Husni Jamal
Abstrak
Suatu
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kinerja guru SMA negeri di Provinsi Jambi dalam mengadopsi KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) telah dilaksanakan pada
pertengahan tahun 2006. Data
dikumpulkan melalui survey dengan sampel 18 sekolah di 6 kabupaten
/ kota dengan responden 275 guru dan 599 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar (90,5%) guru memiliki pemahaman tentang KBK pada kategori tinggi dan
sisanya (9,5%) pada kategori sedang. Guru yang
telah mendapatkan pelatihan tentang penyusunan rancangan pengajaran yang
mengacu pada KBK menunjukkan
pemahaman tentang KBK yang nyata lebih tinggi (p=0,011) dibandingkan dengan yang belum mendapatkan pelatihan. Sebanyak 54,2% guru memiliki sikap yang positif terhadap KBK;
45,5% bersikap netral dan sisanya (0,4%) bersikap
negatif. Hanya ditemui 11,3% guru
yang mengimplementasikan KBK dalam pembelajaran
pada kategori tinggi; 85,8% berada pada kategori sedang dan sisanya (2,9%) pada kategori rendah. Diperoleh
penurunan kinerja para guru dalam mengadopsi
KBK secara nyata dengan r = -0,649 (p=0,000) melalui tahapan: pemahaman
tentang KBK – sikap terhadap KBK –
implementasi KBK. Faktor yang dianggap oleh guru sebagai penghambat dalam penerapan KBK adalah kurangnya
pelatihan intensif tentang KBK
(75,78%); jumlah siswa per-kelas yang terlalu banyak (75,40%) dan fasilitas pembelajaran yang terbatas (72,70%). Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa sebagai suatu inovasi
kurikulum yang telah dilaksanakan selama dua tahun, KBK belum sepenuhnya
diadopsi dengan baik oleh guru SMA negeri di Provinsi Jambi. Tahapan adopsi yang telah dicapai oleh guru baru
pada ranah kognitif dan afektif tetapi belum
sampai pada ranah konatif dan
psikomotorik.
Kata Kunci: Adopsi: Inovasi Kurikulum; KBK
1. Pendahuluan
Perubahan kurikulum pendidikan hendaknya dilihat sebagai salah satu upaya untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat dengan sistem dan materi pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan. Oleh karena itu diseminasi KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang dilaksanakan oleh pemerintah secara nasional pada tahun 2004, sebagai pengganti kurikulum 1994, tentunya merupakan upaya yang sejalan dengan pemikiran itu. Hanya saja kehadiran KBK menjadi istimewa karena ia sesungguhnya bukanlah merupakan suatu ”perubahan” dari kurikulum yang ada tetapi lebih pada upaya mengembalikan kurikulum pendidikan di sekolah ke ”khittahnya” melalui penataan kembali sistem pembelajaran. Kurikulum sekolah yang sejauh ini berjalan lebih berorientasi pada materi dan proses, melalui implementasi KBK pembelajaran dituntut untuk kembali mempertimbangkan aspek hasil dan outcome peserta didiknya. Dengan demikian pendidikan diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan kognitif terhadap materi yang diberikan tetapi juga mampu mencerna dan menerapkan nilai-nilai dari materi tersebut dalam kehidupan sehari-sehari. Selain itu dengan implementasi KBK dapat tercipta suasana pembelajaran yang lebih kondusif dengan menghadirkan sistem desentralisasi dan demokratisasi pendidikan.
Dilihat dari sisi materi, KBK sesungguhnya belum beranjak jauh dari
isi kurikulum sebelumnya tetapi dari
pendekatan pembelajaran jelas terlihat adanya
perubahan yang signifikan. Perubahan yang paling mendasar terletak
pada paradigma pembelajaran
dari apa yang harus diajarkan (kurikulum) ke apa yang harus dikuasai peserta didik (standar kompetensi) (Yusri, 2005). Dengan adanya perubahan mendasar ini maka KBK layak disebut sebagai suatu
inovasi kurikulum, sebagaimana dikatakan
oleh Mardikanto (1993) bahwa inovasi
adalah suatu gagasan,
tindakan atau barang yang dianggap
baru oleh seseorang. Sebagai komponen penting
di dalam penerapan
kurikulum maka guru harus mampu mengadopsi prinsip-prinsip KBK dan menggunakannnya dalam proses pembelajaran. Peningkatan pemahaman, persepsi dan penerimaan guru merupakan langkah
penting untuk mendapatkan keberhasilan dalam suatu
perubahan kurikulum (Lee, 1996). Oleh karena itu kemampuan guru mengadopsi KBK merupakan salah satu indikator
penting dalam melihat
keberhasilan inovasi kurikulum
ini di tingkat sekolah.
Penelitian ini mengkaji sejauhmana inovasi kurikulum yang telah digulirkan, berupa KBK, mampu diadopsi oleh para guru dengan baik. Kajian ini sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk penentuan kebijakan bagi keberhasilan suatu inovasi kurikulum selanjutnya. Aspek yang dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada kinerja guru karena guru sebagai komponen utama dalam pengelolaan kurikulum di tingkat kelas harus terlebih dahulu mampu mengadopsi KBK secara baik dan benar.
Secara umum masalah yang melandasi
perlunya penelitian ini adalah tidak tersedianya
informasi tentang sejauhmana KBK sebagai suatu inovasi kurikulum, yang telah didiseminasikan secara nasional oleh pemerintah, telah diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah yang ada di Provinsi Jambi.
Mengingat cakupan informasi yang diperlukan sangat luas meliputi jenjang
sekolah dasar sampai dengan sekolah
menengah maka pada penelitian ini akan lebih difokuskan pada SMA negeri saja. Hal ini dilakukan mengingat inovasi KBK
yang baru berusia dua tahun sehingga proses adopsinya diharapkan akan lebih jelas
terlihat pada SMA negeri. Dengan jumlah sekolah yang relatif sedikit
dibandingkan dengan SD dan SMP, dan umumnya berlokasi tidak jauh dari
pusat pemerintahan maka sosialisasi
tentang KBK oleh instansi terkait terhadap SMA negeri tentunya dapat dilaksanakan secara lebih intensif.
Selain itu pendidikan jenjang SMA memiliki sumberdaya tenaga guru dengan
kualifikasi yang lebih sehingga lebih mudah mengadopsi suatu inovasi kurikulum. Sungguhpun fokus penelitian ini hanya pada SMA
negeri tetapi hasil kajian ini dapat juga digunakan sebagai bench mark dalam
melihat tingkat adopsi KBK pada jenjang
SD dan SMP.
Mengacu pada asumsi bahwa KBK merupakan
suatu inovasi serta adopsi suatu
inovasi memerlukan proses maka penelitian ini juga akan mengkaji sejauhmana proses adopsi KBK ini telah berjalan sesuai dengan tahapannya. Tahapan tersebut meliputi peningkatan
pemahaman guru tentang KBK, perubahan sikap
guru terhadap KBK ke arah yang lebih positif dan implementasi KBK oleh guru dalam pembelajaran. Untuk menunjang
permasalahan yang diuraikan diatas maka disusun
rincian masalah yang mendasari kegiatan penelitian ini yaitu:
(1)
Bagaimana pemahaman guru SMA negeri di Provinsi Jambi tentang prinsip-
prinsip-prinsip dasar KBK?
(2)
Bagaimana sikap guru SMA negeri di Provinsi Jambi terhadap implementasi KBK di lingkungannya?
(3)
Sejauhmana prinsip-prinsip KBK telah diimplementasikan oleh guru SMA negeri di Provinsi Jambi dalam pembelajaran?
(4) Bagaimana hubungan antara pemahaman guru tentang KBK, sikap guru terhadap KBK dan implementasi KBK oleh guru dalam pembelajaran?
(5) Faktor-faktor penghambat apa saja yang dirasakan oleh guru SMA negeri di Provinsi Jambi dalam implementasi KBK di lingkungannya?
c. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kinerja guru SMA negeri di Provinsi
Jambi dalam mengadopsi KBK,
sebagai suatu inovasi kurikulum. Guna
menunjang tujuan tersebut
maka dilakukan pengamatan untuk:
(1)
Melihat sejauhmana tingkat pemahaman
guru tentang KBK, sikap guru terhadap KBK dan implementasi KBK oleh guru dalam
pembelajaran.
(2) Mengidentifikasi faktor-faktor penghambat yang dirasakan oleh guru dalam implementasi KBK serta memberikan rekomendasi alternatif untuk pemecahannya.
2.
Kajian Teori
a. Konsep Dasar dan Karakteristik KBK
KBK merupakan konsep kurikulum yang menekankan pada
pengembangan kemampuan (kompetensi)
peserta didik dalam melakukan tugas
dengan standar kinerja tertentu
sehingga hasilnya dapat dirasakan
peserta didik berupa penguasaan seperangkat
kompetensi tertentu (Mulyasa, 2003). Anonim (2002) membuat definisi KBK sebagai seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar
yang harus dicapai
siswa, penilaian, kegiatan
belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumberdaya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Dengan demikian di dalam KBK mencakup
dua inovasi yaitu: (1) berfokus pada standar
kompetensi dan hasil belajar; dan (2) mendesentralisasikan pengembangan silabus
dan pelaksanaannya.
Kemampuan dan keterampilan apa yang ingin dicapai siswa menjadi tujuan utama pembelajaran. Ini yang membedakannya dengan kurikulum berbasis materi (content-based curriculum), yang lebih mendorong guru untuk hanya mengejar selesainya penyampaian materi (Nurhadi et al, 2003). Selain itu KBK memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun dan mengembangkan silabus yang lebih berorientasi pada kebutuhan setempat sesuai dengan potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik dan masyarakat. Hal ini sekaligus sangat dimungkinkan adanya keragaman silabus antar sekolah atau wilayah dengan tanpa mengurangi kompetensi yang telah ditetapkan dan berlaku secara nasional (Mulyasa, 2003). Dengan demikian keberhasilan implementasi KBK sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam mengadopsi KBK sehingga mampu menyusun silabus yang sesuai dengan tuntutan lingkungannya.
Pengembangan kurikulum berdasarkan kompetensi didasarkan pada tiga landasar
teoritik. Pertama, pergeseran paradigma dari pembelajaran kelompok ke arah pembelajaran individual. Kedua,
pengembangan konsep belajar tuntas (mastery learning). Ketiga, pendefinisian
kembali terhadap bakat. Pembelajaran individual memungkinkan setiap siswa belajar sesuai dengan cara dan
kemampuan masing- masing, tidak
bergantung pada orang lain. Pola ini
menghendaki pengaturan kelas menjadi lebih fleksibel meliputi
sarana, waktu, penggunaan alat, serta bahan pelajaran. Pengembangan konsep belajar tuntas
menghendaki agar setiap siswa mempelajari semua bahan yang diberikan dangan hasil baik. Sistem ini menghendaki pengkondisian lingkungan belajar sedemikian rupa sehingga memungkinkan peserta didik menguasai
bahan pembelajaran yang diberikan, sekaligus memberikan peluang terjadinya
pengayaan dan percepatan belajar bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi (Mulyasa, 2003; dan
Anonim, 2003).
Beberapa karakteristik KBK menurut Anonim (2002) yaitu : (1) menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun kelompok; (2) berorientasi pada hasil belajar (outcome) dan keberagaman; (3) penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; (4) sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif; dan (5) penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Nurhadi et al (2003) merangkum beberapa karakteristik KBK sebagai berikut:(1) menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan selesainya materi; (2) kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa; (3) pembelajaran berpusat pada siswa; (4) orientasi pembelajaran pada proses dan hasil; (5) pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan beragam, dan bersifat kontekstual; (6) guru bukan satu-satunya sumber belajar; (7) belajar sepanjang hayat (lifelong education): (a) belajar mengetahui (learning to know); (b) belajar melakukan (learning to do); (c) belajar menjadi diri sendiri (learning to be); dan (d) belajar hidup dalam keberagaman (learning to live together); (8) sistem penilaian dalam KBK yaitu: (a) berorientasi pada kompetensi hasil dan indikatornya; (b) penilaian berbasis kelas menilai apa yang seharusnya dinilai, bukan apa yang diketahui siswa; (c) penilaian diambil dari berbagai sumber dan cara, meliputi: penampilan, kinerja, dan hasil karya; (c) penilaian kontinyu dan komprehensif; dan (d) alat penilaian terdiri dari: tes kinerja meliputi disiplin, kerjasama, kepemimpinan, dan inisiatif di kelas; hasil karya siswa berupa laporan, gambar, bagan, tulisan, benda, karya seni, dan lain-lain; tes tertulis hasil ulangan; proyek yang merupakan kerja dalam tim; dan portofolio berupa kumpulan karya siswa dalam satu semester / tahun.
Dari sejumlah konsep dasar dan karakteristik yang dijelaskan diatas,
implementasi KBK sesungguhnya bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru
dalam ilmu pendidikan. Ia menjadi sesuatu yang “baru” karena
praktik pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan di Indonesia sudah cenderung menyimpang dari konsep baku pendidikan itu sendiri.
Implementasi KBK berimplikasi terhadap serangkaian tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru dalam menjalan tugas keprofesionalannya. Dengan asumsi bahwa gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya serap, suasana dalam kegiatan pembelajaran, serta sarana dan sumber yang tersedia maka guru berwenang untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum ke dalam silabus. Pengembangan ini hendaknya mendasarkan pada beberapa hal diantaranya: isi (konten), konsep, kecakapan / keterampilan, masalah, serta minat siswa (Anonim, 2004). Guru perlu memahami prinsip-prinsip mengajar yang mengacu pada peningkatan kemampuan internal siswa. Peningkatan kemampuan ini misalnya dilakukan dengan menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu mencapai kompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual (Anonim, 2003). Pentingnya peran guru dalam implementasi kurikulum ditegaskan juga oleh Lee (1996) serta Mars (1980) dan Syaodih (1988) di dalam Mulyasa (2003).
Peran guru dalam pembelajaran pada
konteks KBK, menurut Sanjaya (2005), adalah
sebagai: (1) fasilitator; (2) manajer; (3) demonstrator; (4) administrator; (5) motivator; (6) organisator; dan (7)
evaluator. Sebagai fasilitator guru berperan untuk memudahkan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran, terutama
dalam kaitannya dengan penggunaan media dan sumber belajar. Sebagai
manajer pembelajaran guru berperan dalam menciptakan suasana
/ iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara
nyaman, melalui pengelolaan kelas yang baik.
Peran sebagai demonstrator dapat ditunjukkan dengan penampilan guru yang menjadi acuan bagi siswa. Sebagai
administrator guru memungsikan penggunaan dokumentasi
dan data siswa untuk keperluan pembinaan dan bimbingan. Sebagai organisator peran yang diharapkan pada
guru dalam mengorganisasi siswa, baik secara
kelompok maupun individual, sehingga tetap terjaga keharmonisan diantara siswa. Guru sebagai
evaluator harus memilik
kemampuan untuk mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran pada masing-masing siswa dan kelompok siswa, serta mampu
menggunakannya sebagai alat untuk penentuan tindak lanjut.
Dibalik sejumlah manfaat yang diharapkan dari KBK muncul juga sejumlah kekhawatiran akan keberhasilannya, terutama berkaitan dengan kualitas guru. Mulyasa (2003) menyatakan banyaknya sekolah yang memiliki sedikit guru profesional dan tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal. Haryono (2006) yang menyajikan rangkuman sejumlah penelitian tentang kualitas guru. Hasil nilai rataan nasional hasil tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 diperoleh nilai antara 27,7 – 45 yang masih sangat rendah dibandingkan dengan batas ideal 75. Selain itu diperlihatkan juga bahwa pada tahun 2000 terdapat 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Oleh karena itu Komisi Nasional Pendidikan (Anonim, 2001) menyusun tiga urutan teratas dari tujuh faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian mutu pendidikan nasional adalah yang berkaitan dengan guru, baik dari aspek kualitas, karier dan kesejahteraanya. Oleh karena itu peningkatan kapasitas (capacity building) tenaga guru untuk keberhasilan implementasi KBK menjadi hal yang mutlak. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti pelatihan, penempatan guru yang sesuai dengan bidang keahliannya serta pemberdayaan Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (Anonim, 2002).
c. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Mardikato (1993) mengartikan adopsi sebagai suatu proses perubahan
pengetahuan, sikap maupun keterampilan seseorang setelah menerima suatu
inovasi. Sejalan dengan itu, Ancok (1997) menjelaskan adanya hubungan
yang erat antara pengetahuan, sikap,
niat dan perilaku. Dalam kaitannya
dengan perilaku seseorang dalam menerapkan suatu inovasi maka orang tersebut
terlebih dahulu harus mempunyai
pengetahuan mengenai manfaat inovasi dimaksud.
Kemudian ia akan mempunyai
sikap positif atau negatif terhadap inovasi tersebut. Sikap ini akan mempengaruhi
niat orang itu untuk menerapkan inovasi dimaksud. Adanya korelasi antara pengetahuan, sikap dan perilaku
telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian. Zahid
(1997) memperlihatkan adanya korelasi yang kuat (r = 0,758; p<0,05) antara pengetahuan mengenai pengelolaan limbah dengan sikap terhadap pengelolaan limbah. Sedangkan
sikap terhadap pengelolaan limbah mempunyai korelasi yang cukup kuat (r = 0,583; p<0,05) dengan
perilaku aktual responden dalam pengelolaan
limbah. Dikemukan juga bahwa korelasi antara sikap dengan perilaku
aktual akan semakin meningkat
apabila ada tekanan
sosial dalam menerapkan perilaku dimaksud. Sementara itu Harihanto (2001) mendapatkan korelasi
yang sangat kuat (r = 0,848; p = 0,000) antara pengetahuan tentang air sungai dengan sikap masyarakat
terhadap air sungai. Sedangkan partisipasi masyarakat dalam program kali bersih (Prokasih) memperlihatkan
korelasi yang lemah (r = 0,320) dengan sikap
terhadap Prokasih. Dari 15
variabel yang yang diuji didapat bahwa pandangan mengenai konsekuensi jika berpartisipasi atau tidak
berpartisipasi memiliki korelasi yang tertinggi (r = 0,514) terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam Prokasih.
Untuk menjelaskan hubungan antara sikap dengan perilaku maka Ancok (1997) menggunakan model Fishbein dan Ajzen (1975) sebagaimana disajikan pada gambar 1. Ditegaskan oleh Triandis (1971) bahwa konsepsi mengenai sikap merupakan perwujudan adanya konsistensi antara pemikiran (thinking), perasaan (feeling) dan perbuatan (acting). Azwar (1995) menggunakan definisi sikap yang disusun oleh Secord dan Backman (1964) yaitu keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Oleh Mar’at (1984) dan Walgito (1983) dikatakan bahwa interaksi antara ketiga komponen sikap diatas (afeksi, kognisi dan perilaku) menghasilkan total attitude seseorang. Skala Sikap merupakan metode yang paling populer dalam pengukuran sikap karena praktis dan mempunyai reliabilitas yang memuaskan. Pengukuran dengan skala sikap umumnya menggunakan model yang telah dikembangkan oleh Rensis Likert yang dikenal dengan metode summated ratings atau populer juga dengan istilah Skala Likert (Azwar, 1995).
Gambar 1. Skema Hubungan antara Sikap dengan Perilaku oleh Fishbein dan Ajzen (dalam Ancok, 1997)
Sheldon (1981) mengidentifikasi sejumlah
faktor yang berhubungan dengan implementasi
suatu inovasi kurikulum. Nilai (value) personal dan profesional serta harapan guru terhadap kurikulum baru
merupakan faktor yang paling menentukan terhadap keberhasilan inovasi. Dikatakannya juga bahwa anggapan
tentang kepraktisan inovasi
merupakan hambatan utama yang menentukan tingkat inovasi oleh guru. Sedangkan
Subandiyah (1992) didalam Noor (2001) mengatakan bahwa kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan
seperti inovasi kurikulum antara lain
adalah (1) perkiraan yang tidak tepat
terhadap inovasi; (2) konflik dan
motivasi yang kurang sehat; (3)
lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak
berkembangnya inovasi yang
dihasilkan;
(4) keuangan (financial) yang tidak terpenuhi; (5) penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi; dan (6) kurang adanya hubungan sosial dan publikasi. Hasil penelitian Yusri (2005) memperlihatkan bahwa kendala utama yang dihadapi oleh guru SD dalam pelaksanaan KBK adalah rendahnya penguasaan guru terhadap materi KBK. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan sebagian guru belum mengikuti pelatihan intensif tentang KBK.
3.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan melalui suatu
survey yang dilaksanakan pada akhir Juli sampai dengan pertengahan Agustus
2006. Sekolah yang menjadi sampel ditentukan
dengan menggunakan stratifikasi berdasarkan nilai rataan hasil UAN (Ujian Akhir Nasional) SMA negeri tahun
ajaran 2005/2006. Dari sepuluh
wilayah (kabupaten / kota) yang ada di Provinsi Jambi,
dikelompokkan dalam tiga strata yaitu wilayah dengan rataan nilai UAN
tinggi, sedang dan rendah. Masing-masing strata dipilih dua wilayah sampel. Setiap wilayah sampel dipilih masing-masing satu sekolah dengan kategori nilai UAN
tinggi, sedang dan rendah pada wilayah tersebut. Dengan demikian dari 90 SMA negeri peserta
UAN tahun ajaran 2005/2006 di Provinsi Jambi terpilih 18 sekolah yang menjadi sekolah
sampel penelitian ini.
Responden utama penelitian ini adalah guru dan responden
pendukung adalah siswa di
masing-masing sekolah sampel,. Guru
yang dijadikan responden adalah guru
yang telah diwajibkan menggunakan KBK yaitu yang mengajar di kelas X dan XI. Kuisioner dan surat pengantar diberikan secara langsung oleh
peneliti kepada responden yang
bersangkutan di sekolah masing-masing. Kuisioner yang telah
diisi oleh responden dikembalikan dengan memasukkannya ke dalam suatu kotak yang disaksikan oleh peneliti serta
dalam bentuk anonim (tanpa identitas) agar
responden dapat lebih leluasa dalam memberikan jawaban.
Pengumpulan data silang tentang penerapan KBK dilakukan
terhadap siswa kelas XI di masing-masing sekolah
sampel. Kuisioner diberikan secara
langsung kepada siswa dan diisi di kelas yang disaksikan oleh peneliti. Kuisioner
yang telah diisi oleh responden
dikembalikan kepada peneliti
dalam bentuk anonim.
Validitas konstrak instrumen penelitian diuji dengan menggunakan metode item – total correlation (Ancok, 1997). Sedangkan realibilitas instrumen diuji dengan menggunakan formula Cronbach’s Alpha. Nilai Cronbach’s Alpha > 0,6 menunjukkan bahwa instrumen penelitian dianggap memiliki realibilitas baik (Nugroho,2005). Analisis data dilakukan dengan menggunakan sejumlah uji statistika yang mengacu pada Triola (1998). Untuk uji beda nyata digunakan uji t (t- test). Sedangkan untuk uji korelasi terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kosmolgorov – Smirnov. Apabila persyaratan normalitas terpenuhi maka digunakan uji korelasi linier Pearson (Pearson’s Linier Correlation). Jika persyaratan normalitas tidak terpenuhi maka digunakan uji korelasi peringkat Spearman (Spearman’s Rank Correlation). Pengolahan data dilakukan sepenuhnya dengan menggunakan program SPSS versi 12.
4.
Hasil dan Pembahasan
a. Pemahaman tentang KBK
Sebagai titik awal dari penerapan suatu
perilaku (baca: implementasi KBK dalam
pembelajaran) maka seseorang terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan tentang
perilaku tersebut. Dalam konteks penelitian ini, pengetahuan tersebut
dicerminkan dengan pemahaman tentang KBK. Penggunaan istilah ini untuk
lebih menggambarkan pemahaman
responden tentang prinsip-prinsip dasar KBK, tidak hanya sekedar tahu pada ranah kognitif tetapi juga pada ranah
afektif. Penilaian pemahaman guru terhadap KBK dilakukan
melalui pengajuan 10 aitem pernyataan yang
berkaitan dengan pemikiran (kognisi) dan perasaan (afeksi) responden tentang konsep dan karateristik KBK. Jawaban responden disusun dalam bentuk summated rating dengan pilihan: sangat setuju, setuju,
ragu-ragu atau tidak memilih, tidak setuju
dan sangat tidak setuju. Masing-masing aitem diberi nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Rataan nilai seluruh jawaban merupakan skor yang menentukan
tingkat pemahaman masing-masing responden tentang KBK.
Dari data 275 responden yang memenuhi persyararatan diperoleh bahwa validitas konstrak terhadap 10 aitem pernyataan yang berkenaan dengan pemahaman tentang KBK semuanya dinyatakan valid. Sedang realibilitas instrumen yang dicerminkan dari nilai Cronbach’s Alpha ke-10 aitem tersebut adalah sebesar 0,571. Artinya instrumen penelitian ini memiliki tingkat realibilitas yang relatif kurang baik. Dari data mengenai tingkat pemahaman responden tentang KBK didapat bahwa sebagian besar (90,5%) guru memiliki pemahaman pada kategori tinggi (skor 2,67 s/d 4,0); sisanya (9,5%) dengan kategori sedang (skor 1,34 s/d 2,66) dan tidak ada guru yang memiliki pemahaman pada kategori rendah (skor 0 s/d 1,33). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sangat paham dengan sejumlah konsep dasar KBK sebagaimana yang ditanyakan pada kuisioner.
Hasil uji beda nyata antara responden
yang sudah mengikuti pelatihan tentang penyusunan
rancangan pengajaran yang mengacu kepada KBK dengan yang belum mengikuti pelatihan diperoleh bahwa
responden yang sudah mengikuti pelatihan memiliki
rataan tingkat pemahaman tentang KBK sebesar 3,12; yang nyata lebih tinggi (p = 0,011) dibandingkan dengan yang belum yaitu sebesar
3,00. Ini menunjukkan bahwa pelatihan mengenai
penyusunan rancangan pengajaran yang mengacu
pada KBK memberikan bekal yang sangat berguna terhadap peningkatan pemahaman responden tentang KBK. Hal ini juga ditegaskan oleh Lee (1996) bahwa pelatihan terhadap guru tentang
perubahan kurikulum merupakan salah satu faktor
yang berhubungan dengan keberhasilan suatu inovasi kurikulum. Namun, pada penelitian ini ditemukan selisih
yang tidak terlalu
besar antara tingkat
pemahaman kelompok yang sudah mengikuti
pelatihan dengan yang belum. Kecilnya selisih ini memberikan indikasi
bahwa pemahaman tentang KBK yang dimiliki
responden tidak semata-mata didapat dari pelatihan tetapi juga dari sumber lain seperti
sejawat ataupun dari pendidikan sebelumnya.
b.
Sikap terhadap KBK
Jika
pada penilaian pemahaman
tentang KBK pernyataan yang diajukan kepada responden adalah cerminan dari ranah kognisi
dan afeksi maka pada penilaian
sikap terhadap KBK pernyataan yang dibuat berkaitan
dengan ranah konasi responden untuk mengimplementasikan
KBK di lingkungannya. Jawaban responden
disusun dalam bentuk summated rating dengan
pilihan: sangat setuju, setuju,
ragu-ragu atau tidak memilih, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Masing- masing aitem diberi nilai terendah -2 dan
tertinggi 2. Rataan nilai seluruh jawaban merupakan
skor yang menentukan kategori sikap masing-masing responden terhadap KBK.
Dari 10 aitem pernyataan yang digunakan untuk pengujian sikap ini diperoleh hanya 8 aitem yang memenuhi validitas konstrak. Hasil uji realibilitas kedelapan aitem tersebut didapat nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,476. Ini menunjukkan bahwa instrumen penelitian yang digunakan memiliki tingkat realibilitas yang relatif kurang baik. Dari data mengenai sikap terhadap KBK diperoleh bahwa sebagian besar (54,2%) responden memiliki sikap positif (skor 0,67 s/d 2), sisanya 45,5% netral (skor -0,66 s/d 0,66) dan hanya 0,4% yang memiliki sikap yang negatif (skor - 2 s/d -0,67). Dengan jumlah responden dengan sikap netral yang masih cukup tinggi menunjukkan bahwa para guru belum sepenuhnya memiliki sikap yang mendukung penerapan KBK di sekolah masing-masing.
Uji korelasi antara tingkat pemahaman
terhadap KBK dengan sikap terhadap KBK
didapat koefisien korelasi peringkat yang cukup kuat (r = 0,429; p = 0,000). Artinya pemikiran dan perasan responden
yang relatif baik tentang KBK cukup berpengaruh
terhadap sikap mereka terhadap KBK. Hal
ini sejalan dengan temuan Zahid
(1997) dan Harihanto (2001), walaupun tingkat korelasi yang diperoleh dari penelitian ini relatif lebih lemah. Ditemui juga bahwa antara responden yang
telah mengikuti pelatihan tentang
rancangan pengajaran yang mengacu pada KBK dengan yang belum mengikuti pelatihan tidak memperlihatkan sikap
terhadap KBK yang berbeda nyata (p =
0,135). Dengan demikian kontribusi
pelatihan hanya sampai pada
peningkatan kapasitas responden yang berkaitan dengan ranah kognitif dan afektif
saja tetapi belum secara nyata menyentuh ke ranah konatif.
Sebagaimana yang telah digambarkan oleh Fishbein dan Ajzen bahwa sikap seseorang terhadap suatu perilaku merupakan dampak dari keyakinan orang itu terhadap akibat perilaku tersebut. Keyakinan ini tidak saja dipengaruhi oleh informasi yang diterima dari orang lain tetapi juga dari pengalaman yang dirasakan oleh orang itu tentang perilaku dimaksud. Dengan demikian pelatihan, sebagai salah satu sumber informasi, tidak sepenuhnya mampu mempengaruhi sikap guru terhadap KBK tetapi dipengaruhi juga oleh pengalaman guru tentang inovasi kurikulum dan berbagai inovasi pembelajaran yang ada selama ini. Dari hasil diskusi dengan sejumlah responden banyak sekali diterima keluhan dan nada pesimis para guru tentang penerapan KBK. Komentar negatif yang paling banyak ditemui adalah seolah-olah inovasi kurikulum ini hanya sekedar ”proyek orang pusat”. Dengan demikian untuk memperbaiki sikap guru terhadap KBK tidak saja dibutuhkan peningkatan kemampuan teknis tentang KBK tetapi harus juga disertai dengan peningkatan penilaian mereka tentang pentingnya inovasi kurikulum ini. Hal ini dipertegas oleh Sheldon (1981) bahwa nilai (value) personal dan profesional guru terhadap kurikulum baru merupakan faktor yang paling menentukan terhadap keberhasilan inovasi.
c.
Implementasi KBK
Tingkat implementasi KBK dinilai dari
sejauhmana prinsip-prinsip KBK telah digunakan
oleh guru dalam pembelajaran. Penilaian
ini dilakukan melalui informasi yang
diberikan oleh guru, kemudian diuji silang dengan informasi yang disampaikan oleh siswa. Informasi yang disampaikan
oleh guru dibuat dalam bentuk 15 aitem pernyataan
pada kuisioner. Sedangkan untuk siswa
dibuat dalam bentuk 20 aitem pernyataan
yang serupa. Jawaban atas pernyataan
disusun dalam bentuk summated rating dengan lima pilihan yaitu
selalu, seringkali, kadang-kadang, jarang dan tidak pernah. Masing-masing
aitem diberi nilai terendah 0 dan tertinggi 4. Rataan nilai seluruh
jawaban responden merupakan
skor yang digunakan
untuk menentukan tingkat
implementasi KBK.
Dari 15 aitem pernyataan yang ditujukan
kepada responden guru didapat 14 aitem
yang memenuhi validitas konstrak dengan Cronbach’s Alpha sebesar 0,663. Sedangkan data yang diperoleh dari 599
responden siswa didapat 17 aitem yang memenuhi
validitas konstrak dengan Cronbach’s Alpha sebesar 0,701. Dari nilai Cronbach’s Alpha diatas maka kedua
instrumen penelitian tentang implementasi KBK dapat dikatakan memiliki
reliabilitas yang baik. Sedangkan uji korelasi tingkat implementasi KBK antara responden
guru dengan siswa di masing-masing sekolah
diperoleh korelasi linier yang kuat dengan r = 0,615 (p = 0,007). Ini menunjukkan
bahwa informasi yang diberikan oleh guru tentang implementasi KBK di masing-masing sekolah
sesuai dengan apa yang dirasakan
oleh siswa.
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden guru didapat bahwa sebagian besar guru (85,8%) menggunakan prinsip KBK dalam pembelajaran pada kategori sedang (skor 1,34 s/d 2,66). Hanya 11,3% yang menggunakannya pada kategori tinggi (skor 2,67 s/d 4,0); dan sisanya (2,9%) berada pada kategori rendah (skor 0 s/d 1,33). Dengan demikian penggunaan prinsip-prinsip KBK dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di sekolah sampel belum sepenuhnya berjalan secara baik. Hal ini menunjukkan bahwa guru masih cenderung belum banyak bergeser dari paradigma proses pembelajaran yang selama ini telah mereka terapkan.
Sementara itu hasil uji korelasi antara sikap tehadap
KBK dengan implementasi KBK diperoleh tingkat
korelasi peringkat yang rendah (r = 0,266; p =
0,000). Dengan demikian
tingkat implementasi KBK oleh guru sangat besar dipengaruhi
oleh faktor lain selain sikap sebagaimana yang juga ditemukan oleh Harihanto (2001). Mengacu pada Fishbein dan Azjen bahwa niat seseorang untuk menerapkan suatu perilaku, selain
ditentukan oleh sikap terhadap perilaku tersebut, juga ditentukan oleh norma subjektif tentang perilaku itu. Norma subjektif
ini merupakan hasil dari pengaruh
orang lain terhadap
individu bersangkutan. Sebagaimana yang ditemukan oleh Zahid (1997) bahwa adanya tekanan sosial mempunyai pengaruh
yang nyata terhadap
penerapan suatu perilaku.
Tekanan sosial ini dapat
muncul dari orang terdekat seperti halnya sejawat sesama guru. Hal itu dibuktikan pada penelitian ini, dimana guru yang menyusun
rancangan pengajaran secara bersama-sama dengan guru lain menunjukkan rataan tingkat implementasi KBK yang sangat nyata (p = 0,006) lebih tinggi yaitu 2,25 dibandingkan dengan guru yang menyusun sendiri yaitu sebesar 2,10.
Pada
penelitian ini juga dilakukan uji beda nyata terhadap tingkat
implementasi KBK antara sekolah favorit, yang dicerminkan oleh rataan
nilai UAN yang tinggi, dengan sekolah
non favorit. Dengan demikian uji beda nyata ini dilakukan antara sekolah dengan nilai UAN
tinggi, sebanyak 6 sekolah, dengan sekolah
dengan UAN sedang dan rendah, sebanyak 12 sekolah. Hasilnya tidak ditemui perbedaan
yang nyata dalam tingkat implementasi KBK antara kedua kelompok
sekolah tersebut, baik berdasarkan informasi yang disampaikan guru (p = 0,297) maupun yang disampaikan oleh siswa
(p = 0,522). Artinya sekolah favorit yang selama ini dianggap masyarakat
memiliki berbagai kelebihan ternyata tidak sepenuhnya
mampu mengadopsi suatu inovasi kurikulum, berupa KBK, secara lebih cepat dibandingkan dengan sekolah non
favorit.
d.
Tahapan Adopsi
KBK sebagai suatu inovasi kurikulum, sebelum diimplementasikan oleh para guru memerlukan suatu tahapan adopsi. Tahapan ini diawali dari pemahaman yang baik tentang KBK sehingga menimbulkan sikap yang positif terhadap KBK baru kemudian diwujudkan dalam perubahan perilaku berupa implementasi KBK dalam pembelajaran. Sejalan dengan pemikiran tersebut maka pada penelitian ini dicoba untuk menelaah hubungan antara tahapan adopsi KBK dengan kinerja yang dicapai dalam setiap tahapan tersebut.
Tabel 1. Kinerja
Tahapan Adopsi KBK
Tahapan Adopsi |
Tingkat Kinerja |
||
Tinggi |
Sedang |
Rendah |
|
Pemahaman tentang
KBK |
249 |
26 |
0 |
Sikap terhadap KBK |
149 |
125 |
1 |
Implementasi KBK |
31 |
236 |
8 |
Pada tabel 1 disajikan data yang
merupakan matrik tahapan adopsi KBK
yang dimulai dari pemahaman tentang
KBK, diikuti sikap terhadap KBK dan implementasi KBK, sesuai dengan tingkat kinerja yang dicapai oleh guru sebagai responden
penelitian ini. Apabila
tahapan adopsi dan tingkat kinerja
tersebut dijadikan sebagai
dua variabel dengan skala pengukuran ordinal maka dapat dilakukan
uji korelasi peringkat antara keduanya. Dari
uji ini diperoleh korelasi peringkat yang kuat (r = - 0,649; p = 0,000) antara
tahapan adopsi KBK dengan tingkat kinerja
yang telah dicapai.
Nilai koefisien korelasi
yang negatif menunjukkan bahwa terjadi penurunan
kinerja guru dalam mengadopsi KBK pada setiap
tahapannya yaitu dari pemahaman tentang KBK ke sikap terhadap KBK dan selanjutnya ke implementasi KBK dalam pembelajaran.
e.
Faktor Penghambat
Guna melihat faktor penghambat yang dirasakan oleh guru dalam implementasi KBK maka pada kuisioner untuk responden guru dicantumkan 10 faktor yang dianggap dapat menjadi penghambat. Setiap responden diminta menyusun peringkat terhadap kesepuluh faktor tersebut, dari yang dianggap paling menghambat sampai yang sangat kurang menghambat. Dari penelitian ini diperoleh peringkat kepentingannya kesepuluh faktor tersebut, yang disusun dari yang paling menghambat sampai sangat kurang menghambat, sebagai berikut ini:
(1)
Kurangnya pelatihan
intensif tentang KBK (75,78%);
(2)
Jumlah siswa per-kelas terlalu banyak (75,40%);
(3)
Fasilitas pembelajaran yang ada di sekolah
seperti alat peraga,
perpustakaan dan laboratorium kurang mencukupi (72,70%);
(4)
Pemahaman dan keterampilan guru untuk melaksanakan KBK kurang memadai
(65,98%);
(5)
Beban tugas dan
pekerjaan yang diberikan kepada guru terlalu berat
(60,53%);
(6)
Dukungan dari orang tua siswa kurang (57,06%);
(7)
Kemauan guru untuk melaksanakan KBK rendah (54,79);
(8)
Waktu belajar
di sekolah kurang mencukupi
(45,92%);
(9)
Kepemimpinan sekolah kurang mendukung (43,09%);
(10) Dukungan dari guru-guru dan staf sekolah
kurang (39,81%).
Dari hasil diatas terlihat bahwa faktor
yang berkaitan dengan kemampuan guru merupakan
penghambat yang sangat menonjol dalam implementasi KBK, sebagaimana
yang juga dikemukakan Sheldon (1981) dan Yusri (2005). Kurangnya pelatihan intensif tentang KBK merupakan
salah satu faktor yang mengakibatkan pemahaman dan keterampilan guru untuk mengimplementasikan KBK dalam pembelajaran menjadi terbatas. Keadaan ini
membuat beban tugas yang dirasakan oleh
guru dalam melaksanakan inovasi kurikulum menjadi berat. Tentunya sangat tidak mudah bagi guru untuk merubah metode
pembelajaran yang selama ini sudah diterapkan,
dimana guru hanya tinggal menjiplak dari acuan yang ada, sementara itu dengan KBK guru diharuskan melakukan
sejumlah inovasi. Hal ini tentunya tidak saja
memerlukan kemampuan yang memadai tetapi juga curahan pikiran dan waktu ekstra.
Selain itu berbagai masalah klasik berupa keterbatasan sarana dan
prasarana pembelajaran tetap
dirasakan oleh guru sebagai penghambat dalam proses adopsi inovasi kurikulum ini.
5.
Simpulan dan Saran
a. Simpulan
(1) Kinerja guru SMA negeri di Provinsi Jambi dalam mengadopsi KBK, sebagai suatu inovasi kurikulum, secara umum masih belum memuaskan. Hal ini dilihat dari tingkat implementasi KBK oleh guru dalam pembelajaran yang sebagian besar berada pada kategori sedang. Sementara itu sikap guru terhadap KBK berada pada kategori netral sampai positif. Keadaan ini sangat kontras dengan pemahaman guru tentang KBK yang sebagian besar berada pada kategori tinggi. Dengan demikian terjadi penurunan kinerja guru dalam setiap tahapan adopsi yaitu dari pemaham tentang KBK ke sikap terhadap KBK ke implementasi KBK dalam pembelajaran. Dengan demikian proses adopsi KBK, sebagai suatu inovasi kurikulum, baru dapat diadopsi secara baik oleh guru SMA negeri di Provinsi Jambi pada ranah kognitif dan afektif tetapi belum begitu memuaskan pada ranah konatif dan psikomotorik.
(2)
Faktor yang dirasakan sebagai
penghambat oleh sebagian
besar guru dalam implementasi
KBK adalah kurangnya pelatihan intensif tentang KBK. Hal ini berakibat terbatasnya pemahaman dan keterampilan guru mengimplementasikan KBK dalam pembelajaran. Selain itu jumlah siswa per-kelas yang
terlalu banyak serta terbatasnya fasilitas pembelajaran berupa alat peraga,
laboratorium dan perpustakaan merupakan faktor yang dirasakan para guru sebagai
penghambat.
(3)
Dari kasus yang dikaji pada
penelitian ini terlihat bahwa waktu dua tahun untuk proses diseminasi secara nasional suatu inovasi kurikulum,
seperti halnya KBK, tidak mungkin
dapat berjalan baik apabila hanya dilakukan dengan metode seperti yang telah dilaksanakan. Diperlukan upaya ekstra agar diseminasi
tersebut dapat berjalan lebih cepat
dengan hasil yang memuaskan. Sungguhpun KBK bukanlah suatu hal yang ”baru” dalam konteks ilmu pendidikan, ternyata
untuk menempatkannya kembali
sebagai bagian dari pembelajaran tidaklah
mudah. Paradigma pembelajaran yang hanya mengacu
pada kurikulum dari pusat tampaknya sudah begitu menyatu dengan
sistem pendidikan aktual yang ada di sekolah. Jika kinerja guru dalam mengadopsi inovasi
kurikulum yang ada SMA negeri ini
dijadikan bench mark maka dapat
diduga akan ditemui keadaan yang lebih buruk pada sekolah jenjang
SMP dan SD.
1. Kepada Pemerintah:
a) Dalam mengintroduksi suatu inovasi kurikulum, seperti halnya KBK, perlu terlebih dahulu dilakukan upaya peningkatan kemampuan guru secara sistematik berkaitan dengan inovasi tersebut melalui penyelenggaraan pelatihan, workshop dan lokakarya secara lebih komprehensif. Pelatihan ini hendaknya dirancang dengan lebih mengutamakan aspek konatif dan psikomotorik sehingga guru tidak hanya sekedar paham tentang inovasi kurikulum tetapi juga terampil menggunakannya dalam perancangan dan proses pembelajaran. Selain itu perlu disertai penyebaran informasi secara berkala seperti buku dan buletin untuk lebih meningkatkan motivasi para guru secara berkesinambungan dalam mengadopsi suatu inovasi;
b)
Melakukan pembinaan dan pemantauan berkala ke setiap sekolah sehingga
sekolah merasa lebih dituntut untuk memenuhi tingkat
ketercapaian implementasi suatu inovasi kurikulum sesuai dengan baku
yang telah ditetapkan.
2.
Kepada Pimpinan Sekolah:
a)
Mendorong para guru untuk aktif
dalam kegiatan Kelompok Kerja Guru dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran
guna memungkinkan adanya pertukaran informasi serta menciptakan tekanan sosial
antar guru dalam implementasi suatu inovasi kurikulum;
b)
Menciptakan sistem evaluasi
internal berkala yang memungkinkan
diketahuinya tingkat penerapan kurikulum oleh masing-masing guru.
Daftar Pustaka
Ancok,
D. 1997. Teknik Penyusunan Skala
Pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan UGM.
Anonim. 2001.Menuju Pendidikan Dasar Bermutu dan Merata. Laporan
Komisi Nasioanl Pendidikan. Depdiknas.
Anonim. 2002. Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas.
Anonim. 2003. Kurikulum
Berbasis Kompetensi Sekolah
Menengah Atas (SMA). Pedoman Pemebelajaran Tuntas (Mastery Learning). Depdiknas, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Anonim. 2004. Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Swara Ditpertais. No. 17 tahun II 18 Oktober 2004. Diakses
dari . www.ditpertais.net.
Azwar, S. 1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harihanto. 2001. Persepsi, Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Air Sungai (Kasus di DAS Kaligarang, Jawa Tengah). Desertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasi).
Haryono, A. 2006. Tantangan Profesionalime Guru Ekonomi dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Ekofeum online. 20-03-2006. Diakses dari www.ekofeum.or.id.
Lee, C. K. 1996. Environmental Education in the Primary Curriculum in Hong Kong .
Diakses dari: www.fed.cuhk.edu.hk
Mar’at. 1984. Sikap Manusia. Perubahan
dan Pengukurannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, Implementasi, dan
Inovasi. Cetakan Kedua.
PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Noor, I. H.M. 2001. Sebuah Tinjauan Teoritis
Tentang Inovasi Pendidikan di Indonesia. Diakses
dari: www.library.ohiou.edu.
Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Nurhadi, B.
Yasin
dan
A.G.
Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam
KBK. Universitas Negeri
Malang.
Sanjaya, W. 2005. Pembelajaran dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Prenada Media.
Jakarta.
Sheldon, K. 1981. Curriculum Innovation: Teacher Commitment, Training, and Support. Diakse dari: www.eric.ed.gov.
Triandis,
H.C. 1971. Attitude
and Attitude Change. New York: John Wiley
& Sons Inc.
Triola,
M.F. 1998. Elementary Statistics.
Seventh Edition. Addison – Wesley
Longman Inc. New York.
Walgito, B. 1984. Psikologi Sosial.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi
UGM.
Yusri. 2005. Studi Evaluasi Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) di SD MEBIDANG. Jurnal
Penelitian Bidang Pendidikan. Vol. 12 Edisi Khusus, November 2005. Universitas Negeri Medan.
Zahid, A. 1997. Hubungan Karakteristik Peternak Sapi Perah dengan Sikap dan Perilaku Aktual dalam Pengelolaan Limbah
Peternakan (Studi Kasus pada Empat Keeompok Peternak
Sapi Perah Anggota
Koperasi Produksi Susu – Bogor).
Desertasi. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasi).
Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pendidikan Tahun 2008 di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar