Jumat, 02 Juli 2010

KINERJA PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN DI PROVINSI JAMBI


ABSTRACT

A research aiming to asses the performance of agricultural field extension workers in Jambi Province and to investigate some factors which influenced it was conducted on April 2010. The data was collected through a survey on 56 extension workers in five districts/ municipalities. The result of the research showed that the performace of the respondens in the year of 2009 was on average score of 29,15 from maximum score of 100. The majority of the respondens (89,3%) had low and very low performance. From eleven variables considered as determinant factors to extension workers' performance, there were two variables had very significant (p<0.05) correlation which were working period in the area and the number of farmers in the working areas with correlation coeficient of 0.291 and 0,358. Two variables had significant (p<0.10) correlation which were additional incentives and extension workers' knowledge with correlation coeficient of 0.229 and 0.261. While, the other variables: age, sex, formal education, technical training, occupational position, distance of working area, and additional activities had no significant (p>0.10) correlation to extension workers' performance. It was concluded that the performance of agricultural extension workers in Jambi Province was still low. From eleven variables tested there was none of them had strong influence to extension workers' performance.

Key words: extension workers, performance, Jambi Province


PENDAHULUAN

Sektor pertanian merupakan sumber perekonomian utama Provinsi Jambi. Sektor ini memberikan kontribusi tertinggi dari sembilan sektor pembentuk PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Provinsi Jambi pada tahun 2008 yaitu sebesar 30,45 persen (berdasarkan harga konstan). Selain itu sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu 58,22 persen dari total angkatan kerja berumur 15 tahun keatas (Anonim, 2009). Oleh karena itu keberhasilan pembangunan pertanian sangat menentukan peningkatan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jambi.


Pengalaman menunjukkan bahwa penyuluhan pertanian di Indonesia telah memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap keberhasilan berbagai program pembangunan pertanian. Sebagai contoh, melalui program Bimas (Bimbingan Massal) penyuluhan pertanian dapat menghantarkan bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Pada saat itu penyuluhan diatur secara tersentralisasi dari pusat, dengan ujung tombak PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan), yang dilatih untuk mengajar petani dan menyampaikan rekomendasi yang telah disusun dalam paket-paket teknologi, melalui sistem latihan dan kunjungan (Anonim, 2005).

Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluh pertanian, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Salah satu dampak negatif dari kebijakan ini adalah cenderung semakin terbatasnya sarana dan dana yang dapat dialokasikan untuk menunjang kegiatan penyuluh pertanian di lapangan sehingga menurunkan kinerja para penyuluh. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Pertanian RI bahwa kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah (Sinar Harapan, 2008). Jika hal serupa ini juga terjadi di Provinsi Jambi maka dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap pembangunan pertanian dan perekonomian daerah. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan yang ada di Provinsi Jambi saat ini, dengan tujuan:

  1. Diketahuinya kinerja penyuluh pertanian lapangan dalam menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya di Provinsi Jambi.
  2. Diketahuinya sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian lapangan di Provinsi Jambi.


METODE PENELITIAN

  1. Kerangka Pikir

Bernadin dan Russel dalam Ruky (2001:15) mendefinisikan kinerja (performance) sebagai catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Fungsi dari pekerjaan seorang penyuluh pertanian tercermin dari tugas pokoknya, sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: Per/02/ Menpan/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya, yaitu melakukan persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, serta pengembangan penyuluhan pertanian. Tugas pokok ini dijabarkan menjadi sejumlah kegiatan dan sub kegiatan penyuluhan (Anonim, 2008). Sejalan dengan itu maka penilaian kinerja penyuluh pertanian yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan indikator yang sesuai dengan tugas pokok diatas. Karena penelitian ini lebih difokuskan pada kegiatan lapangan maka komponen kegiatan pengembangan penyuluhan, yang lebih dominan sebagai penunjang profesi penyuluh, tidak dijadikan sebagai komponen penilaian.

Cokroaminoto (2007) menyatakan ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis seperti umur, pendidikan, masa kerja, jabatan fungsional dan jarak tempat tinggal. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Kelompok variabel organisasi terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Pada penelitian dilakukan pengujian untuk mengetahui pengaruh sebelas variabel terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan. Variabel yang diuji adalah: umur, jenis kelamin, pendidikan formal, pelatihan teknis, pangkat, jarak tempat tinggal, lama bertugas, jumlah petani di wilayah kerja, kegiatan tambahan, insentif tambahan dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip dasar penyuluhan pertanian,.

  1. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah penyuluh pertanian lapangan PNS di Provinsi Jambi. Berdasarkan data awal tahun 2010 terdapat penyuluh pertanian PNS yang berada di lapangan sebanyak 831 orang. Besar sampel yang digunakan mengacu pada Simamora (2008). Dengan menggunakan tingkat kesalahan sampel sebesar 13% maka besar sampel penelitian ini adalah 56 penyuluh. Wilayah survey ditentukan secara sengaja dengan mempertimbangkan keterwakilan agroekosistem dan sosial budaya masyarakat yaitu Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci. Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi. Jumlah sampel ditentukan secara proporsional sesuai dengan jumlah populasi, tingkat pendidikan dan jenis kelamin penyuluh di masing-masing wilayah survey.

  1. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2010 melalui wawancara dan melihat bukti administratif yang dimiliki oleh penyuluh responden. Verifikasi terhadap kegiatan penyuluhan di lapangan dilakukan melalui wawancara dengan petani, terutama ketua kelompoktani, serta pengamatan lapangan. Penentuan tingkat kinerja dilakukan dengan pemberian skor terhadap setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh penyuluh selama tahun 2009. Total skor kinerja penyuluh dihitung dengan mempertimbangkan bobot setiap kegiatan penyuluhan sebagaimana berikut ini:

  1. Persiapan penyuluhan (15):
    1. Identifikasi potensi wilayah (3,75).
    2. Memandu penyusunan rencana usaha petani (3,75).
    3. Penyusunan programa penyuluhan (3,75).
    4. Penyusunan rencana kerja penyuluhan pertanian tahunan (3,75).
  2. Pelaksanaan penyuluhan pertanian (70):
    1. Penyusunan materi penyuluhan (3,75)
    2. Perencanaan dan penerapan metode penyuluhan pertanian (55)
      1. Kunjungan tatapmuka/anjangsana perorangan (5)
      2. Kunjungan tatapmuka/anjangsana kelompok (20).
      3. Kunjungan tatapmuka/anjangsana massal (5).
      4. Uji coba dan demonstrasi (10).
      5. Temu, pameran dan lomba (3,75).
      6. Karya wisata, mimbar sarasehan dan magang (3,75).
      7. Kursus tani (3,75).
      8. Penumbuhan penyuluh swadaya (3,75)
    3. Menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani (11,25)
      1. Menumbuhkan kelompoktani baru (3,75).
      2. Meningkatkan kelas kelompoktani (3,75).
      3. Memfasilitasi kerjasama kelompoktani (3,75).
  3. Evaluasi dan pelaporan (15):
    1. Evaluasi pelaksanaan penyuluhan (7,5).
    2. Pelaporan pelaksanaan kegiatan penyuluhan (7,5).

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 16. Model analisis yang digunakan terdiri dari analisis deskriptif, uji beda nyata dan korelasi bivariat. Analisis korelasi data berskala interval dan rasio menggunakan model korelasi Pearson, sedang untuk data berskala ordinal menggunakan model korelasi Spearman. Data tentang pengetahuan penyuluh, yang merupakan data berskala ordinal karena pengukurannya dilakukan dengan menggunakan model skala Likert, terlebih dahulu distandarisasi dengan metode MSI (Methods of Successive Interval). Melalui cara ini maka data dimaksud dapat dianalisis dengan menggunakan model korelasi Pearson (Waryanto dan Millafati, 2006). Penentuan tingkat keeratan korelasi berpedoman pada Muhidin dan Abdurahman (2007:127). Penarikan kesimpulan terhadap hasil analisis mengacu pada Triola (1998).


HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Kinerja Penyuluh

Dari skor total kinerja 56 penyuluh yang menjadi responden penelitian ini didapat sebaran tingkat kinerja sebagai berikut:

  1. Sangat rendah (skor < 20) : 12 orang (21,4%)
  2. Rendah (skor 20 s/d < 40) : 38 orang (67,9%)
  3. Sedang (skor 40 s/d < 60) : 6 orang (10,7%)
  4. Tinggi (skor 60 s/d < 80) : 0 orang (0%)
  5. Sangat tinggi (skor > 80) : 0 orang (0%)

Skor total kinerja penyuluh responden berada pada rataan 29,15 dengan nilai SE (standard error of mean) 1,42. Dengan demikian maka diperoleh nilai galat marjin (margin of error) pada = 0,05 sebesar 1,96 x 1,42 = 2,78. Secara statistik angka ini memberikan indikasi bahwa nilai rataan kinerja penyuluh lapangan di Provinsi Jambi berada pada kisaran 29,15 + 2,78 atau pada kategori rendah.

Tabel 1. Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan


Aspek Penilaian

Skor

Maksimal

Tingkat Kinerja

Terendah

Tertinggi

Rataan

SE

Persiapan

Pelaksanaan

Evaluasi dan pelaporan

15

70

15

1,88

0,00

0,00

11,25

39,38

9,38

7,23

18,17

3,75

0,26

1,14

0,23

Total

100

4,69

56,25

29,15

1,42


Dari kinerja tiga aspek kegiatan penyuluhan sebagaimana disajikan pada tabel 1 didapat tingkat kinerja terendah pada aspek evaluasi dan pelaporan. Pada penelitian ini tidak ditemui penyuluh yang menyusun evaluasi terhadap pelaksanaan maupun dampak kegiatan penyuluhan yang mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas mengevaluasi dan melaporkan hasil pelaksanaan dan dampak penyuluhan pertanian belum menjadi bagian integral dari rangkaian penyelenggaraan penyuluhan pertanian oleh penyuluh responden. Menurut van den Ban dan Hawkin (1999) evaluasi merupakan alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Hasil evaluasi sangat dibutuhkan dalam memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam perencanaan, program, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk merancang kebijakan penyuluhan selanjutnya.

Malcom Provus dalam Tayibnapis (2000) mengajukan konsep discrepancy evaluation yaitu mencari ketidakcocokan (discrepancy) atau selisih antara kinerja program dengan baku sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu kualitas evaluasi penyelenggaraan penyuluhan akan sangat ditentukan oleh ketepatan sasaran yang ditetapkan di dalam RKPT (Rencana Kerja Penyuluh Tahunan). Dari 93% responden penyuluh yang menyusun RKPT pada tahun 2009 ternyata dokumen perencanaan ini hanya digunakan sebagai persyaratan administratif untuk mendapatkan BOP (Biaya Operasional Penyuluh). Dilihat dari aspek isi, RKPT yang disusun secara umum belum memenuhi kaidah yang digariskan di dalam Anonim (2009a) yaitu terukur, realistis, bermanfaat dan dapat dilaksanakan oleh seorang penyuluh di wilayah kerjanya. Dengan kondisi seperti itu maka evaluasi pelaksanaan penyuluhan akan sulit dilakukan dengan baik.

Dalam sub kegiatan penerapan metode penyuluhan, kunjungan tatapmuka/anjangsana (perorangan, kelompok dan massal) merupakan kegiatan utama sebagai sarana bagi penyuluh untuk melakukan komunikasi timbal balik dengan pelaku utama dan usaha di wilayah binaannya. Kinerja kegiatan ini yang dilaksanakan oleh penyuluh responden masih rendah, dengan rataan 11,56 dari skor maksimal 30. Dari kegiatan kunjungan tatapmuka/anjangsana yang dilaksanakan oleh penyuluh responden dirangkum sejumlah temuan sebagai berikut:

  1. Kunjungan tatapmuka/anjangsana kelompok umumnya hanya dilaksanakan apabila ada kegiatan yang berkaitan dengan pemberian bantuan pemerintah. Salah satu penyebab sulitnya pelaksanaan kegiatan ini karena sebagian besar kelompoktani tidak memiliki jadual pertemuan rutin. Selain itu kelompoktani yang dibina oleh setiap penyuluh belum mencapai jumlah ideal. Sebagian besar penyuluh (55,4%) hanya membina kelompoktani dengan jumlah kurang dari 8 kelompok. Berdasarkan Anonim (2007) setiap penyuluh idealnya membina 8 – 16 kelompoktani.
  2. Model kunjungan yang dominan diterapkan oleh penyuluh adalah tatapmuka/anjangsana perorangan dengan mengunjungi pengurus kelompoktani dan petani maju. Dengan cara ini maka petani maju cenderung lebih banyak mendapat perhatian sehingga semakin memperlebar kesenjangan kemampuan antara petani tertinggal dengan petani maju.
  3. Ditemui adanya kebijakan di sejumlah wilayah yang mewajibkan penyuluh untuk mengisi daftar hadir di kantor Balai Penyuluhan kecamatan setiap hari. Kebijakan seperti ini tentunya akan memberikan beban ganda kepada penyuluh terutama dalam melaksanakan kegiatan kunjungan tatapmuka/anjangsana, yang umumnya dilaksanakan di luar jam kerja yaitu sore atau malam hari.

Secara umum penyuluhan pertanian yang dilaksanakan oleh penyuluh responden lebih berorientasi pada pengembangan komoditas, terutama pangan, dengan menggunakan model top-down sebagaimana yang diterapkan pada program Bimas dahulu. Materi penyuluhan yang disampaikan kepada petani masih sangat dominan berkenaan dengan teknologi. Sementara itu materi yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas petani agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya belum banyak menjadi perhatian penyuluh. Menurut Anonim (2005) pada era reformasi dan otonomi sekarang ini, pendekatan dari atas tentunya sudah tidak relevan lagi. Yang diinginkan adalah petani mengelola usahataninya dengan penuh kesadaran serta mampu melakukan pilihan-pilihan yang tepat dari alternatif yang ditawarkan oleh penyuluh dan pihak-pihak lain


  1. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh

Dari hasil analisis terhadap sebelas faktor yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan ternyata hanya dua faktor yang mempunyai korelasi dengan keberartian yang sangat nyata (p<0,05) yaitu lama bertugas di wilayah kerja bersangkutan dan jumlah petani di wilayah kerja penyuluh, dengan koefisien korelasi 0,291 dan 0,359. Disamping itu diperoleh dua faktor yang menghasilkan korelasi dengan keberartian yang nyata (p<0,10) yaitu insentif tambahan yang dibayarkan oleh pemerintah kabupaten/kota di luar gaji dan BOP, dan pengetahuan penyuluh tentang prinsip dasar penyuluhan pertanian, dengan koefisien korelasi 0,229 dan 0,261. Namun, keeratan hubungan antara keempat faktor ini dengan efektivitas kerja penyuluh pertanian hanya berada pada kategori lemah (koefisien korelasi < 0,40). Hal ini menunjukkan bahwa dari sebelas variabel yang diuji tidak satupun variabel yang memiliki pengaruh kuat terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan.

Tidak ditemukannya faktor yang memiliki hubungan kuat terhadap kinerja penyuluh diduga karena variabel yang diuji hanya sebagian saja dari tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja individu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Cokroaminoto (2007) bahwa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja individu adalah variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Dikatakannya bahwa kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan keterampilan, latar belakang pribadi dan demografis seperti umur, pendidikan, masa kerja, jabatan fungsional dan jarak tempat tinggal. Variabel kemampuan dan keterampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Dari sebelas variabel yang diuji pada penelitian ini sepuluh diantaranya termasuk ke dalam kelompok variabel invidu, hanya satu yang termasuk kelompok variabel organisasi yaitu insentif tambahan. Sedangkan yang termasuk ke dalam variabel psikologis tidak satupun yang diuji.

Hasil penelitian Purba (2004) menunjukkan bahwa variabel psikologis yaitu motivasi mempunyai pengaruh yang lebih dominan terhadap kinerja, diikuti dengan kepemimpinan (variabel organisasi) dan diklat (variabel individu). Mangkunegara (2008:18) menyusun proses motivasi individu dalam suatu siklus yang terdiri dari: (1) kebutuhan yang tidak terpenuhi; (2) mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan; (3) perilaku yang berorientasi pada tujuan; (4) hasil karya (evaluasi dari tujuan yang dicapai); (5) imbalan dan hukuman; (6) kebutuhan yang tidak dipenuhi dinilai kembali oleh karyawan. Dari rangkaian proses ini terlihat bahwa penetapan tujuan melalui perencanaan yang baik serta evaluasi terhadap hasil karya merupakan faktor yang sangat penting dalam mendorong motivasi seseorang untuk berprestasi. Rendahnya kinerja kedua aspek tersebut yang ditemukan pada penelitian ini diduga turut memberikan dampak negatif terhadap motivasi penyuluh dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Dari pengamatan di lapangan didapat bahwa lemahnya kegiatan perencanaan serta evaluasi dan pelaporan penyuluhan tidak disebabkan oleh faktor penyuluh semata tetapi juga berkaitan erat dengan lemahnya pembinaan dan supervisi terhadap kedua kegiatan tersebut. Sejauh ini penyusunan RKPT dan pelaksanaan evaluasi oleh seorang penyuluh tidak disertai dengan pembinaan dan supervisi yang memadai dari pejabat pembina atasannya. Dengan demikian maka tidak ada mekanisme kontrol untuk memastikan apakah rencana kerja yang disusun oleh penyuluh telah disusun secara benar serta sesuai dengan kebutuhan petani dan kebijakan yang ada. Untuk memecahkan masalah ini maka seorang kepala balai penyuluhan kecamatan, selaku pejabat pembina penyuluh di lapangan, harus terlebih dahulu memiliki pemahaman yang baik tentang tata cara penyusunan RKPT dan evaluasi penyuluhan. Disamping itu perlu dicari model penyusunan RKPT dan pelaksanaan evaluasi yang lebih akuntabel seperti melalui pembahasan rancangan RKPT dan hasil evaluasi kegiatan pada forum pertemuan penyuluh tingkat kecamatan. Melalui pembahasan seperti ini diharapkan seorang penyuluh merasa lebih dikontrol untuk menyusun rencana kerjanya dan melaksanakan evaluasi kegiatannya dengan lebih terarah.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disusun simpulan sebagai berikut:

  1. Kinerja penyuluh pertanian lapangan di Provinsi Jambi berada pada kategori rendah. Rataan skor kinerja penyuluh responden adalah 29,15 dari skor tertinggi 100. Dari hasil penilaian terhadap tiga aspek penyelenggaraan penyuluhan, didapat capaian tingkat kinerja terendah pada aspek evaluasi dan pelaporan; diikuti oleh pelaksanaan dan persiapan.
  2. Dari sebelas variabel yang diuji untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan diperoleh dua variabel yang memiliki korelasi dengan keberartian yang sangat nyata (p<0,05) yaitu lama bertugas dan jumlah petani di wilayah kerja. Sedangkan yang memiliki korelasi dengan keberartian yang nyata (p<0,1) terhadap efektivitas kerja penyuluh ada dua variabel yaitu insentif tambahan dan tingkat pengetahuan. Namun, keeratan korelasi keempat variabel diatas berada pada kategori lemah sehingga pada penelitian ini tidak ditemui adanya faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja penyuluh pertanian lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Sistem Penyuluhan. Departemen Pertanian. Diakses dari http://www.deptan. go.id/bpsdm/ruu_pp/naskah_akademik_bab2.htm.

Anonim. 2006. Undang-undang nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Tambahan Lembaran Negara RI 4660.

Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pertanian nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.

Anonim. 2008. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: Per/02/Menpan/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya.

Anonim. 2009. Jambi Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statitistik Provinsi Jambi.

Anonim. 2009a. Peraturan Menteri Pertanian nomor: 25/Permentan/OT.140/5/2009 tentang Pedoman Penyusunan Programa Penyuluhan Pertanian.

Cokroaminoto. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Individu. Diakses dari
http://cokroaminoto.wordpress.com/.

Mangkunegara, A. P. 2008. Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika Aditama. Bandung.

Muhidin, S.A. dan M. Abdurahman. 2007.Analisis Korelasi, Regresi dan Jalur dalam Penelitian. Pustaka Setia. Bandung.

Purba, J. 2004. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Binjai. Jurnal Manjemen dan Bisnis. Vol. 4 no. 2. Hal. 97-106.

Ruky, A.S. 2001. Sistem Manjemen Kinerja. Pt. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Simamora, B. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sinar Harapan. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Belum Optimal. Senin, 1 Desember 2008. http://www.sinarharapan.co.id/.

Tayibnafis, F.Y. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: Rineka Cipta.

Triola, M. F. 1998. Elementary Statistics. Seventh Edition. Addison – Wesley Longman Inc. New York.

Van den Ban, A.W. dan Hawkins, H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Penerbit Kanisius. Jakarta.

Waryanto, B. dan Millafati, Y.A. 2006. Transformasi Data Skala Ordinal ke Interval dengan  Menggunakan Minitab. Informatika Pertanian. Vol. 15. Hal. 881-895.

(Dimuat pada Jurnal Penelitian Universitas Jambi Vol. 12 nomor 2, Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Kiat Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah