ABSTRAK
Program pengembangan Patin Jambi pada DAS Batanghari, yang telah diimplementasikan sejak tahun 2006, merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Daerah Provinsi Jambi dalam mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Untuk melihat sejauhmana program ini telah berjalan sesuai dengan rancangan semula serta peluang keberlanjutannya maka dilakukan suatu kajian. Kajian ini dilaksanakan melalui suatu survey pada pertengahan September 2007 di tiga wilayah pengembangan yaitu Wilayah Mendalo dan Pematang Jering, Kabupaten Muaro Jambi serta Wilayah Pemayung, Kabupaten Batanghari, dengan menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process and Product). Data primer dikumpulkan dari 49 responden yang merupakan peserta program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari Rasional (context) penyelenggaraan program maka sebagian besar tujuan program telah sesuai dengan permasalahan yang ada di lapangan. Sebagian besar komponen Masukan (input) yang terdiri dari SDM, sarana produksi dan lembaga pendukung belum memenuhi ketentuan yang ideal. Proses (process) budidaya ikan yang dilakukan oleh peserta sebagian besar belum mengikuti acuan baku yang ada. Hasil (product) dari program ini diperlihatkan dengan tingkat produksi hanya 280 kg dari 900 kg per-keramba yang ditargetkan. Dengan hasil tersebut maka 92% responden merasa kurang dan tidak puas dengan budidaya yang dilaksanakan. Sebagian besar responden (78%) memutuskan akan beralih memelihara ikan jenis lain yaitu Patin Siam atau Nila. Tanggapan atas keberlanjutan program diperoleh bahwa 55% responden menyatakan kurang yakin, jika tidak dilakukan perbaikan. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa program hanya akan dapat berkelanjutan apabila dilakukan perbaikan mendasar, baik dari masukan maupun prosesnya.
Kata Kunci: Patin Jambi, Evaluasi Program.
Pendahuluan
Pengembangan Patin Jambi merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Daerah Provinsi Jambi sekaligus sebagai salah satu pendukung Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Program ini telah diimplementasikan sejak tahun 2006 melalui kegiatan pengembangan budidaya Patin Jambi, yaitu persilangan betina Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) dan jantan Patin Jambal (Pangasius djamba)l, dengan sistem KJA (Keramba Jaring Apung) di sepanjang DAS Batanghari. Pada tahap awal program, pemerintah daerah menyediakan paket sarana produksinya (keramba, bibit, pakan dan obat-obatan) kepada peserta sebagai pinjaman bergulir. Produksi yang dihasilkan oleh peserta dijual kepada perusahaan mitra yang telah ditentukan. Pada tahap berikutnya perusahaan ini sekaligus diharapkan dapat bertindak sebagai mitra peserta dalam penyediaan sarana produksi. Sesuai dengan rencana, program ini akan berlangsung sampai tahun 2010 dengan target pengembangan 60.000 unit keramba, yang dikelola oleh 15.000 KK pembudidaya (Anonim, 2006). Mengingat program ini akan melibatkan banyak anggota masyarakat serta mempunyai dampak yang sangat besar terhadap anggaran pembangunan daerah maka perlu dilakukan suatu kajian sosial ekonomi, sebagai salah satu gambaran untuk menilai efektivitas serta prospek keberlanjutan program selanjutnya.
Metode
Pendekatan yang digunakan pada kajian ini mengacu pada prinsip evaluasi program dengan menggunakan model CIPP (Context, Input, Process and Product) yang dicetuskan oleh Stufflebeam (Tayibnapis, 2000). Untuk menganalisis kinerja program yang diteliti maka (Soekartawi et al, 1986) memperkenalkan model analisis perbandingan. Model ini membandingkan kinerja usahatani yang dikaji dengan: (1). Penampilan usahatani yang sama pada waktu sebelumnya; (2). Penampilan rata-rata sekelompok usahatani yang sejenis; dan (3). Ukuran baku “buatan” berdasarkan data percobaan atau data lainnya. Mengingat budidaya Patin Jambi yang dikaji baru pada tahun pertama maka pembandingan yang dilakukan hanya terhadap usaha sejenis yaitu budidaya ikan Patin Siam dan Nila serta ukuran baku yang diperoleh dari pedoman pelaksanaan program serta berbagai sumber pustaka.
Data primer dikumpulkan melalui suatu survey pada pertengahan September 2007 di tiga wilayah pengembangan yang mendapatkan alokasi kegiatan program tahun 2006. Jumlah responden ditentukan secara proporsional sebesar 10% dari jumlah peserta program penerima paket di masing-masing wilayah yaitu di Wilayah Pematang Jering dan Mendalo, Kabupaten Muaro Jambi masing-masing sebanyak 12 dan19 orang; serta di Wilayah Pemayung, Kabupaten Batanghari sebanyak 18 orang. Penentuan responden di setiap wilayah dilakukan dengan cara aksidental(Nasution, 2004).
Hasil dan Pembahasan
1. Rasional (Context)
Mengacu pada materi publikasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi (Anonim, 2006) maka terdapat empat tujuan utama Program Pengembangan Patin Jambi yaitu: (1) Meningkatkan pendapatan, pertumbuhan ekonomi masyarakat serta devisa negara; (2) Meningkatkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (3) Memanfaatkan potensi komoditas unggulan lokal untuk peluang ekspor; dan (4) Mempertahankan kelestarian spesies Patin Jambi dari perairan umum sungai Batanghari. Dari keempat tujuan tersebut maka tujuan (1), (2) dan (3) secara kontekstual telah sejalan dengan agenda pembangunan jangka menengah Provinsi Jambi (Anonim, 2005), serta kebutuhan masyarakat. Sedangkan tujuan program nomor (4) yaitu melestarikan Patin Jambi di perairan sungai Batanghari tidak relevan dengan kondisi biofisik yang ada. Ikan patin yang secara alami hidup di sungai Batanghari adalah Patin Jambal (Pangasisus djambal) (Slembrouck et al, 2005), sedangkan Patin Jambi adalah hasil persilangan antara Patin Siam dengan Patin Jambal. Dengan demikian tidak terdapat hubungan yang saling mendukung antara budidaya Patin Jambi dengan kelestarian spesies Patin yang ada di sungai Batanghari
2. Masukan (Input)
a. Peserta Program
Kegiatan yang diamati pada kajian ini merupakan implementasi dari program pengembangan Patin Jambi pada tahun pertama. Data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi, selaku lembaga penanggung jawab teknis program ini, menunjukkan bahwa pada tahun 2006 telah disebarkan 900 paket kepada 450 peserta pada 20 kelompok di tiga wilayah pengembangan. Dari 49 responden diperoleh sebanyak 47% tidak berasal dari kelompok prioritas peserta program yaitu Eks PHK perusahan kayu, pengelola PETI dan pembudidaya ikan skala kecil. Salah satu penyebab banyaknya peserta yang bukan dari kelompok prioritas ini karena seleksi peserta sangat dominan ditentukan oleh aparatur di lapangan yaitu kepala desa, ketua RT dan ketua kelompok yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan seleksi secara benar. Hal ini lebih diperparah dengan rendahnya pemahaman responden, terhadap kelompok prioritas dan persyaratan sebagai peserta program.
Ditemukan 76% responden peserta program memiliki pemahaman pada tingkat Rendah, 12% responden memiliki pemahaman Sedang dan 12% responden memiliki pemahaman Tinggi. Sebagian besar (61%) responden belum mempunyai pengalaman dalam budidaya ikan sistem KJA tetapi 85% dari mereka mengaku telah mengikuti pelatihan mengenai budidya Patin Jambi. Hanya saja sebagian besar (67%) memiliki pengetahuan teknis budidaya pada tingkat Rendah; 27% pada tingkat Sedang dan sisanya pada tingkat Tinggi. Rendahnya pengetahuan teknis ini dimungkinkan karena pelatihan yang dilaksanakan banyak dalam bentuk penjelasan, daripada praktek di lapangan.
b. TPT (Tenaga Pendamping Teknis)
Di lokasi survey terdapat lima orang TPT. Keberadaan TPT ini belum banyak dirasakan manfaatnya oleh responden. Sebagain besar responden (44%) merasa Kurang Puas dengan peran petugas pendamping; 16% merasa Tidak Puas; 20% merasa Cukup Puas; dan 20% merasa Puas. Ketidakpuasan terhadap petugas pendamping ini erat kaitannya dengan terbatasnya bimbingan teknis yang diberikan oleh petugas kepada responden. Petugas lebih banyak berkomunikasi dengan ketua kelompok atau hadir pada pertemuan kelompok. Sementara itu peserta lebih membutuhkan bimbingan teknis lapangan pada saat melakukan aktivitas budidaya ikan mereka. Dengan keadaan ini maka 11% responden meminta pergantian pendamping, 60% responden menganggap perlu peningkatan peran pendamping, dan 6% responden berharap agar pendamping tinggal di lokasi. Sedangkan yang berpendapat tidak perlu perubahan terhadap pendamping adalah 19%.
c. Benih
Peserta program menerima bibit apa adanya dari rekanan tanpa merasa memiliki hak untuk menolak apabila bibit yang diserahkan tidak baik. Selain itu bekal teknis mereka tentang hal ini memang sangat kurang, yang tercermin dari pengetahuan tentang ciri bibit yang baik pada sebagian besar responden (71%) berada pada tingkat Rendah. Dengan keadaan seperti ini tentunya sangat sulit untuk menjamin bahwa bibit yang diserahkan kepada peserta program berada pada kondisi yang baik. Keluhan yang paling banyak disampaikan responden terhadap bibit yang mereka terima adalah ukuran bibit yang terlalu kecil (51%). Selain itu 31% responden berpendapat bibit yang diserahkan kurang sehat; dan 8% menyatakan waktu penyerahan bibit kurang tepat.
d. Pakan
Sama halnya dengan bibit, peserta program menerima pakan yang diserahkan kepada mereka tanpa adanya pilihan. Pakan diserahkan secara bertahap dengan produk yang tidak selalu berasal dari pabrik yang sama. Berubah-ubahnya produk ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap daya suka ikan terhadap pakan yang diberikan. Keluhan responden tentang penyediaan pakan yang paling banyak (51%) menyangkut mutu pakan yang dianggap kurang baik. Kemudian 31% responden menyatakan waktu penyerahan pakan tidak sesuai dengan kebutuhan.
e. Keramba
Keramba yang diserahkan melalui paket tahun 2006 pada saat survey sebagian besar dalam kondisi tidak siap pakai karena memerlukan perbaikan agar dapat digunakan lagi. Perbaikan yang diperlukan umumnya pada rangka kayu yang lapuk dan sebagian pada jaring yang robek. Diperkirakan keramba tersebut hanya dapat dipergunakan maksimal untuk dua musim lagi. Keadaan ini menimbulkan kekecewaan peserta karena dengan harga yang sama mereka merasa mampu membuat keramba dari bahan yang lebih baik.
f. Lokasi Budidaya
Terdapat aturan setempat mengenai lokasi tempat budidaya yaitu pemilik lahan di pinggir sungai sekaligus dianggap sebagai pemilik areal perairan di bawahnya. Oleh karena itu pemanfaatan areal perairan pinggiran DAS harus melalui kesepakatan dengan pemilik lahan yang berada pinggir sungai. Hal ini dilakukan dengan sistem sewa atau mengikutsertakan pemilik lahan sebagai anggota kelompok peserta program. Sejauh ini belum ditemui adanya sengketa berkenaan dengan pemanfaatan areal budidaya ini. Oleh karena itu hanya 37% responden yang mengkhawatirkan akan terjadi konflik dalam pemanfaatan areal budidaya. Tetapi seluruh responden menganggap perlu adanya pengaturan pemanfaatan areal ini baik dalam bentuk peraturan adat, peraturan desa atau peraturan daerah.
g. Pokdakan (Kelompok Pembudidaya Ikan)
Sebagain besar Pokdakan peserta program dibentuk menjelang saat penyerahan paket. Dari 18 kelompok yang diamati hanya 4 kelompok yang telah dibentuk sebelum tahun 2006. Aktivitas kelompok umumnya adalah piket jaga malam, gotong royong saat perbaikan keramba dan iuran untuk kebutuhan bersama seperti pembelian tali dan pembayaran listrik. Pertemuan kelompok dilakukan bila dibutuhkan, tidak ada kelompok yang memiliki jadual pertemuan rutin. Skor potensi Pokdakan dilihat dari sumberdaya sosial; sumberdaya fisik; dan dinamika masing-masing 22; 7 dan12. Angka ini masih relatif sangat rendah dibandingkan skor maksimal yang dapat dicapai untuk masing-masing potensi kelompok yaitu 103; 35; dan 20 (Anonim, 2005).
Sejauh ini responden mempunyai persepsi yang baik terhadap kelompok dimana 47% dari mereka merasa Cukup Puas terhadap peran kelompok, 21% merasa Puas; dan hanya 28% yang merasa Kurang Puas. Dengan keadaan ini 48% responden berharap kelompok tetap dipertahankan seperti sekarang dan 41% berharap dipertahankan dengan peningkatan peran kelompok.
h. UPP (Unit Pelayanan Pengembangan)
UPP merupakan suatu organisasi usaha Pokdakan di tingkat kabupaten / kota (Anonim, 2006a). Di kedua kabupaten lokasi survey sudah dibentuk UPP sesuai dengan petunjuk. Selain itu juga ada Perwakilan UPP yang berada di tingkat wilayah. Sejauh ini yang lebih banyak berperan adalah Perwakilan UPP dalam mengelola uang setoran peserta dan penyediaan sarana produksi. Sedangkan UPP kabupaten belum berfungsi karena memang baru dibentuk pada tahun ini. Selain itu UPP kabupaten tidak memiliki sarana dan dana yang memadai untuk menjalankan fungsinya.
3. Proses (Process)
a. Budidaya
Permasalahan utama yang dihadapi peserta dalam proses budidaya Patin Jambi adalah tingginya angka kematian ikan pada tahap awal pemeliharaan dengan rataan 71%. Keadaan ini merupakan salah satu pemicu kekecewaan peserta program dalam proses budidaya selanjutnya. Tingkat kematian antara satu responden dengan lainnya sangat beragam dengan kisaran 35% - 95%. Tingginya keragaman ini memberikan indikasi bahwa salah satu penyebab tingginya angka kematian ikan pada tahap awal penyebaran adalah kurang baiknya proses distribusi bibit dan pengelolaan awal oleh peserta program.
Frekuensi pemberian pakan dilakukan oleh peserta antara 2 – 3 kali perhari pada waktu-waktu tertentu yaitu pagi, siang dan sore. Frekuensi ini lebih rendah dari yang dianjurkan Khairuman dan Sudenda (2005) yaitu empat kali sehari. Jumlah pakan yang diberikan umumnya tidak ditentukan berdasarkan cara baku yaitu berdasarkan perkiraan bobot dan jumlah ikan. Hal ini dikarenakan peserta tidak melakukan pencatatan terhadap jumlah ikan yang mati serta melakukan penimbangan sampel ikan secara periodik.
Grading, untuk mendapatkan ikan dengan ukuran yang lebih homogen di dalam satu keramba, diperlukan untuk meningkatkan efisiensi budidaya ikan (Coche dan Muir, 1998). Ditemui hanya seorang responden yang menerapkan grading. Alasan responden tidak hal tersebut umumnya takut ikan stres. Selain itu dengan tingginya angka kematian maka peserta, yang semula memelihara ikan pada dua keramba, kemudian menggabungkan pemeliharaan ikan mereka dalam satu keramba.
Pembersihan jaring diperlukan pada budidaya ikan sistem KJA untuk menghindari berbagai masalah dengan kesehatan ikan (Kompiang, 1992). Sebagian besar (50%) melakukan pembersihan jaring pada saat dibutuhkan yaitu jika jaring kotor. Hanya 30% responden yang tidak pernah membersihkan jaringnya dan sisanya membersihkan jaring secara periodik. Umumnya alasan responden tidak melakukan pembersihan jaring adalah takut ikan stres.
b. Pasca Produksi
Pembelian hasil produksi oleh perusahaan mitra menggunakan patokan bobot ikan minimal 0,7 kg. Patokan ini dirasakan sangat memberatkan peserta karena tidak semua ikan hasil produksi peserta dapat mencapai bobot tersebut, sungguhpun telah dipelihara lebih dari 7 bulan. Ditemukan hanya 37% dari responden yang dapat menjual ikan mereka kepada perusaaan mitra, yang menampung 36% dari seluruh hasil produksi mereka. Harga pembelian oleh perusahaan mitra sebesar Rp 6.800 per-kg untuk ikan dengan bobot 0,7 – 0,8 kg dan Rp 7.000 untuk yang berbobot lebih dari 0,8 kg. Sedangkan ikan yang tidak dibeli oleh perusahaan, dijual kepada pedagang lokal secara bertahap dengan harga Rp 5.000 – Rp 8.000 per-kg.
Dengan penjualan kepada perusahaan mitra yang menggunakan sistem dan harga seperti yang telah dilakukan ini maka sebagian besar (49%) responden merasa tidak puas, dan 47% responden merasa kurang puas dengan keberadaan perusahaan mitra. Untuk itu sebagian besar (48%) responden mengusulkan peninjauan ulang perjanjian penjualan dengan perusahaan mitra. Hal yang perlu ditinjau ulang meliputi harga dan sistem pembelian. Sistem pembelian yang diharapkan adalah sistem borong dimana semua ikan di dalam keramba semuanya dibeli oleh perusahaan mitra, walaupun dengan harga yang berbeda-beda untuk masing-masing bobot ikan. Sedang 25% responden mengharapkan dicari perusahaan mitra lain; dan 16% menganggap kemitraan tidak diperlukan lagi.
4. Hasil (Product)
Rataan produksi ikan responden adalah 280 kg/keramba dengan variasi yang sangat besar antara 88,5 kg s/d 600 kg per-keramba. Angka ini sangat jauh dari target semula yaitu 900 kg per-keramba. Dengan hasil seperti ini maka diperoleh rataan tingkat produktivitas sebesar 0,422 kg/m3/minggu. Hasil perhitungan terhadap budidaya jenis ikan lain yang dilakukan oleh sebagian responden didapat tingkat produktivitas 1,366 kg/m3/minggu untuk Patin Siam; dan 1,320 kg/m3/minggu untuk Nila.
FCR (Feed Conversion Ratio), yaitu perbandingan antara jumlah kilogram pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu kilogram ikan, pada budidaya Patin Jambi yang diperoleh dari responden sangat bervariasi antara 1,67 – 11,30 atau dengan rataan 3,58. Angka ini diperhitungkan atas dasar pengakuan jumlah pakan yang diterima responden sehingga belum mencerminkan jumlah pakan yang riil diberikan responden kepada ikan Patin Jambi yang mereka pelihara. Untuk jenis ikan lain yang dipelihara responden diperoleh FCR sebesar 1,34 pada Patin Siam dan 1,51 pada Nila.
Dari produksi Patin Jambi yang dicapai responden, dengan menggunakan patokan harga bibit Rp 250/ekor; harga pakan Rp 4.000/kg; tanpa memperhitungkan nilai penyusutan KJA dan tenaga kerja, dengan harga jual Rp 7.000/kg maka peserta program telah menanggung kerugian dengan rataan sebesar Rp 2.431.340 /KJA atau Rp 3.684 per-m3/minggu. Sementara itu pendapatan yang diharapkan sesuai rancangan semula adalah sebesar Rp 1.832.500 per-keramba per-musim (Anonim, 2006). Dengan menggunakan cara perhitungan yang sama untuk produksi ikan Patin Siam dengan harga jual Rp 7.000/kg diperoleh keuntungan sebesar Rp1.417 per- m3/minggu; dan untuk Nila dengan harga jual Rp 12.000/kg diperoleh keuntungan sebesar Rp 5.128 per- m3/minggu.
Dengan kerugian yang dialami oleh responden dalam budidaya Patin Jambi yang mereka lakukan maka 30% responden merasa tidak puas dan 62% responden merasa kurang puas atas kegiatan tersebut. Oleh karena itu 78% dari mereka memutuskan akan beralih memelihara ikan jenis lain yaitu Patin Siam atau Nila, 7% responden akan berhenti memelihara ikan dan sisanya akan memelihara Patin Jambi sampai kredit lunas. Kondisi ini tentunya akan sangat mengancam keberlangsungan program ini selanjutnya. Tanggapan responden atas keberlanjutan program ini diperoleh bahwa 55% responden menyatakan kurang yakin, jika tidak dilakukan perbaikan. Sementara itu 25% responden menyatakan tidak yakin; dan 18% yang menyatakan yakin, jika pemerintah lebih memperhatikan pembinaan; hanya 2% responden yang merasa yakin tanpa ada perubahan.
Kesimpulan
Secara kontekstual tujuan Program Pengembangan Patin Jambi sebagian besar telah mengacu pada rencana pembangunan daerah dan menjawab permasalahan yang ada. Dari empat tujuan yang ditetapkan hanya terdapat satu tujuan yang tidak mengacu pada kondisi lapangan;
Dilihat dari aspek masukan maka dengan komponen penentu yang terdiri dari SDM, sarana produksi dan lembaga pendukung, sebagian besar belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan;
Proses budidaya Patin Jambi yang dilaksanakan responden belum mengacu pada ketentuan teknis baku yang ada;
Hasil produksi yang dicapai responden masih sangat jauh dari target yang telah ditetapkan sehingga dengan budidaya ikan Patin Jambi yang dilakukan pada tahun 2006 responden mengalami kerugian.
Program Pengembangan Patin Jambi hanya dapat berkelanjutan apabila dilakukan perbaikan mendasar terhadap masukan dan prosesnya.
Daftar Pustaka
Anonim. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2006 – 2010. Pemerintah Provinsi Jambi
Anonim. 2005a. Analisis Potensi Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Anonim. 2006. Pengembangan Budidaya Patin Jambi di Provinsi Jambi. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi. Jambi.
Anonim. 2006a. Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Penguatan dan Pengembangan Unit Pelayanan
Pengembangan. Direktorat Usaha Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.
Anonim. 2007. Materi Sosialisasi Kegiatan Pengembangan Budidaya Patin Jambi di Provinsi Jambi. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi. Jambi.
Coche, A.G. dan J.F. Muir. 1998. Management for freshwater fish culture. FAO Training Series (in CD). FAO. Rome.
Khairuman dan Sudenda, D. 2005. Budidaya Patin secara Intensif. Cetakan Kedua. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Kompian, I.P. 1992. Pakan untuk Budidaya Ikan dalam Jaring Apung. Prosiding Temu Karya Ilmiah Pengkajian Teknologi Budidaya Ikan dalam Keramba Mini di Bogor 4 – 6 Maret 1991. Hal. 48 – 51.Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Nasution, S. 2004. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Cetakan Ketujuh. Bumi Aksara. Jakarta.
Slembrouck, J. Komarudin, O. Maskur. Legendre,M. 2005. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Patin Indonesia, Pangaisus djambal. IRD – Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.
Soekartawi. et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta.
Tayibnafis, F. Y. 2000. Evaluasi Program. Rineka Cipta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar