap produk pertanian impor, yang tentunya akan sangat berbahaya terhadap ketahanan nasional.

Kekhawatiran terhadap keberlangsungan sektor pertanian semakin mengemuka bila dilihat dari fakta rendahnya minat generasi muda yang terjun ke dunia pertanian.  Data Kementerian Pertanian pada Februari 2018 menunjukkan bahwa hanya sekitar 11% penduduk berumur 15 – 24 tahun yang bekerja pada sektor pertanian, sisanya berumur 25 tahun keatas, malah terdapat sekitar 19% yang berumur lebih dari 60 tahun. Kondisi ini semakin diperparah dengan mayoritas (86%) tenaga kerja sektor pertanian tersebut berpendidikan sekolah dasar.  Hanya 13% yang berpendidikan sekolah menengah atas.  Dengan demikian dapat dimaklumi akan cukup sulit mengandalkan sumber daya petani yang ada saat ini untuk  mampu berkreasi menghasilkan inovasi guna memecahkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi sekaligus meningkatkan daya saing  sektor pertanian. 

Pertanian Moderen

Untuk meningkatkan daya saing sektor pertanian, mau tidak mau usahatani kita harus dilakukan melalui penerapan pola pertanian moderen.  Paling tidak ada dua  aspek yang menjadi fitur pertanian moderen yaitu: pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi usahatani dan kelembagaan petani yang kuat untuk meningkatkan posisi tawar petani. Ketersediaan teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani menjadi faktor penentu agar petani dapat menghasilkan produk pertanian dengan produktivitas yang optimal. Untuk itu petani harus memiliki pengetahuan tentang pengelolaan usahatani yang baik serta akses untuk memperoleh  sarana produksi serta peralatan dan mesin  pertanian yang mereka butuhkan.

Informasi tentang teknologi anjuran dewasa ini tidak sulit didapat oleh petani.  Dengan  memanfaatkan teknologi informasi, petani yang bermukim di pelosok negeri sekalipun mempunyai kemudahan untuk memperoleh informasi tentang berbagai teknologi pertanian yang mereka butuhkan.  Hanya saja untuk menerapkan suatu teknologi  di lapangan bukanlah perkara yang sederhana.  Perlu proses agar suatu teknologi anjuran layak diadopsi oleh petani. Petani harus melakukan kaji terap untuk menguji kesesuaian suatu teknologi serta melakukan kalkulasi tingkat keuntungan pemanfaatan teknologi tersebut.  Disamping itu, apabila suatu teknologi membutuhkan sarana produksi pertanian  yang belum tersedia di sekitar mereka maka  petani harus memiliki akses kepada penyedia sarana produksi yang dibutuhkan tersebut.    

Kelembagaan petani yang kuat dibutuhkan agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam setiap transaksi usahatani mereka.  Kelembagaan yang baik merupakan sarana bagi petani untuk membuat berbagai kesepakatan berkenaan dengan usahatani mereka seperti  mengatur pola tanam agar ketersediaan produk pertanian dapat diatur sesuai dengan kebutuhan pasar, baik dari aspek kualitas, jumlah maupun waktunya.  Disamping itu, kelembagaan petani yang kuat dapat mempermudah petani dalam membentuk unit-unit usaha bersama guna memutus rantai tata niaga pertanian yang kurang efisien, baik dalam penyediaan sarana produksi maupun pemasaran hasil pertanian.

Penerapan teknologi anjuran dan kelembagaan petani yang kuat menjadi dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.  Ketersediaan teknologi anjuran yang mampu meningkatkan produktivitas pertanian tidak akan diterapkan secara berkelanjutan apabila petani tidak mendapatkan marjin usahatani yang adil.  Fakta yang sering ditemui di lapangan, harga sarana produksi yang terus melonjak ternyata tidak diikuti dengan kenaikan harga jual hasil produksi petani. Penyebabnya adalah karena petani hanya berperan sebagai penerima harga (price taker)  baik dalam penyediaan sarana produksi maupun pemasaran hasil panen.  Disinilah salah satu peran  penting kelembagaan petani yaitu menguatkan posisi tawar petani agar bergeser menjadi penentu harga (price maker).  

Menilik berbagai permasalahan yang dihadapi petani dalam meningkatkan daya saing pertanian maka permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan petani menjadi aspek yang layak mendapat prioritas.  Kelembagaan yang kuat diharapkan akan memperkuat posisi tawar mereka. Hanya dengan posisi tawar yang kuatlah petani akan mendapatkan marjin usahatani yang adil, yang selanjutnya  akan memicu petani untuk meningkatkan produktivitas melalui adopsi teknologi anjuran. Oleh karena itu menumbuhkembangkan kelembagaan petani yang kuat dalam menunjang pertanian moderen merupakan suatu keniscayaan.

Kita tidak bisa banyak berharap banyak dengan model kelembagaan petani seperti yang ada saat ini.  Dengan arus tata niaga pertanian yang sudah mencakup wilayah nasional bahkan internasional maka kelembagaan petani seharusnya mempunyai cakupan wilayah kerja yang sama.  Kelompok tani atau koperasi tani sudah tidak efektif lagi jika hanya memiliki wilayah kerja dalam satu atau beberapa desa tetapi harus mempunyai jejaring kerjasama paling tidak sampai pada tingkat nasional.  Untuk mengelola kelembagaan petani seperti ini tentu dibutuhkan sumber daya petani yang memiliki kemampuan manajemen kelembagaan petani yang memadai.  Selain itu juga memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi informasi karena hanya dengan memanfaatkan teknologi ini maka jejaring kelembagaan petani dapat dikembangkan secara lebih efektif dan efisien.

SDM Petani

Menghadapi  ancaman keberlanjutan pertanian nasional kedepan, terutama yang melibatkan petani kecil, maka perlu upaya revitalisasi pertanian ke arah penerapan pertanian moderen.  Untuk mendukung revitalisasi ini perlu upaya perbaikan mutu SDM petani agar mereka mampu membangun kelembagaan yang kuat serta menerapkan teknologi anjuran.    Tentu sangat mustahil proses ini dapat diterapkan dengan mengandalkan   petani dengan mutu yang ada saat ini.  Oleh karena itu perbaikan mutu SDM petani  sangat tertumpu pada proses regenerasi petani.  Apabila proses regenerasi ini tidak berjalan dengan baik maka akan sangat sulit untuk berharap pertanian kita dapat berkelanjutan dalam jangka panjang.

Dalam rentang waktu beberapa dekade ke depan  Generasi Z (penduduk kelahiran 1995 – 2010) kita sudah akan mulai masuk ke pasar kerja.  Mereka inilah yang nantinya secara bertahap akan menggantikan tenaga kerja pertanian yang ada saat ini.   Tentu kita berharap proses regenerasi tenaga kerja ini dapat berjalan disertai dengan peningkatan kualitas SDM pertanian.  Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki rancang bangun yang memadai untuk menyiapkan generasi ini menjadi petani moderen kelak.

Ada beberapa aspek yang perlu mendapat perhatian dalam menyiapkan proses regenerasi petani ini.  Paling tidak, petani yang saat ini didominasi oleh tamatan sekolah dasar secara bertahap dapat diganti oleh petani yang berpendidikan lebih tinggi sehingga kemampuan petani untuk mengadopsi pertanian moderen dapat lebih meningkat.  Penyediaan pendidikan kejuruan pertanian tentu sangat membantu dalam penyediaan SDM terampil.  Hanya saja kurikulum pendidikan kejuruan pertanian hendaknya tidak semata memberikan bekal dalam aspek budidaya pertanian tetapi juga tentang pemasaran dan kelembagaan petani.  Selain itu perlu  juga perlu pengenalan teknologi informasi, yang diharapkan akan menjadi alat bantu yang efektif dalam penerapan pertanian moderen.

Keberadaan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) merupakan salah satu harapan dalam penyiapan SDM terampil.  Hal ini telah dikukuh di dalam RPJMN yang menggariskan bahwa pendidikan SMK akan dikembangkan sejalan dengan kegiatan ekonomi utama daerah.  Namun, faktanya ketersediaan SMK di wilayah dengan kegiatan ekonomi utama pertanian tidak sejalan dengan kebijakan tersebut.  Sebagai contoh, di sepuluh provinsi di Sumatera dengan kegiatan ekonomi utama sektor pertanian ternyata belum tersedia secara memadai SMK yang mengampu bidang keahlian pertanian.  Dari 2.972 SMK negeri dan swasta yang ada di sepuluh provinsi tersebut, hanya 474 SMK atau 16%  yang memiliki bidang keahlian Agrisbisnis dan Agroteknologi.  Bidang keahlian Teknologi dan Rekayasa serta Bisnis dan Manajamen ternyata menjadi jurusan favorit bagi siswa SMK di daerah ini, sama seperti yang ditemui di pulau Jawa dimana sektor industrinya memang relatif lebih berkembang.

Menata pendidikan SMK agar dapat mendukung pengembangan pertanian perlu mendapatkan perhatian dalam rangka menyiapkan petani Generasi Z kita.  Tenaga terampilan lulusan SMK dengan bidang keahlian pertanian merupakan salah satu potensi SDM dalam pengelolaan pertanian moderen. Penataan pendidikan SMK ini tidak saja dilakukan melalui penyediaan sarana pendidikan yang bermutu tetapi harus disertai dengan peningkatan minat lulusan SLTP untuk melanjutkan pendidikan ke SMK bidang keahlian pertanian.  Untuk itu pengenalan potensi perekonomian daerah hendaknya menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar.

Menjaga Jati Diri Koperasi

  Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Mei 2014 yang membatalkan secara keseluruhan Undang-undang Nomor 17   tahun 2012 tentang Perkoper...