Minggu, 10 Januari 2021

Membenahi Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial

 

Munculnya kericuhan di sejumlah tempat akibat dari ketidakpuasan warga terhadap penyaluran bansos (bantuan sosial) Covid-19 pada pertengahan tahun 2020 hendaknya menjadi perhatian para pemangku kepentingan  untuk membenahi tata kelola penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial yang ada saat ini. Protes yang sebagian besar ditujukan kepada aparat pemerintahan desa/ kelurahan disertai dengan berbagai aksi kericuhan seperti pengrusakan sarana publik, mencermin betapa pentingnya peran pemerintahan di tingkat yang paling bawah yaitu desa atau kelurahan dalam pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial, yang dewasa ini sangat dominan dikucurkan dari pemerintah pusat.  Dapat dipastikan munculnya aksi protes dan kericuhan ini karena aparat pemerintahan desa/ kelurahan tidak mampu menjawab secara memadai pertanyaan yang diajukan oleh warganya, terutama tentang mengapa mereka tidak terdaftar sebagai penerima bansos sementara orang lain yang dianggap setara dengan mereka terdaftar sebagai penerima manfaat. Tentu tidak mudah bagi aparat pemerintahan desa/ kelurahan untuk menjawab pertanyaan seperti ini karena mereka tidak terhubung dengan informasi yang terkait dengan penyaluran bansos tersebut.

Aksi protes dan kericuhan seperti yang terjadi pada kasus penyaluran bansos Covid-19 diatas seharusnya tidak hanya dilihat dari kejadian sesaat.  Sangat dimungkinkan  hal itu  merupakan akumulasi kekecewaan warga terhadap penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial yang ada selama ini.  Alasan ini sangat masuk akal bila dilihat dari laporan BPS di dalam Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2020 dengan menggunakan data Susenas Maret 2019 sampai dengan Maret 2020, yang diperlihatkan pada gambar di bawah ini. Ternyata hanya sebagian kecil rumah tangga miskin (Q1 – Q2) yang mendapat akses terhadap program pelayanan kesejahteraan sosial yang disediakan oleh pemerintah pusat.  Sebaliknya malah ditemukan rumah tangga yang relatif sejahtera (Q3 – Q5) justru menjadi penerima program.  Oleh karena itu sulit untuk disangkal jika kasus ketidaktepatan sasaran seperti yang dilaporkan oleh BPS ini sangat berpotensi menjadi bahaya laten yang dapat memicu munculnya berbagai gejolak sosial.

Gambar 1. Persentase Rumah Tangga Penerima Kartu Keluarga Sejahtera  

 


Gambar 2. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Indonesia Pintar (PIP)



Gambar 3. Persentase Rumah Tangga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH)



Secara sederhana ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran program pelayanan kesejahteraan sosial sebagaimana digambarkan di atas dapat disebab oleh dua hal.  Pertama, data yang digunakan untuk menentukan calon penerima program  tidak sesuai dengan keadaan di lapangan.  Hal ini tidak saja terkaitnya dengan kualitas data yang dikumpulkan pada saat pendataan awal tetapi juga kemampuan mengelola agar data tersebut tetap up to date. Pengelolaan ini menjadi penting karena kondisi sosial ekonomi penduduk selalu berubah, yang berdampak kepada perubahan tingkat kesejahteraan mereka.  Kedua, lembaga penyalur program tidak menggunakan data calon penerima manfaat yang sudah disediakan. Walaupun data calon penerima manfaat yang tersedia sudah akurat, apabila tidak digunakan sebagai rujukan oleh lembaga pengelola berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial maka ketidaktepatan sasaran penerima program besar kemungkinan juga akan terjadi. 

Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Kementerian Sosial diberi tanggung jawab untuk mengelola data terpadu penanganan fakir miskin , yang disebut dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Selain berisi daftar rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40% terbawah  by name by address, DTKS ini juga  menyediakan berbagai informasi berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan kepesertaan program rumah tangga tersebut.  Untuk menjaga agar DTKS tetap up to date, Kemensos melakukan perbaikan data secara berkala melalui kegiatan pendataan, verifikasi dan validasi. Operasional kegiatan pendataan ini di lapangan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/ kota.  Saat ini Kemensos telah menjadualkan perbaikan DTKS dua kali setahun. Dengan demikian pemerinah kabupaten/ kota mempunyai peluang untuk mengusulkan perbaikan data setiap periode tersebut.  Hanya saja dalam praktiknya proses ini tidak berjalan dengan baik.  Dari hasil evaluasi Kemensos yang disajikan pada aplikasi SIKS-Dataku, diperlihatkan hanya 183 (35%) kabupaten/kota yang sudah mengusulkan perbaikan DTKS dengan cakupan lebih dari 50% sampai dengan periode Oktober 2020. Bahkan ada kabupaten/kota yang belum pernah sama sekali mengusulkan perbaikan data.  Keadaan ini tentunya memberikan gambaran rendahnya akurasi DTKS saat ini, yang sesungguhnya merujuk pada BDT (Basis Data Terpadu) yang disusun oleh BPS pada tahun 2015.

Bercermin dari rendahnya cakupan perbaikan DTKS diatas dapat disimpulkan bahwa  pemerintah kabupaten/ kota masih terkendala dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan pendataan, validasi dan verifikasi DTKS.  Dari mekanisme pengelolaan DTKS yang disusun oleh Kemensos melalui Permensos Nomor 28 Tahun 2017 terdapat sejumlah titik penghambat yang dapat menjadi menyebabkan proses pendataan oleh pemerintah kabupaten/ kota tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.  Salah satunya karena pelaksanaan kegiatan ini  sangat tergantung pada inisiatif dinas sosial kabupaten/ kota karena tahapan pendataan diawali dengan penyusunan prelist awal,  berisi daftar rumah tangga  di suatu wilayah yang tercatat di dalam DTKS. Prelist awal ini hanya dimiliki oleh dinas sosial kabupaten/ kota karena hanya dinas sosial yang memiliki akses terhadap DTKS.  Selanjutnya prelist awal  dibahas di dalam musyawarah desa/ kelurahan untuk penyusunan prelist akhir, yang dijadikan dasar oleh petugas untuk melakukan pendataan.  Dengan mekanisme seperti ini tentu tidak mudah bagi pemerintah kabupaten/ kota untuk melakukan perbaikan data di seluruh desa/ kelurahan secara berkala setiap tahun, sebagaimana yang diperintahkan di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019,  karena membutuhkan biaya yang cukup besar.

Agar DTKS dapat dijadikan sebagai data terpadu dalam penyaluran program kesejahteraan sosial maka sudah seharusnya semua lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah atau yang menggunakan anggaran bersumber dari pemerintah maupun masyarakat, dapat terhubung dengan DTKS secara real time.  Berdasarkan data inilah pengelola program dapat menentukan individu atau rumah tangga yang paling layak sebagai penerima manfaat program yang akan disalurkannya.  Penggunaan data terpadu ini sekaligus juga untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial.  Namun, dalam praktiknya untuk mendapat akses DTKS ini tidak mudah.  Sebagaimana yang diatur di dalam Permensos nomor 5 Tahun 2019, akses terhadap DTKS memerlukan prosedur yang ketat.  Apalagi data yang disediakan hanya berbentuk dokumen elektronik/ digital, bukan akses daring.   Dengan demikian maka pemerlu data  harus mengajukan permohonan setiap adanya perbaikan DTKS, yang tentunya akan sangat merepotkan.

Keterbatasan berbagai pemangku kepentingan untuk  mendapatkan akses terhadap DTKS sesungguhnya merupakan salah satu titik lemah  DTKS untuk dijadikan sebagai rujukan dalam pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial.  Hal ini tentunya tidak sejalan dengan Pasal 10 (3)  Undang-undang Nomor 13 Tahun 2011  yang mengamatkan agar DTKS dapat “...dipergunakan oleh kementerian/lembaga terkait dalam penanganan fakir miskin dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat....”. Akses terhadap DTKS tidak saja dibutuhkan oleh kementerian/ lembaga pengelola program pelayanan sosial di tingkat pusat tetapi juga jajaran pemerintahan daerah dari tingkat terbawah (desa/ kelurahan) sampai ke provinsi.  Berbagai program pelayanan sosial yang tersedia di daerah baik yang bersumber dari dana pemerintah maupun masyarakat seperti dana CSR (corporated social renposibility) dan ZIS (zakat, infak dan sadaqah), selayaknya disalurkan dengan mengacu pada DTKS. Pemberian akses DTKS kepada pemerintahan desa/ kelurahan atau kecamatan sangat membantu dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapat berbagai informasi terkait program pelayanan kesejahteraan sosial.  Keterbukaan informasi kepada masyarakat ini sangat berguna untuk meredam munculnya kecurigaan dan kecemburuan warga dalam penyaluran berbagai program pelayanan kesejateraan sosial.  Selain itu juga akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut menyampaikan koreksi mereka guna perbaikan DTKS secara berkesinambungan. 

Upaya untuk mendekatkan pelayanan kesejahteraan sosial kepada masyarakat telah dirintis melalui pengembangan Puskesos (pusat pelayanan kesejahteraan sosial) di tingkat  desa/ kelurahan sejak tahun 2016.  Kegiatan ini mendapat bantuan dana dari Pemerintah Australia, yang berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial  yang diberi nama SLRT (Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu).  Melalui Puskesos yang dibantu oleh fasilitator lapangan,  warga masyarakat baik yang sudah maupun yang belum terdaftar di dalam DTKS  dapat menyampaikan berbagai keluhan mereka terkait dengan program pelayanan kesejahteraan sosial.  Untuk memperlancar kegiatannya, Puskesos dilengkapi dengan perangkat informasi berupa aplikasi SLRT.  Melalui aplikasi SLRT berbagai keluhan terkait program pelayanan kesejahteraan sosial dapat dirujuk secara real time dari Puskesos ke tingkat yang lebih tinggi untuk mendapatkan penanganan. 

Aplikasi yang digunakan pada awal kegiatan SLRT sesungguhnya memiliki fungsi yang cukup andal untuk membantu warga dalam menghadapi berbagai kesulitan terkait program pelayanan kesejahteraan sosial.  Tersedia lima fungsi aplikasi SLRT yaitu: (1) pencatatan pengusulan penambahan calon penerima manfaat; (2) pencatatan verifikasi data, yang digunakan untuk memperbaiki data penerima manfaat yang telah tercantum di dalam DTKS; (3) pencatatan kepesertaan program; (4) pencatatan usulan kebutuhan program; dan (5) pencatatan keluhan penerima manfaat.  Selain terhubung dengan pengelola kegiatan di tingkat kecamatan, kebupaten/kota dan pusat; aplikasi ini juga terhubung dengan DTKS sehingga informasi terkait dengan penerima manfaat yang tercantum di dalam DTKS dapat diakses oleh pengelola kegiatan di setiap jenjang.  Sayangnya,  sejak tahun 2019 penggunaan aplikasi ini dihentikan karena berbenturan dengan aturan tentang pemanfaatan DTKS sebagaimana yang digariskan  di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019.  Di dalam aturan ini akses terhadap DTKS secara daring tidak dimungkinkan.  Untuk mendapatkan DTKS secara digitalpun harus mengajukan permohonan kepada Menteri Sosial c.q. Kepala Pusdatin.  Selain itu kegiatan yang terkait dengan fungsi (1) dan (2) telah dilaksanakan oleh Pusdatin dengan menggunakan aplikasi SIKS-NG.  Dengan demikian maka aplikasi SLRT saat ini hanya menjalankan fungsi (3), (4) dan (5) saja.

Belajar dari pengalaman penyelenggaraan SLRT kiranya diperlukan langkah pengintegrasian pengelolaan DTKS dan program pelayanan kesejahteraan sosial melalui pengembangan Puskesos secara berjenjang mulai dari tingkat desa/ kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai ke pusat.  Dengan mengembalikan lima fungsi Puskesos sebagaimana yang diterapkan pada awal penyelenggaraannya maka warga masyarakat mendapatkan kemudahan untuk menyampaikan berbagai permasalahan mereka terkait pelayanan kesejahteraan sosial, termasuk untuk mengusulkan calon penerima manfaat baru dan perbaikan DTKS.  Dengan demikian proses perbaikan DTKS dapat dilaksanakan secara terus menerus dengan biaya yang lebih murah tanpa harus menunggu inisiatif dari dinas sosial.  Selain itu Puskesos juga dapat mengeluarkan surat keterangan kepesertaan program pelayanan kesejahteraan sosial kepada penerima manfaat sehingga dapat mengurangi biaya pencetakan dan pengiriman kartu kepesertaan program. Keberadaan Puskesos juga akan mempermudah  lembaga pengelola program pelayanan kesejahteraan sosial untuk mendapatkan berbagai informasi dalam penyaluran program mereka. Salah satu prasyarat agar fungsi Puskesos dapat berjalan optimal adalah pemberian akses kepada Puskesos terhadap DTKS secara daring sesuai dengan lingkup wilayah kerjanya. 

Pengetatan akses terhadap DTKS sebagaimana yang diatur di dalam Permensos nomor 5 tahun 2019 dimungkinkan karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan pengungkapan  data pribadi penerima manfaat.  Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dihindari apabila penerima manfaat memberikan persetujuan tertulis atas pengungkapan informasi pribadi tersebut, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 18 (2) Undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.  Oleh karena itu untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah  atas pengungkapan data pribadi  maka disetiap pengisian data penerima manfaat untuk kebutuhan DTKS hendaknya disertai persetujuan tertulis penerima manfaat terhadap pengungkapan data pribadi mereka.

Mengingat ruang lingkup pengelolaan program pelayanan kesejahteraan sosial mencakup berbagai pemangku kepentingan maka penataannya harus dilakukan secara lintas kelembagaan.  Fakta yang ditemui saat ini belum semua pemangku kepentingan menggunakan DTKS sebagai rujukan penyaluran berbagai program pelayanan kesejahteraan sosial.  Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggunakan Dapodik (data pokok pendidikan) sebagai rujukan penyaluran KIP (Kartu Indonesia Pintar), bukan DTKS.  Begitu juga halnya dengan penyaluran KIS (Kartu Indonesia Sehat) oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, yang belum sejalan dengan penerima manfaat yang tertera di dalam DTKS.   Yang tidak kalah pentingnya adalah peran Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah dalam pelayanan administrasi kependudukan bagi keluarga yang tidak mampu.  Di sejumlah daerah saat ini masih ditemui warga masyarakat yang mendapatkan kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan mereka.  Padahal identitas kependudukan merupakan prasyarat agar penerima manfaat dapat dimasukkan ke dalam DTKS.  Semoga lembaga berwenang seperti halnya TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dan Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) dapat mengambil perannya untuk melakukan pembenahan dalam pengelolaan DTKS ke depan.  

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah