Bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa yang harus dijaga kelestariannya. Kepunahan suatu bahasa daerah dapat terjadi karena habisnya penutur bahasa tersebut atau karena masuknya bahasa lain yang lebih dominan sehingga menggerus penggunaan bahasa daerah oleh penduduk setempat. Oleh karena itu pedokumentasian bahasa daerah, terutama yang rentan terhadap kepunahan, perlu dilakukan sesegera mungkin. Salah satu upaya pendokumentasian adalah penyusunan kamus bahasa daerah.
Belajar dari pengalaman saya sebagai penutur jati di dalam tim penyusun Kamus Melayu Jambi Dialek Jambi Seberang – Indonesia, paling tidak ada empat hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan kamus bahasa daerah. Pertama, tim penyusun harus terdiri dari ahli bahasa dan penutur jati bahasa daerah tersebut. Penutur jati ini hendaknya tidak hanya dijadikan sebagai narasumber tetapi sebagai anggota tim yang harus aktif terlibat di dalam setiap aktifitas penyusunan kamus. Oleh karena itu ia harus juga mempunyai pemahaman kebahasaan yang memadai serta mampu berkomunikasi secara baik dengan anggota tim lainnya. Kemampuan berkomunikasi seorang penutur jati ini penting agar anggota tim lainnya, terutama ahli bahasa, dapat secara paripurna memahami makna suatu kata atau frasa bahasa daerah yang dijadikan bahasa sumber.
Memaknai suatu kata atau frasa bahasa daerah seringkali mengalami kesulitan karena tidak adanya padanan langsung yang tepat di dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh kata jolak pada dialek Jambi Seberang secara harfiah diterjemahkan dengan mendorong dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya kata jolak bermakna mendorong dengan seketika seperti halnya seseorang mendorong temannya yang berada di tepi sungai agar tercebur ke dalam air. Sementara itu kata dorong digunakan juga di dalam dialek Jambi Seberang seperti halnya norong mobil (mendorong mobil), yang berkonotasi mendorong dalam jangka yang relatif lama. Makna yang tersirat di dalam suatu kata atau frasa seperti ini hanya bisa dirasakan oleh penutur jati yang seharusnya dapat ia jelaskan secara baik kepada anggota penyusun lainnya.
Kedua, untuk melengkapi daya guna kamus sebaiknya dicantumkan atribut kebahasaan pada setiap lema dan sub lema. Atribut ini setidaknya meliputi kelas kata (adverbia, adjektiva, nomina, numeralia, partikel, pronomina dan verba) dan ragam bahasa (arkais, hormat dan kasar). Kelas kata penting artinya agar suatu kata digunakan pada konteks yang tepat di dalam kalimat. Kadangkala ditemui suatu kata bahasa daerah berkelas tertentu sementara itu pada kata terjemahannya berkelas lebih dari satu atau sebaliknya. Dengan perbedaan kelas ini maka penggunaan kata tersebut tentu akan berbeda pula. Sedangkan ragam bahasa diperlukan untuk menjelaskan kelayakan penggunaan suatu kata dalam situasi tertentu. Kata dengan ragam arkais memberikan gambaran bahwa kata tersebut tidak lazim lagi digunakan saat ini. Sedangkan ragam hormat dan kasar memberikan acuan tentang kapan sebaiknya kata tersebut digunakan. Akan lebih bermanfaat lagi apabila setiap lema dan sub lema disertai juga dengan contoh kalimat sehingga orang dapat lebih memahami konteks pemakaiannya secara lebih baik.
Ketiga, seringkali ditemui pelafalan suatu kata bahasa daerah kurang tepat jika ditulis dengan menggunakan abjad bahasa Indonesia. Sebagai contoh pelafalan huruf k pada setiap kata yang berakhiran k di dalam dialek Jambi Seberang selalu dilafalkan dengan bunyi glotal seperti halnya huruf hamzah dalam bahasa Arab. Oleh karena itu di dalam pelafalannya tidak tepat jika menggunakan huruf k melainkan dengan simbol Ɂ. Selain itu ditemui juga bunyi huruf r yang pelafalannya tanpa menggetarkan lidah seperti huruf gh sehingga di dalam kamus digunakan simbol Ɍ. Ada juga vokal yang dilafalkan antara bunyi huruf u dan o yang ditulis dengan simbol ʊ, serta vokal dengan lafal antara bunyi i dan e yang ditulis dengan simbol ɨ. Mendokumentasikan pelafalan secara benar penting dilakukan, jika tidak maka suatu kata bahasa daerah akan kedengaran “lucu” atau bahkan dapat bermakna lain.
Terakhir, di dalam penyusunan kamus untuk pendokumentasian bahasa daerah sebaiknya bahasa daerah tersebut dijadikan sebagai bahasa sumber. Apabila bahasa daerah dijadikan bahasa sasaran maka kosakata bahasa daerah yang tidak memiliki padanan langsung dengan bahasa sumber akan berpeluang terlewatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar