Intisari
Suatu penelitian yang bertujuan untuk menganalisis
sejumlah variabel untuk dijadikan sebagai faktor penentu Kemampuan Pemeliharaan
Ternak (KPT) sapi potong suatu rumah tangga petani kecil telah dilaksanakan
pada pertengahan tahun 2006. Variabel yang digunakan adalah Jumlah Tenaga Kerja
Keluarga, Jenis Usahatani Pokok, Penanaman HMT, dan Sikap terhadap Pengembangan
Sapi Potong. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey dengan
jumlah responden sebanyak 183 kepala keluarga petani peternak pada tiga kawasan
pengembangan sapi potong di Provinsi Jambi yaitu kawasan Singkut, Kabupaten
Sarolangun; Pamenang, Kabupaten Merangin; dan Kuamang Kuning, Kabupaten Bungo.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat nyata (p<0,01) antara Jumlah Tenaga
Kerja Keluarga, dan nyata (p<0,05) antara Penanaman HMT dengan KPT Sapi
Potong. Persamaan regresi terbaik
sebagai penduga KPT Sapi Potong adalah model exponensial dengan persamaan lnY =
o,42+0,17X (r2=0,093).
Disimpulkan bahwa hanya Jumlah Tenaga Kerja Keluarga (X) yang dapat
digunakan sebagai faktor penentu KPT Sapi Potong (Y), dengan daya penentu yang
sangat lemah.
Kata Kunci: Kemampuan Pemeliharaan Ternak, Sapi Potong
Abstract
A research
with the aim to analyze some variables as determining factors of beef cattle
Livestock Keeping Capacity (LKC) for a smallholder farmer family was conducted
on the mid 2006. The determining factors used were the Number of Family Labors,
the Main Farming Activity, the Availability of Forage Plantation, and the
Attitude toward Beef Cattle Development. The method used in the research was
survey with respondents of 183 heads of farmer family who were keeping beef
cattle in the three beef cattle development areas of Jambi Province: the
development area of Singkut, Sarolangun Regency; Pamenang, Merangin Regency;
and Kuamang Kuning, Bungo Regency. The result of the research showed that there
was a very significant relationship (p<0,01) between the Number of Family Labors, and a significant
relationship (p<0,05) between the Abvailability of Forage Plantation to the
LKC. The best equation for determining the LKC of Beef Cattle was exponential
model with the equation Y = 0,42 + 0,17X (r2=0,093). It was
concluded that only the Number of Family Labors (X) could be used as a
determining factor for the LKC of Beef Cattle (Y), although with a very weak
determining power.
Key Words:
Livestock Keeping Capability, Beef Cattle
Latar Belakang
Metode
yang paling umum digunakan saat ini untuk mengetahui kapasitas pengembangan
sapi potong di suatu wilayah adalah dengan pendekatan ketersediaan pakan,
sebagaimana yang digunakan oleh Setyono (1995) dan Haeruddin (2004). Penerapan
metode ini dilakukan dengan menghitung jumlah cadangan pakan potensial yang
tersedia di suatu wilayah, kemudian dari jumlah tersebut dihitung daya tampung
ternak yang dapat dipelihara. Sesungguhnya hasil perhitungan dengan metode
seperti ini kurang memiliki kegunaan praktis karena tidak mempertimbangkan
kemampuan sumberdaya manusia yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan pakan
tidak akan mempunyai arti apa-apa jika di suatu wilayah tidak tersedia
sumberdaya manusia yang mampu untuk memelihara ternak. Sebaliknya dengan
ketersediaan pakan aktual yang terbatas, dapat dipelihara ternak dengan jumlah
yang lebih besar apabila sumberdaya manusia di wilayah tersebut dapat
mengembangkan sendiri sumber pakan seperti melalui penanaman HMT (Hijauan
Makanan Ternak). Oleh karena itu untuk tujuan perencanaan diperlukan suatu
metode perhitungan kapasitas tampung pengembangan peternakan sapi potong yang
lebih memiliki kegunaan praktis dengan mempertimbangkan kemampuan sumberdaya
manusia.
Daya
tampung ternak suatu wilayah pada hakikatnya adalah jumlah ternak yang mampu
dipelihara oleh rumah tangga petani yang ada di wilayah tersebut. Jumlah ternak
yang mampu dipelihara oleh suatu rumah tangga, yang selanjutnya disebut dengan
KPT (Kemampuan Pemeliharaan Ternak), ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu:
(a) ketersediaan tenaga kerja untuk pengelolaan ternak; (b) tingkat kesulitan
dalam pengelolaan ternak; serta (c) kemauan petani itu sendiri untuk memelihara
ternak. Hanya saja untuk menghitung secara kuantitatif besaran ketiga faktor
diatas sangat rumit sehingga perlu dicarikan suatu pendekatan indikatif dengan
menganalisis beberapa variabel yang memiliki hubungan erat dengan ketiga faktor
penentu diatas, sebagaimana yang digunakan pada penelitian ini. Untuk melihat
ketersediaan tenaga kerja digunakan variabel Jumlah Tenaga Kerja Keluarga
tersedia dan Jenis Usahatani Pokok. Kemudahan dalam pemeliharaan ternak dilihat
dari Penanaman HMT karena teknologi ini yang paling membutuhkan curahan tenaga
kerja dalam jumlah yang besar pada pengelolaan sapi potong. Sedangkan kemauan
untuk memelihara ternak dinilai dengan Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara KPT sapi potong
dengan empat variabel indikatif yang diamati, yang kemudian digunakan untuk
menentukan persamaan regresi terbaik dalam menghitung KPT sapi potong di suatu
wilayah.
Materi dan Metode
Penelitian
dilakukan melalui suatu survey terhadap peternak di tiga kawasan pengembangan
sapi potong Provinsi Jambi yaitu Kawasan Singkut di Kabupaten Sarolangun,
Kawasan Pamenang di Kabupaten Merangin dan Kawasan Kuamang Kuning di Kabupaten
Bungo. Responden penelitian adalah petani peternak sapi potong yang ditentukan
dengan cara snowball (Nasution, 2004) pada sejumlah desa pengembangan
prioritas di masing-masing kawasan. Jumlah responden adalah 183 KK (Kepala
Keluarga) dengan mempertimbangkan keterwakilan karakterisktik tertentu dari
responden yaitu jumlah ternak yang dipelihara.
Data
primer dikumpulkan pada akhir Mei 2006 melalui wawancara dengan responden dan
pengamatan lapangan. Data primer yang dikumpulkan mencakup dua aspek utama
yaitu: (1) identitas serta berbagai informasi yang berkaitan dengan aktivitas
pengembangan sapi potong responden; dan (2) sikap responden terhadap
pengembangan sapi potong yang ia lakukan. Data pada aspek pertama dikumpulkan
melalui sejumlah pertanyaan yang disusun dalam format pertanyaan terbuka maupun
pilihan. Sedangkan untuk data aspek kedua dibuat dalam format summated rating
atau skala Likert sebagaimana yang disarankan oleh Suryabrata (1998); Azwar
(1995); dan Ancok (1997).
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program
SPSS 12.0 for Windows. Analisis data yang dilakukan terdiri dari: (1) Uji
korelasi yang dilakukan untuk melihat kecenderungan hubungan antara KPT dengan
keempat variabel indikatif yang diamati. Analisis ini dilakukan dengan
menggunakan uji korelasi Spearman sebagaimana yang disarankan oleh Foody
(1988), yang juga digunakan oleh Ihsan dan Nasich (2003). (2) Penentuan
persamaan regresi antara KPT dengan variabel yang diamati. Metode penentuan
yang digunakan mengacu pada saran Basuki dan Hadjam (1986) dan Triola (1997),
dengan mencoba berbagai model regresi yang menggunakan korelasi Pearson
kemudian memilih bentuk persamaan terbaik. Pengambilan kesimpulan atas hasil
uji mengacu pada petunjuk penggunaan program SPSS yang disusun oleh Nugroho
(2005).
Hasil dan Pembahasan
KPT adalah jumlah sapi potong maksimum yang mampu
dipelihara oleh suatu rumah tangga petani atas dasar jawaban responden pada
saat survey, dengan mengacu pada pengalaman pemeliharaan ternak yang telah
mereka lakukan. Satuan yang digunakan untuk KPT adalah ST (Satuan Ternak)/ RT
(Rumah Tangga). Besaran ST mengacu pada Matondang et al. (1998) yaitu sapi
dewasa = 1 ST; sapi dara / bujang = 0,6 ST; dan anak = 0,25 ST. Dari data yang
diperoleh ditemui rentang KPT responden antara 0,60 sampai dengan 8,50 ST/RT.
Jika rentang KPT tersebut dibagi dalam lima kategori yaitu Sangat Rendah,
Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat Tinggi maka didapat mayoritas responden (46%)
berada pada kategori Rendah (2,19 – 3,76 ST/RT); 43% pada kategori Sangat
Rendah (0,60 – 2,18 ST/RT) dan sisa berada pada tiga kategori yang lain. Hasil
analisis korelasi Spearman antara nilai KPT dengan keempat variabel yang
diamati terangkum pada tabel 1 dan dijelaskan berikut ini.
Tabel 1 Analisis Korelasi Spearman Antara KPT Sapi Potong dengan
Sejumlah Variabel
Variabel |
Nilai r |
Nilai p |
Kesimpulan |
Jumlah Tenaga Kerja Keluarga |
0,288 |
0,000 |
Hubungan positif sangat
nyata |
Jenis Usahatani Pokok |
0,126 |
0,090 |
Hubungan positif tidak nyata |
Penanaman HMT |
0,147 |
0,047 |
Hubungan positif nyata |
Sikap terhadap Pengembangan
Sapi Potong |
0,123 |
0,096 |
Hubungan positif tidak nyata |
Ketersediaan tenaga kerja keluarga pada petani kecil erat kaitannya dengan kebutuhan tenaga kerja untuk pemeliharaan ternak seperti untuk mengambil pakan dan pengelolaan kandang. Mulyana (2004) menemukan kebutuhan tenaga kerja untuk pemeliharaan per-ST sapi potong sebanyak 619,43 Jam Kerja Pria per-tahun. Pada penelitian ini satuan Jumlah Tenaga Kerja Keluarga yang digunakan adalah OK (Orang Kerja) yang mengacu pada Kasup (1998), dimana untuk pria dewasa = 1 OK; wanita dewasa = 0,8 OK dan anak-anak = 0,5 OK. Jika Jumlah Tenaga Kerja Keluarga responden dikelompokkan ke dalam lima ketegori yaitu Sangat Rendah, Rendah, Sedang, Tinggi dan Sangat Tinggi maka diperoleh mayoritas responden (46%) memiliki Jumlah Tenaga Kerja Keluarga pada kategori Rendah (1,77 – 2,52 OK); 32% pada kategori Sedang (2,53 – 3,28 OK) dan sisanya berada pada tiga kategori lainnya.
Jenis Usahatani Pokok erat kaitannya dengan
ketersediaan tenaga kerja tersisa yang dapat digunakan untuk pengelolaan
ternak. Penggunaan variabel ini dilakukan karena pemeliharaan ternak sapi
potong pada petani kecil umumnya merupakan pekerjaan sambilan. Novra dan
Fitriani (2000) menemukan hubungan yang nyata antara peningkatan skala usaha
pemeliharaan sapi potong dengan jumlah waktu luang yang dimiliki petani. Di
lokasi penelitian ditemukan dua usahatani pokok yaitu perkebunan kelapa sawit
dan perkebunan karet. Secara umum petani kelapa sawit memiliki tenaga kerja
sisa yang lebih besar dibandingkan dengan petani karet. Hal ini dikarenakan
pada usahatani kelapa sawit pemanenan dilakukan rata-rata dua minggu sekali,
sementara itu pada karet dilakukan setiap hari.
Dalam analisis data yang dilakukan pada penelitian ini Jenis Usahatani Pokok diperlakukan sebagai variabel dummy (Carlson dan Thorne, 1997), dimana responden dengan Jenis Usahatani Pokok karet diberi nilai 0 dan kelapa sawit diberi nilai 1. Dari data yang dikumpulkan ditemui 122 KK responden memiliki usatani pokok kelapa sawit dan 61 KK karet. Hasil analisis tidak menunjukkan adanya korelasi yang nyata (p>0,05) antara Jenis Usahatani Pokok dengan KPT. Hal ini dapat disebabkan karena dalam penelitian ini tidak memperhitungkan luasan areal dan pola pengelolaan usahatani pokok masing-masing responden sehingga data yang diperoleh tidak mencerminkan tenaga kerja yang secara riil tersisa sebagai tenaga kerja yang dapat digunakan untuk pengelolaan ternak.
c. Penanaman HMT
Penanaman HMT oleh responden erat kaitannya dengan
kemudahan petani dalam penyediaan pakan hijauan. Variabel ini digunakan
mengingat pola penyediaan pakan yang diterapkan di lokasi penelitian adalah
sistem cut and carry. Dengan penerapan pola ini maka pemenuhan kebutuhan pakan
ternak sangat ditentukan oleh kemampuan petani menyediakan pakan. Dengan
semakin mudahnya petani menyediakan pakan hijauan diharapkan akan semakin
meningkat kemampuan mereka dalam memelihara ternak. Pada penelitian ini,
Penanaman HMT merupakan variabel dummy, dimana responden yang tidak menanam HMT
diberi nilai 0 dan yang menanam diberi nilai 1. Ditemui 89 KK responden yang
tidak menanam HMT dan 94 KK yang menanam. Dari hasil analisis diperoleh
korelasi positif yang nyata (p<0,05) antara Penanaman HMT dengan KPT Sapi Potong, walaupun dengan
tingkat korelasi yang sangat rendah.
Hasil analisis ini kelihatannya berlawanan dengan fakta lapangan dimana
ditemukan bahwa penyediaan pakan merupakan faktor pembatas utama yang dirasakan
responden dalam pemeliharaan sapi potong mereka. Hal ini salah satunya
disebabkan karena data yang dikumpulkan tidak mencakup luas HMT yang ditanam
oleh responden. HMT yang ditanam oleh
responden tidak saja di sekitar rumah tetapi juga di ladang yang jaraknya jauh
dari rumah. Selain itu umumnya responden
menggunakan HMT alam sebagai sumber pakan utama, sedangkan HMT yang ditanam
hanya sebagai pakan tambahan atau cadangan.
Sikap (attitude) merupakan suatu konsep psikologi sosial yang sering digunakan para ahli untuk melihat kecenderung seseorang untuk perilaku tertentu. Oleh Triandis (1971) ditegaskan bahwa konsepsi sikap merupakan perwujudan adanya konsistensi antara pemikiran (thinking), perasaan (feeling) dan perbuatan (acting). Hal ini dipertegas oleh Ancok (1997) tentang adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku. Metode ini telah digunakan untuk melihat perilaku petani dalam penerapan suatu inovasi oleh Wijayanto (2005) dan Zahid (1997). Dalam konteks penelitian ini digunakan asumsi bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap pengembangan sapi potong maka akan semakin meningkat kemauannya untuk memelihara ternak tersebut.
Jika Sikap terhadap Pengembangan Sapi Potong responden
dikelompokkan dalam lima kategori yaitu Sangat Negatif, Negatif, Netral,
Positif dan Sangat Positif maka diperoleh mayoritas responden (39%) memiliki
sikap pada kategori Sangat Positif; 25% pada kategori Positif dan sisanya pada
kategori Netral, Negatif dan Sangat Negatif. Hasil analisis data responden
tentang Sikap terhadap pengembangan Sapi Potong responden tidak menunjukkan
adanya korelasi yang nyata (p>0,05) dengan KPT. Hal ini dapat dijelaskan
karena sebagian besar responden memang sudah memiliki sikap yang baik terhadap
pengembangan sapi potong. Sikap seperti ini tentunya terbangun dari manfaat
yang telah banyak mereka peroleh dari hasil pemeliharaan ternak selama ini.
Untuk diketahui bahwa lokasi survey adalah kawasan pengembangan ternak, yang
sebagian besar anggota masyarakatnya secara sosial sudah sangat terbiasa dengan
pemeliharaan sapi potong.
Persamaan Regresi
Dari hasil uji berbagai model regresi berganda diperoleh bahwa hanya variabel
Jumlah Tenaga Kerja Keluarga yang memiliki nilai intersep dengan tingkat
kepercayaan yang ditentukan (p<0,05). Dengan demikian tiga
variabel lainnya tidak layak digunakan sebagai faktor penentu KPT. Model regresi terbaik yang diperoleh adalah
model Exponensial dengan persamaan lnY = 0,42 + 0,17X (r2=0,093). Penentuan model terbaik ini didasarkan pada
pertimbangan nilai r2 tertinggi, keragaman terendah dan tingkat
kepercayaan tertinggi. Nilai r2 sebesar
0,093 memberikan makna bahwa Jumlah Tenaga Kerja Keluarga (X) hanya menentukan
9,3% dari KPT (Y), sisanya ditentukan oleh faktor lain. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa variabel
yang digunakan dalam persamaan yang diperoleh hanya memberikan manfaat yang
sangat kecil dalam pendugaan KPT sapi potong.
Kesimpulan
Terdapat korelasi sangat nyata (p<0,01) antara Jumlah Tenaga Kerja Keluarga, dan nyata (p<0,05) antara
Penanaman HMT dengan KPT sapi potong pada peternak kecil. Hasil analisis lanjutan untuk mencari
persamaan regresi terbaik untuk menentukan KPT sapi potong, diperoleh persamaan
dengan daya penentu yang sangat lemah, yang dicerminkan dari nilai r2
yang sangat rendah. Salah satu penyebab
tidak diperolehnya hubungan yang kuat antara variabel yang dikumpulkan bersifat
sangat global. Oleh karena itu
diperlukan kajian yang lebih rinci terutama berkaitan dengan Ketersediaan
Tenaga Kerja Keluarga sebagai faktor penentu KPT.
Azwar, S. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Basuki, T.E.H dan M.A. Hadjam. 1986. Pengantar Ekonometrika. Edisi I. BPFE. Yogyakarta.
Carlson, W.L. dan B. Thorne. 1997. Applied Statistical Methods. Prentice Hall. USA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar